_9_
Jangan katakan ini terakhir, Una
***
Sudah lebih dari dua jam Raihan
berdiri di depan pintu berkaca buram itu. Berdiri dengan tegak serta kedua
tangan menggantung begitu saja di sebelah tubuhnya. Sepasang matanya menatap
nanar, berusaha melihat ruangan di balik kaca buram.
Semakin keras ia berusaha, semakin
kabur pandangannya. Ia tak bisa melihat apa yang ada di dalam ruangan itu
dengan jelas. Ia melihat orang berlalu lalang di dalamnya, tapi tak tahu apa
yang tengah mereka lakukan di dalam sana.
Raihan menghela nafas dan menunduk
lesu. Ia ingin mendongak dan melihat lampu di atas kepalanya berubah menjadi
hijau tanda operasinya sudah selesai. Tapi ia tak berani mendongakkan
kepalanya.
Ia sudah berkali-kali berharap semoga hal
itu terjadi, akan tetapi lampu ruang bedah itu masih saja berwarna merah.
Seakan-akan menegaskan bahwa keadaan di dalam sana tengah berada di dalam satu
keadaan sangat genting, seakan tengah ada pertempuran besar. Ada beberapa
meriam besar yang memuntahkan bola mesiu raksasa, atau rentetan senjata
otomatis yang akan menghabisi nyawa siapapun yang masuk ke dalam sana.
Meledak dan berdesing.
Tapi tentu saja tidak ada benda-benda
itu di dalam ruangan bedah. Tak ada suara apa-apa. Itu hanya fikiran Raihan
saja.
“Raihan, kamu belum makan..” suara
mami Una terdengar begitu lembut. Selembut sentuhannya pada bahu Raihan.
Ia hanya menoleh dan tersenyum lirih.
Ia menggeleng untuk menolak sekaligus menegaskan bahwa ia sama sekali tak
merasa lapar. Bagaimana bisa ia merasa lapar saat hatinya berada di ambang
kematian?
Ya, Una. Hatinya tengah berada di
dalam sana. Berada diantara pisau bedah, alat bantu nafas dan juga obat bius.
Bagaimana jika Una tersadar ketika
operasi itu tengah dilakukan? Hal seperti itu sering terjadi di dalam dunia
medis. Rasanya sangat sakit dan mengerikan!
Sudah cukup dengan jantungnya yang
bermasalah, jangan sampai Una mendapatkan siksaan lain yang membuatnya semakin
sakit.
“Ah, “ desah Raihan sambil memegangi
dadanya.
Ada rasa ngilu yang menyayat hati
sedetik yang lalu. Bagaimana jika operasi bedah jantungnya gagal? Bagaimana
jika Una.. tak bisa tersenyum lagi untuk selamanya?
“Raihan, jangan terlalu memaksakan
diri.. ayo duduk.. tunggu bersama kami..” lagi-lagi mami Una memintanya untuk pergi
dari depan pintu ruang bedah.
Lagi-lagi pula Raihan menolak. Ia akan
tetap berdiri di sini, ia ingin menjadi orang pertama yang bertanya pada dokter
yang mengoperasi Una, bertanya tentang kondisi gadis rumit yang ia sayangi itu.
Mami Una pun menyerah, ia pergi tapi
tak lama kemudian menyodorkan satu kaleng susu coklat. Raihan menolak tapi ia
memaksa. “Terima kasih tante,”
“Iya, minum yaa. Biar enggak terlalu
lemas..” ujarnya sambil kembali ke tempat duduk.
Raihan membuka bagian atas kaleng dan
meminum seteguk isinya. Rasa coklatnya yang khas memenuhi indera pengecapnya.
Terasa sangat nikmat, tapi tak mengena di hati Raihan.
Hatinya masih terasa hambar.
Senseless.
“Raihan, sampai kapan mau kayak
begini?” tanya Sandra.
