- Get link
- Other Apps
_10_
Jangan Una, kumohon.
***
Tubuh Una menolak jantung barunya.
Darah yang kini mengaliri seluruh urat nadi Una membuatnya seakan ditusuk jarum
dan menyiksanya dengan cara yang jauh lebih sakit daripada cara apapun juga.
Bukan hanya menyakiti Una, namun juga
Raihan.
Firasatnya benar. Sesuatu memang
tengah terjadi pada Una, dibalik semangatnya untuk keluar rumah sakit.
Paksaannya untuk menonton bioskop dan makan pasta. Di balik bibirnya yang
membiru..
Raihan hanya bisa duduk terpekur di
atas kursi tunggu rumah sakit yang keras dan dingin. Pandangannya kosong, serta
hatinya begitu sesak. Jika biasanya ia akan menangis jika keadaannya seperti
ini, tapi sekarang ia tak bisa menangis.
Ia tak mau menangis karena ia
mengingat air mata yang terlihat begitu sakit menyusuri kedua belah pipi Una.
Tak ada yang menguatkannya untuk tidak menangis, tapi mengingat perjuangan Una
di dalam sana itu sudah cukup menguatkan Raihan.
Tapi, apakah Una tengah berjuang di
dalam sana? Una begitu putus asa!
“Raihan, Una.. dia mau ketemu kamu..”
panggil mami Una. Matanya bengkak dan suaranya bergetar.
Ia adalah orang yang paling panik dan
paling histeris melihat Una kembali ke rumah sakit dengan keadaan tak sadarkan
diri, tapi ia tak menyalahkan Raihan. Ia malah menangis dengan begitu sakit dan
putus asa.
Raihan tak meminta maaf, karena ia
tahu kalimat maaf tak akan berguna saat itu.
“Gi-gimana keadaan Una tante?” tanya
Raihan, sebelum membuka pintu kamar ruang rawat.
Ia ingin menguatkan hatinya terlebih
dahulu sebelum melihat keadaan Una sebenarnya dengan kedua belah matanya
sendiri. Tapi mami Una tak menjawab, ia malah memalingkan muka dengan tangis
yang masih terdengar dengan jelas.
Raihan menangkap keengganan menjawab
itu sebagai sebuah jawaban yang buruk.
Perlahan Raihan mendorong pintu
berkaca buram di hadapannya, melangkahkan kaki kanan terlebih dulu dengan hati
yang terasa ciut. Bathinnya berdoa agar apa yang dilihatnya tak akan membuat
tanggul air matanya jebol.
Tapi ternyata doanya tak terkabul.
Keadaan Una begitu mengkhawatirkan.
Selang-selang yang terhubung pada
kotak-kotak dengan layar di sebelah tempat tidur, ujungnya menancap di berbagai
bagian tubuh Una. Ia juga mengenakan alat bantu nafas.
Ah, karena AC dan pasta itu keadaan
Una semakin memburuk! Oh, Khuzna.. Una..
Raihan mendekat dengan langkah yang
kaku, seperti robot. Wajahnya kaku, seperti patung. Hatinya membatu, seperti
‘The Thing’. Tapi matanya buram dan mengalirkan air mata saat melihat manik
hitam di mata Una meliriknya dengan susah payah.
Gadis itu berusaha mengangkat tangan
kirinya untuk mengajak Raihan mendekat, tapi tak bisa. Raihan pun segera
tanggap dengan meraih tangannya dan mendekap di dada. “Una, sembuh.. aku
mohon..” ratapnya.
Tapi Una menggeleng dengan sangat
pelan, ya ia menggeleng. “Aku enggak bisa..” bisiknya.
Raihan menggeleng keras dan mengecup
punggung tangan Una yang masih membiru. Tetes-tetes air bening jatuh dari dagu
Raihan dan membekas pada seprai putih yang menutupi tempat tidur Una.
Raihan melihat Una bergumam lagi, tapi
ia tak bisa mendengarnya. Raihan pun mendekatkan telinganya, tepat di depan
bibir Una, agar ia bisa mendengar semua yang gadis itu katakan dengan sangat
jelas.
“Sepertinya aku akan segera pergi..”
bisiknya dengan susah payah.
Raihan mengerjap-erjapkan bola matanya
mendengar kalimat itu, ia ingin menyangkal, ingin bertanya dan ingin menangis
meraung-raung. Tapi sebentar, ia ingin mendengar Una mengatakan semuanya dulu.
Ia ingin memberikan kesempatan agar Una bisa mengatakan apa yang ada dalam
kepalanya agar Raihan bisa memberikan jawaban yang paling tepat.
“.. kamu salah tentang perasaanku Raihan,
Januar memang berkesan untukku.. tapi beda dengan kamu..”
Ah ya, Januar lagi.
“.. aku suka kamu Raihan.. sukaku
padamu berbeda dengan Januar..”
