- Get link
- Other Apps
![]() |
Cerpen Terbaru Oktober 2015 |
***
Hujan turun lagi. Cukup deras, berangin pula.
Sampai-sampai kaca jendela kamarku pun ikut basah terkena cipratan air hujan. Berbulir-bulir
dan berembun seperti permukaan gelas berisi air es yang kubiarkan meleleh.
Hari ini Sabtu. Tanggal 16. Hujan pun turun dengan sama
derasnya seperti beberapa tahun yang lalu.
Tahun dimana Raka tak lagi datang mengunjungiku. Sudah
hampir tiga tahun tapi aku masih bisa mengingat wajahnya dengan baik. Juga
semua kebiasaannya.
Raka yang memiliki mata coklat terang dengan bulu mata
yang lentik itu selalu datang pukul setengah tujuh malam. Ia akan menungguku di
depan pagar dengan kedua tangan yang selalu dimasukkan ke dalam saku celana.
Kecuali jika ia membawakan sesuatu untukku. Ah, Raka. Aku tak pernah menemukan cokelat
yang memiliki rasa sama seperti yang pernah kamu berikan padaku! Aku sangat
rindu rasanya, terutama dengan kehadiranmu. Aku sangat rindu.
Kami bertemu pertama kali di sebuah mall yang cukup jauh
dari rumahku. Aku tersasar dan terpisah dari ibu. Itu kali pertama aku ke mall
dan tak tahu dimana jalan keluar. Aku ketakutan dan orang-orang pun tak ada
yang membantuku. Padahal aku sdah berusaha bertanya pada mereka, namun tak ada
yang peduli. Entah, mungkin mereka tak mengerti apa yang aku tanyakan.
Lalu Raka datang! Dia menenangkanku dan membantuku
bertemu dengan ibu. Sejak saat itulah aku suka padanya. Hebatnya lagi, Raka pun
menunjukkan rasa tertariknya padaku dengan meminta nomor handphoneku. Kami semakin
dekat hingga akhirnya Raka memintaku jadi kekasihnya.
Itu adalah moment terindah sekaligus paling mustahil di
dalam hidupku! Ada seorang pemuda tampan yang menyukaiku! Bayangkan saja, aku
yang selalu dijauhi teman sebaya, bukan siswi yang populer atau siswi yang
pintar sekalipun, juga tak cantik, tapi bisa disukai oleh seorang Raka yang
bertubuh tinggi dengan mata seindah Zayn Malik! Gadis-gadis yang jauh lebih
cantik dariku pun pasti banyak yang berlomba mendapatkan hatinya.
Tapi dewi Amor berpihak kepadaku. Sekalipun kami bertemu
lewat momen yang memalukan, tapi itu tak berpengaruh pada simpati Raka. Bayangkan
saja aku menyasar di mall dan menangis tersedu-sedu karena kehilangan ibu. Jika
aku masih berusia empat tahun, itu bukan kejadian yang memalukan, namun saat
itu aku sudah berusia 16 tahun! Syukurlah, Raka pemuda yang benar-benar baik,
juga sangat menyayangiku apa adanya. Sekalipun aku kurang pergaulan dan tak
bisa melakukan apa-apa dengan benar.
Hujan masih turun dengan deras, bulir-bulir air hujan
pun masih menetes di kaca jendela kamarku. Kurogoh sesuatu dari kolong tempat
tidur, sebuah kotak bekas sepatu yang kubungkus dengan kertas kado motif hati
berwarna pink. Isinya semua benda kenanganku bersama Raka.
Jantungku selalu berdegup kencang saat membukanya,
dengan perut yang melilit dan keringat dingin yang membasahi tengkukku. Persis
seperti pertama kali mendapatkan benda-benda itu darinya. Yang berbeda hanya
rasa yang muncul dari dalam hatiku saja, saat menerimanya dari tangan Raka
hatiku dipenuhi rasa hangat yang indah. Aku bahagia.
Berbanding terbalik dengan rasa yang aku rasakan saat
ini. Dingin, juga sepi. Sudah tiga tahun dan aku tak bisa melihat senyumnya
lagi untukku.
Benda yang pertama kulihat adalah secarik kertas
bergaris dengan tepian bekas robekan, saat itu Raka menyobek buku tulisnya dan
menulis ‘I always loving you’ dengan
sangat rapi di atasnya. Aku sangat tersanjung membacanya. Berkali-kali kubaca
kertas itu untuk meyakinkan diri bahwa apa yang telah aku baca itu benar. Hatiku
berbunga-bunga sangat sadar bahwa tulisan itu memang benar adanya, Raka
mengatakan bahwa ia selalu mencintaiku.
Pandanganku beralih pada beberapa kartu ucapan
berwarna-warni di bawah kertas itu, isinya juga ungkapan sayang Raka, pujiannya
padaku dan harapannya denganku di masa depan.