Gadis bertubuh bongsor itu sekarang
ikut berdiri di sebelahnya. Setelah lebih dari dua jam Raihan menanti seperti
patung dan menanti pintu ruangan itu terbuka. Entah tiga, atau empat jam. Entah
lebih. Diliriknya Sandra, ia tengah menoleh ke arahnya, ujung bibirnya
terangkat sedikit.
“Sampai operasi Una selesai..” jawab
Raihan datar.
Sekarang datarnya suara Raihan
mengalahkan nada bicara Sandra. Hatinya ternyata membuat ia bisa berkata dengan
nada yang begitu dingin, apakah Sandra juga setiap hari merasakan dingin di
hatinya?
Setiap hari dia berbicara dengan nada
yang sama. Tegas, datar, tanpa ekspresi.
“Lihat!” seru Sandra sambil menunjuk
lampu yang dipasang di atas pintu ruangan operasi.
Raihan ikut mendongak dan jantungnya
berhenti berdetak sesaat. Lampunya berubah hijau! Berarti operasinya sudah
selesai!! Sekarang tinggal menunggu dokter bedahnya keluar dan ia bisa segera
mengetahui keadaan gadisnya!
Papi dan mami Una pun sudah berdiri
berdekatan dengan Raihan, juga Sandra. Gadis itu entah kapan berada di rumash
sakit, mungkin setelah menerima telpon dari maminya Una ia memutuskan untuk
menunjukkan kepeduliannya dengan datang dan menunggui operasi Una.
Ketika team dokter yang selesai
membantu cangkok jantung Una keluar dari ruangan, langsung saja tercengang
diberondong pertanyaan beruntun dari keempat orang yang begitu antusias
menyambut mereka tepat di depan ruangan
tersebut.
Salah satu dokter yang merupakan ketua
team bedah hari itu menjawab pertanyaan keluarga Una dengan sabar, ia tak
tersenyum tapi ia ramah. Wajahnya terlihat masih tegang.
“Operasinya berhasil dengan baik, kita
lihat sampai besok malam.. semoga dia bisa melewati masa kritis..” ujarnya sambil
melepaskan masker yang menutupi sebagian muka.
Papi dan mami Una saling merengkuh
bahu, dan isaknya terdengar. Raihan sendiri sudah langsung merasa begitu lemas.
Diliriknya Sandra. Gadis itu terlihat tegar dan tak bergeming.
Raihan yakin dia juga merasa khawatir,
dia itu sebenarnya sangat perhatian dan juga begitu penuh kasih sayang, ia
sangat peduli pada Raihan juga Wawan sekalipun ia tak bisa memiliki ekspresi
lain di wajahnya. Sudah tentu ia juga akan merasa khawatir dengan Una,
sekalipun ia tak begitu mengenalnya.
“Raihan, kamu enggak apa-apa?” tanya
Sandra tiba-tiba. Raihan tercekat dan menggeleng. “Enggak.”
“A-aku sepertinya harus duduk..”
sambungnya sambil segera memburu kursi tunggu.
Didaratkannya pantat di atas kursi
berlubang-lubang kecil itu, rasanya dingin dan keras. Menegaskan perasaan yang
tengah memenuhi hati Raihan. Una akan dipindahkan ke tempat rawat khusus,
menunggu dia melewati masa kritis dan menunggu tubuhnya bereaksi dengan
jantungnya yang baru.
Jika tubuhnya bisa beradaptasi, sudah
tentu Una akan bisa mendapatkan waktu hidup di dunia ini jauh lebih lama lagi, tapi
jika tidak? Ah, semoga saja cocok!
Una itu berhak untuk mendapatkan
kebebasan dengan jantung yang normal.
***
“Raihan bangun! Una sadar!!” dengan
sekali sentakan Raihan terbangun dan langsung berdiri, tapi ia langsung
mengaduh ketika kepalanya menubruk dagu Sandra.