Ya, karena Una mencintai Januar,
“Aku cinta kamu Raihan, kamu yang buat
hidupku lebih indah..” bisik Una. Raihan tersentak dan mengangkat kepalanya,
menatap mata Una sejurus dan yakin sekali jika ia melihat bibir Una yang masih
biru menyunggingkan senyuman.
“U-Una..”
“Aku bahagia kamu juga sama denganku,
aku bahagia kamu juga menyukaiku.. kita sama Raihan, kita saling melengkapi..”
“Sayang waktuku enggak lama lagi..”
“Hei! Enggak! Kamu itu akan sembuh
Una! Kita akan pergi ke bioskop lagi, makan pasta.. mancing bareng.. semuanya
yang kamu mau Una! Semuanya!”
“Enggak..” sangkal gadis itu dengan
mata yang terpejam.
Raihan menggigit bibir. Ia takut
sekali mata yang tengah terpejam itu tak akan terbuka lagi!
“Una, aku mohon.. semangat.. kamu
pasti sembuh!” Raihan mengusap kepala Una dengan tangan yang bergetar.
Lambat-lambat Una membuka mata, tersenyum lagi.
“Jantungku enggak cocok Raihan, kamu
tahu kan? Itu berarti aku akan segera pergi.. aku titip kelomang ya? Jaga
mereka..”
“Kelomang?”
“Iya, kelomang Una dan Raihan..” dada
Raihan terasa penuh sesak dengan rasa sedih. Kenapa seakan tak ada harapan
lagi? Harapan selalu ada!
Una tak berkata apa-apa lagi. Benda
yang memantau detak jantung Una terlihat menunjukkan detakan yang pelan. Sangat
pelan.
Dada Una naik turun, nafasnya pendek
dan ia sangat kesusahan.
Selama beberapa saat mereka berdua
terdiam, larut dalam fikiran masing-masing. Asyik dengan khayalan mereka yang
berbeda namun memiliki tujuan yang sama. Tetap hidup untuk saling membahagiakan
satu sama lain.
Tapi sepertinya itu tak akan pernah
terjadi, baik Una maupun Raihan tahu persis takdir apa yang akan dihadapi
sesaat lagi. Sekalipun mencoba menepis dan menyangkalnya, mencari secercah
harapan untuk menolaknya, namun ternyata tak bisa.
“Pancing itu Raihan..” Una bersuara
lagi. Lebih keras daripada sebelumnya.
“Aku mau pancing itu agar kita bisa
memancing bersama.. aku pakai punyaku, dan kamu pakai pancing coklat itu..”
Raihan tercekat mendengar penuturan Una.
“Aku sedih waktu kamu marah karena aku
mau pancing itu..”
“Ah! Aku enggak marah karena kamu Una!
Bukan karena kamu mau pancing itu! aku fikir.. aku fikir kamu mau pancing itu
karena mirip sama pancing Januar..” sangkal Raihan segera.
Una menggeleng dengan susah payah, matanya
menatap Raihan dengan sinar yang masih tersisa di dalamnya. Perlahan tapi pasti
sinar mata yang Raihan kagumi itu meredup.
“Aku hanya mau mancing bareng kamu..
aku mau buat sisa umurku jadi makin indah..”
“Una, maafkan aku... aku malah
bersikap kekanak-kanakan sama kamu! Aku malah ngambek dan enggak mau bertemu
kamu! aku menyesal Una, aku menyesal...kumohon, semangat Una! kamu pasti bisa
hidup!”
“..izinkan aku menebus semua
kesalahanku kemarin, jangan buat aku menderita Una..” rengek Raihan, sekarang
ia sudah menangis.
Tak ada rasa malu lagi di dalam
dirinya, yang ada hanya rasa takut kehilangan yang begitu besar. Juga rasa penyesalan
yang tak sedikit pun bisa berkurang dari dalam hatinya. Una hanya ingin bersama
dengan dirinya, memancing bersamanya dan Raihan malah marah?
Raihan memang cengeng, tapi tak
seharusnya ia kekanak-kanakan.
“Raihan, jangan menangis lagi.. kamu
itu lelaki sejati, lelaki yang aku suka.. selamanya..” Una mengangkat tangannya
dan mengusap air mata Raihan, hanya sesaat karena tangannya kemudian terkulai
lemas.
Pemuda yang masih menangis itu
langsung menstop tangisnya dan menggeleng. Ia menggigit bibir dan menguatkan
hati. “Una..” panggilnya.
Gadis itu tak bergeming, manik matanya
pun tak terlihat lagi.
“Una, aku mohon..”
“Una.. kamu tidur?”
“Bangun Una..” ditepuknya pipi Una dengan lembut selama
beberapa kali, tapi gadis berwajah manis itu tak membuka mata, tak memberi
isyarat apapun.
Salah satu monitor mengeluarkan bunyi
pip yang panjang.
Bunyi paling mengerikan yang pernah
Raihan dengar.
Bunyi yang mengantarkan gadis yang ia
sayangi, pergi.
***
Comments
sad endiiiiiinng!! ToT
ReplyDeleteIyaaaa hickssss
Delete