Kapan masa depan itu? Apakah tiga tahun dari saat itu
sudah termasuk masa depan? Kenapa tak ada satu pun harapannya yang menjadi
kenyataan?
Kuambil kartu berwarna ungu dan kubuka lipatannya.
“Aku akan selalu
bersamamu, juga mencintaimu. Hingga masa yang akan datang..” bibirku
menyunggingkan senyum. Membaca tulisan Raka membuatku teringat ekspresi
wajahnya saat memberikan kartu-kartu ini. Ia terlihat tenang, juga mempesona.
Senyumannya sangat indah, tak ada yang memiliki senyuman seperti itu selain
dia.
Lalu dua tangkai bunga mawar yang sudah kering dengan
sempurna. Mawar yang ia berikan di suatu malam. Ia tersenyum dan mengulurkan
kedua tangkai bunga berwarna merah itu padaku, membiarkan aku untuk menghirup
aromanya dan berterima kasih. Raka pun pernah memberikan cokelat yang rasanya
sangat enak, bungkusnya masih aku simpan hingga saat ini. Lihat! Terlipat
dengan rapi dan tak kusut sedikit pun. Jika kucium, masih ada wangi manis
cokelat dari bungkusnya.
Ah, Raka! Seandainya aku bisa melihatmu tersenyum lagi untukku.
Terasa jauh lebih manis dari cokelat yang kamu berikan..
Tubuhku menggigil. Rambut halus di tanganku meremang. Hujan
yang begitu deras membuat suhu semakin menurun dan membuat tubuhku yang hanya
mengenakan daster lengan pendek kedinginan. Kuraih cardigan yang tersampir di
kursi meja belajar dan segera kukenakan, sekarang sudah lebih baik. Aku bisa
bernostalgia lagi dengan Raka, kekasih pertamaku.
Hubungan kami singkat, tak lebih dari tiga bulan. Tapi kenangan
di antara kami begitu banyak dan hampir tak muat di memoriku. Jika aku tak
sering-sering menyusun kembali kenangan kami, bisa-bisa ada kenangan yang
hilang.
Semua pesan singkatnya masih ada di dalam handphone.
Kusimpan di dalam folder yang khusus. Dari mulai pesan “Hai!” yang pertama kali
memulai hubungan kami hingga pesan yang mengakhiri hubungan kami.
Hubungan yang terpaksa diakhiri. Bahkan tanpa ucapan
selamat tinggal yang layak.
“Raka kecelakaan. Ini temannya pakai handphone Raka.”
Jantungku seakan mati saat membaca pesan itu. Pesan terakhir yang aku dapat
dari kekasihku, Raka.
Aku mencoba mencari tahu keadaannya, mencoba mencari
tahu dimana dia dirawat? kenapa kecelakaan itu bisa terjadi? kenapa Raka tak
pernah sembuh untuk membalas pesanku?
Aku masih sangat penasaran dengan keadaannya hingga saat
ini. Karena aku peduli. Karena aku mencintainya sepenuh hati!
Esoknya nomor Raka mati. Tak aktif. Setiap hari kukirimi
ia pesan dan berharap satu saat akan ada keajaiban. Pesan itu terkirim dan Raka
membalasnya.
Tapi semuanya hanya harapanku saja. Harapan yang tak
pernah menjadi kenyataan. Sudah tiga tahun dan tak ada satu pun pesanku yang
berhasil terkirim.
Menangis? Tentu! Aku sangat mencintai Raka dan kudengar
ia kecelakaan, ia tak lagi membalas pesanku serta nomornya pun mati. Aku takut
hal yang sama pun terjadi padanya!
Setiap hari aku merasakan khawatir yang menggila di
dalam hati, setiap hari aku pun merasakan kecewa yang mendalam karena harus
kehilangan seseorang yang telah memberikan warna indah di dalam hariku yang
kelabu.
Aku ingin mencarinya. Tapi kemana? Aku tak tahu Raka
tinggal dimana, bahkan sekolahnya pun aku tak tahu! Tak banyak cerita tentang
kehidupan pribadi masing-masing diantara kami. Itulah salahnya. Aku kehilangan
kabar Raka karena ketidak tahuan akan sesuatu sepele yang berakibat sangat
fatal.
Sudah tiga tahun dalam penantian tanpa harapan, namun
tak menyerah. Lelah dan bosan menunggu, tapi aku tetap melakkan hal itu. Untuk menunggu
Raka, atau apapun itu yang membuatku tahu kabarnya saat ini!
Tuhan baik sekali padaku. Akhirnya Ia menjawab semua doa
yang kupanjatkan. Tadi pagi aku bertemu dengan Raka.
Tapi bukan Raka yang aku kenal.
Tadi pagi aku juga melihat senyumannya yang indah.