Gadis bongsor itu mengaduh sembari
memegangi bagian bawah dagunya yang ditabrak dengan keras. Ia terus meringis
sambil menunjuk ke salah satu ruangan rawat khusus, ruangan dimana Una berada.
“So-sorry! Aku enggak sengaja.. aku..”
“Iya iya enggak apa-apa kok! Cepat,
Una tunggu kamu tuuh!” Sandra mendorong-dorong Raihan agar segera menemui gadis
yang baru sadar itu.
Raihan nampak tak enak meninggalkan Sandra
yang masih meringis-ringis, tapi hatinya sudah tak sabar untuk segera melihat keadaan
Una. Ia sangat merindukan gadis itu. “Sudah, pergi sana! Aku ini enggak apa-apa
kok!” Sandra meyakinkan Raihan bahwa ia tidak apa-apa.
Tanpa berfikir panjang lagi pemuda
berjaket coklat itu pun segera berlari menuju arah yang Sandra tunjukkan.
Sambil menuju tempat yang Sandra tunjukkan Raihan terus berfikir dan tak
mengerti, bagaimana bisa ia tertidur di tengah kekhawatirannya pada keadaan
Una?
Ya ampun, mungkin ia memang sangat
khawatir, juga lelah. Karena rasa lelah lebih dari empat jam berdiri di depan
ruang operasi telah membuat dirinya ketiduran. Sudahlah, tak apa! Yang penting
ia sekarang bisa merasa jauh lebih lega lagi karena ia akan melihat Una!
Pintu ruangan berkaca buram itu tertutup.
Gordyn yang menutupi jendela dari dalam membuat Raihan kembali berfikiran yang
tidak-tidak. Ada apa di dala? Kenapa gordynnya ditutup? Bukankah kacanya sudah
buram?
“Masuklah Raihan, dari tadi Una
tanyain kamu terus..” perintah sebuah suara.
Ketika dia menengok, mami Una dengan
blus merah muda tengah berdiri di belakangnya. Ada satu cup kopi di tangan
kanannya yang kemudian ia sodorkan pada Raihan. “Boleh diminum dulu, biar
enggak gugup..” ujarnya dengan seulas senyum.
Ketegangan yang sedari tadi menggurat
di wajahnya sudah hilang.
“Makasih tante..” Raihan menerima cup
kopi dan menyesapnya sedikit. “Sa-saya masuk dulu ya tante?”
“Masuk saja, dia sendirian di dalam..
dia ingin bicara empat mata sama kamu..”
“Empat mata?”
“Iya..” pungkas mami Una sembari
membukakan pintu untuk Raihan.
Setelah mengucapkan terima kasih
sekali lagi pemuda itu masuk ke dalam ruangan dan wangi aromatheraphy langsung
memenuhi indera penciumannya. Ruangan rawat inap Una diberi wewangian yang bisa
memberi energi positif serta semangat bagi yang menghirupnya.
Semoga berfungsi untuk Una.
“Raihan..” sapa Una terlebih dulu.
Raihan tergagap.
Ia tak menyangka jika Una sudah duduk
manis di atas tempat tidur, dengan pakaian khusus pasien dan juga berbagai
selang ini itu yang menancap di kulitnya. Bagaimana bisa ia duduk setelah
operasi cangkok jantung?
“H-hai.. hai Una.. ka-kamu enggak
apa-apa?” tanya Raihan dengan gugup.
Una tersenyum dan menggeleng. Ia menggerakkan
tangan untuk mengisyaratkan agar Raihan mendekat kepadanya. “Katanya kamu
nungguin operasi aku sambil berdiri ya?”
Raihan menganggukkan kepala. “Lebih
dari empat jam lho..”
“I-iya..”
“Kamu enggak pegal?”
“Aku cuma.. aku.. khawatir sama
kamu..” jawab Raihan dengan kepala yang menunduk. Ia senang melihat Una bisa
duduk setelah operasi, juga tidak terlihat lemah namun dalam penampilan
fisiknya yang terlihat tak apa-apa, Raihan takut ada sesuatu yang sebenarnya tengah
menanti.
“Terima kasih banyak Raihan, aku
benar-benar tersanjung kamu begitu khawatir sama aku..” tutur Una. “Yaa.. aku, aku juga merasa sangat tersanjung
kamu merasa begitu..”
“Kenapa kamu bicara begitu?”
“Enggak.. aku cuma..”
“Tentang Januar? Kamu masih berfikir
tentang dia? Tentang pancingan coklat itu? tentang kenangan aku sama dia?”
berondong Una.
Raihan memberanikan diri untuk
mendongak dan melihat ke dalam mata Una yang tengah menatapnya dengan tatapan
yang tak bisa ia artikan. “Una..”
“Ajak aku kencan Raihan.. aku mau kita
nonton ke bioskop dan jalan di mall..” permintaan Una itu langsung membuat
Raihan kaget setengah mati.
Gadis yang masih berstatus pasien
rawat inap ini ingin pergi ke bioskop?
“Sekarang juga!”
“Eh! Jangan! Kamu.. kamu kan..” Raihan
menjadi sangat kebingungan dan tak bisa berkata apa-apa lagi.
Ia hanya tercengang melihat Una yang
langsung turun dari atas tempat tidurnya, lalu menarik berbagai selang dan alat
bantu yang menempel di kulitnya. Raihan mencegah tapi Una menepisnya dengan
tanpa suara.
“Una, kamu itu baru selesai operasi!”
“Aku enggak peduli. Aku mau ke bioskop
sekarang dan aku mau kamu yang ajak aku pergi!” Una memaksa.
Dikenakannya sepasang sandal busa
khusus pasien dan meraih mantel yang ada di dalam kamar. Entah mantel siapa,
tapi sepertinya mantel wanita dan desainnya bagus. Mungkin milik maminya.
“Ayo pergi!”
“Una, aku enggak mau terjadi apa-apa
sama kamu!”
“Kalau aku enggak pergi sekarang juga,
aku akan apa-apa Raihan!!!” paksa Una dan membuat raihan langsung tercekat.
Mereka berdua saling menatap sejurus.
Raihan bertanya-tanya dan Una yang mulai menangis.
“Oke, kita pergi.. tapi janji sama
aku, kalau ada yang sakit kamu harus langsung beri tahu aku..” Una mengangguk
dengan senyuman di bibirnya.
Raihan menarik nafas dalam-dalam, menahannya
sesaat lalu menghembuskannya sekaligus. Ia akan melanggar peraturan yang bisa
membahayakan nyawa Una. Tak seharusnya ia mengikuti permintaan Una yang gila
ini.
Sesuatu yang buruk bisa saja terjadi.
Tapi entahlah, Raihan merasa bahwa apa
yang telah ia sanggupi sekarang ini adalah suatu hal yang benar.
***
Dengan keajaiban mereka berdua bisa
lolos dari penjagaan di rumah sakit, dari mami dan papi Una juga dari semua hal
yang menyulitkan mereka. Entah seperti apa Una terlihat, tak ada yang curiga
bahwa ia adalah seorang pasien yang kabur dari rumah sakit, baru operasi
cangkok jantung pula. Tak akan ada yang percaya pula!
Sepasang kaki dengan sandal busa milik
Una berjalan pelan di sebelah Raihan, saat Raihan melihat wajahnya, gadis itu
tengah tersenyum senang. Pandangan Raihan beralih pada gaun tidur pasien di
dalam mantel yang Una kenakan. Mantel itu membuat ia terlihat seperti
mengenakan mini dress, ia tak terlihat seperti seorang pasien, asalkan saja tak
ada yang melihat sandalnya saja.
“Jadi mau nonton apa? Filmnya begini
semua..” tanya Raihan sambil menunjuk pada daftar film yang akan diputar saat
itu.