Tapi tidak seindah senyuman yang ia berikan padaku tiga
tahun yang lalu.
Tadi pagi aku melihat Raka membawa kartu berwarna
lembut.
Tapi bukan kartu berisi ucapan cintanya padaku. Karena
ia memberikannya pada seorang gadis yang berjalan di sampingnya.
Sesaat hatiku penuh dengan rasa bahagia karena
melihatnya lagi, rasa rindu yang menumpuk selama tiga tahun membuncah.
Melihatnya di depan mata, tetap tampan seperti dulu, namun ada gadis lain di
sebelahnya.
Sesaat kemudian hatiku meledak hingga rasa kecewa yang
aku rasakan berceceran kemana-mana. Kuharap sepotong hatiku yang berisi harapan
dan rasa kecewa yang akhirnya kurasakan sampai di tangan Raka yang terbuka.
Tapi nampaknya ia tak mendapatkan potongan hatiku, bahkan tak melihatku.
Padahal jarak kami tak lebih dari tiga meter. Ia di depanku, memeluk pinggang
gadis itu dengan mesra. Ia membisikkan sesuatu di telinganya dan membuat gadis
itu tersipu malu.
Aku sangat iri.
Raka melakukan hal yang tak pernah ia lakukan padaku. Memelukku
dan berbisik di telingaku.
Bagaimana rasanya jika lengan Raka memeluk tubuhku?
Pasti sangat nyaman.
Bagaimana rasanya jika Raka membisikkan sesuatu di
telingaku? Pasti sangat.. namun aku segera tersadar. Aku tak akan bisa mendengar
bisikan apapun, orang yang berteriak-teriak di telingaku pun tak akan membuatku
mendengar apa yang mereka katakan!
Aku jadi geli sendiri dengan khayalanku.
Sudah kubilang kan Tuhan sayang padaku? Ia tak mau aku
terus menunggu seseorang yang telah mengkhianatiku.
Hujan sudah berhenti dan sebaiknya aku segera mengakhiri
semua nostalgiaku dengan Raka. Hubungan kami sudah berakhir. Aku tak perlu
bersusah hati lagi untuk mengkhawatirkan Raka. Ia baik-baik saja, bahkan jauh
lebih baik tanpaku.
Kurasakan tepukan di bahuku. Aku menoleh dan melihat ibu
tersenyum. Beliau menggunakan tangannya untuk membuat isyarat yang mengajakku
makan, Kujawab ajakan ibu dengan isyarat tangan pula. Kukatakan bahwa aku akan
segera makan setelah selesai beres-beres. Membereskan kenanganku bersama Raka.
Ibu mengangguk dan keluar kamar.
Kuhela nafas dan kututup kotak sepatu yang berisi semua
kenanganku dengan Raka. Aku mencintainya dengan sepenuh hati, tapi sepertinya
ia tidak. Ia menjauhiku dengan cara yang sangat kekanakan. Membuatku khawatir
setengah mati sementara ia bahagia dengan gadis lain.
Apa sulitnya mengatakan putus? aku yang kurang pergaulan
ini mengerti maksud kata itu.
Ya, mungkin karena bersamaku hanya penuh kesunyian. Tak
ada satu pun ucapan yang keluar dari mulutku selain lenguhan tak jelas yang
pasti membat siapapun merasa hilang rasa. Aku ingin mengatakan sesuatu padanya,
tapi aku tak mampu. Aku tak bisa.
Kukira Raka mengerti dan merasakan, kesunyianku adalah
satu-satunya hal yang bisa aku tunjukkan padanya sebagai pengganti ucapan I
Love You.
Tapi sudahlah. Kini aku sudah tahu semuanya.
Sebaiknya aku mencari seseorang yang benar-benar
memahami kesunyian yang selalu mengelilingi hidupku. Mungkin jika ia adalah
seseorang yang juga hidup di dalam kesunyian, ia akan memahami perasaanku yang
tak bisa bicara ini.
Aku tunawicara, juga tunarungu.
Tapi aku ingin dicintai dengan seluruh kekurangan juga
kelebihanku. Kuharap suatu saat ada yang bermurah hati memberikan ruangan di
hatinya untuk kutempati. Entah kapan. Tapi semoga..
***
Sebenarnya ini bukan cerpen yang baru kubuat, cerpen ini dibuat tahun 2013 untuk event Kisah Sang Mantan dari Diva Press dan aku enggak lolos. Kemarin buka-buka email lama dan nemu ini, nostalgia banget. Hehe. Semoga suka ya...
Ah iya, jangan lupa tonton book trailer novel terbaruku disini:
Ada pulsa untuk teman-teman yang mereview novelnya lho!
Comments
wah, kok gue jadi baper gini, yah, bacanya. Duh... hahahaha
ReplyDelete