Semua film yang akan diputar adalah
film horor lokal, yang dibumbui adegan vulgar dan tak pantas untuk ditonton
bersama dalam kencan pertama. Kalaupun memaksa, pasti akan tercipta suasana
yang tak mengenakkan di antara mereka.
Ah bukan, ini bukan kencan pertama.
Ini kencan kedua.
“Itu saja..” Una menunjuk sebuah judul
film. Animasi anak-anak.
Kebetulan sekali film itu akan diputar
lima belas menit lagi. Raihan segera membeli tiket dan menunggu hingga pintu
teater dibuka. Dalam hati ia bersyukur, ada salah satu film bermoral yang bisa
ia tonton bersama Una.
Semoga Una suka, semoga ia terhibur,
semoga ia tertawa.. semoga ia cepat sembuh.
***
“Kamu lapar Una?” tanya Raihan, sesaat
sebelum mereka berdua memasuki pintu teater.
Una menggeleng dan memeluk lengan
Raihan dengan erat. Ia menoleh kemudian tersenyum, “Aku senang lho..”
“Eh,”
“Iya, dari dulu aku pengen nonton film
sama kamu..” tutur Una dengan nada pelan, tapi ada kebahagiaan di baliknya.
Raihan tak menimpali kata-kata gadis
di sebelahnya itu, hanya dalam hati saja ia berusaha keras untuk mencerna apa
yang dimaksudkan oleh Una. Maksudnya mengatakan itu semua dan kenapa Una begitu
ngotot ingin keluar tepat setelah ia selesai dioperasi.
Ia ingin menanyakan alasannya, tapi
nanti saja. Sekarang ia ingin menyenangkan hati Una dengan bersama-sama
menonton salah satu film animasi keluaran terbaru ini.
***
Fim selesai satu setengah jam kemudian
dan Una sangat senang. Ia terus tertawa saat melihat adegan-adegan lucu di
dalam film tersebut, Una juga terus mengomentari tokoh-tokoh yang ada di
dalamnya.
Raihan hanya sesekali menimpali, ia
terlalu terpesona dengan keceriaan yang Una tunjukkan padanya. Ia merasa tengah
berada di dalam mimpi yang begitu indah, berada di dalam khayalan yang begitu
nyata.
Una tertawa, ia bercerita dengan mata
yang penuh cahaya. Una memang begitu rumit!
Ia bisa mengubah moodnya dengan sangat
cepat. Dengan sangat tiba-tiba ia berubah dari Una yang meluap-luap dengan
penuh emosi, menjadi Una yang penuh kelembutan.
“Kamu enggak kedinginan?” tanya Raihan
setelah mereka keluar dari dalam bioskop.
Una mengeratkan mantel yang ia kenakan
dan ia menggelengkan kepala. Tapi Raihan tak percaya, ia melihat tangan Una
membiru, lihat bibirnya! “Kamu kedinginan Una! Ayo kembali ke rumah sakit!”
“Enggak! Aku enggak kenapa-kenapa!”
“Una! Jangan keras kepala! Ayo ke
rumah sakit!”
“Aku cuma lapar.. ayo kita cari
makan..” elak Una sambil memegangi salah satu tangan Raihan, ia menggigit bibir
dan menggerak-gerakkan matanya.
“Yakin kamu enggak kenapa-kenapa? Kamu
biru-biru lho, aku takut ada apa-apa..” ujar Raihan dengan nada yang khawatir.
Una menggelengkan kepalanya sambil
terus tersenyum. Ia sangat ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak apa-apa. “Aku
mau makan pasta..”
“Eh, jangan makan pasta.. makan nasi
saja..”
“Aku mau pasta Raihan, mami selalu
larang aku makan pasta..”
“Mami kamu larang makan pasta, berarti
aku enggak bisa ajak kamu makan pasta..” Raihan berusaha untuk membujuk Una, ia
tak mau lagi-lagi mengambil resiko dengan memberikan sesuatu yang telah
dilarang oleh ibunya.
Bagaimana jika Una memiliki alergi
pada salah satu bahan pembuat pasta? Atau pada bahan sausnya? Atau mungkin dia
alergi keju? Bagaimana jika orang yang baru operasi pencangkokan jantung tak
boleh makan pasta?
“Boleh yaa?” rajuk Una.
Raihan menatap gadis yang tengah
menggelayuti lengannya itu dengan tatapan yang penuh kebingungan. Sudah tentu
ia sangat ingin menyenangkan Una dengan mengabulkan apapun yang ia inginkan.
Akan tetapi jika pada awalnya saja Una
sudah mengatakan bahwa ia tak boleh memakan pasta?
Sudah cukup mereka berdua kabur dari
tempat dimana Una seharusnya berada, lebih dari satu jam di ruangan ber-AC dan
sekarang mau memakan makanan yang dilarang? Ah ya ampun! Pilihan yang begitu
sulit!
“Kamu enggak mau antar aku makan pasta
ya Raihan?” sela Una tak sabar, nada suaranya begitu kecewa.
“Bukan begitu Una, maksudku.. aku
cuma..”
“Aku cuma apa? Kamu enggak mau buat
aku senang? Cuma sekali ini Raihan.. aku mohon..”
“Tapi Una, ini enggak sesimpel yang
kamu bayangkan!” sangkal Raihan, ia tetap bersikeras dengan kekahwatirannya.
Una melepaskan pegangan tangannya pada
lengan Raihan dan memalingkan muka. Ia menatap dinding koridor yang dipenuhi
dengan berbagai macam poster film, tentu saja ia tidak berkonsentrasi pada
gambar-gambar mencolok itu. Una tengah merajuk dan kecewa.
Raihan menghadapkan tubuhnya sampai
mereka berdua berhadapan dan saling bertatap mata. Tapi Una menolak untuk
berlama-lama menatap matanya, ia lebih suka untuk menunduk, menatap kakinya.
“Una, aku cuma khawatir.. “
“Iya,”
“Jangan marah..”
“Iya..”
“Una..”
“Iya!” Una ketus.
Raihan menghela nafas berat dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia meraih kedua tangan Una yang menggantung bebas
di sebelah tubuhnya, menggenggamnya dengan lembut agar gadis itu mau menatap
dirinya.
“Kita ke rumah sakit yuk? Aku mau kamu
sembuh dulu.. nanti aku ajak kamu buat makan pasta sepuasnya..” ia berusaha
merayu Una, berharap agar gadisnya ini mau mengerti dan mau mengikuti apa
dikatakannya.
“Ini demi kamu Una..”
“Tapi bagaimana kalau misalnya ini
hari terakhir aku di dunia?” sela Una dengan nada yang putus asa. Raihan
tercengang. “Jangan bercanda Una, jangan ancam aku dengan hal seperti itu!”
“Aku enggak bercanda! Aku enggak ancam
kamu! Aku serius Raihan!!” suara Una meninggi. Bibirnya yang masih berwarna
biru terlihat menggigil, mungkin ia benar-benar kedinginan, atau karena ia
terlalu marah.
“Jangan buat aku takut Una.. ayo kita
ke rumah sakit, ayo sembuh dulu.. nanti kita jalan-jalan lagi..”
“Enggak Raihan, enggak. Aku sekarang
justru takut kalau aku kembali ke rumah sakit, besok aku enggak bisa ketemu
kamu lagi..”
“Kamu itu ngomong apa Una? Jangan buat
aku semakin takut!”
“Ayo kita makan pasta!” Una tetap
memaksa.
Raihan menelan ludah dengan mata yang terpaku
pada wajah Una yang berubah warna. Sungguh, keadaannya saat ini membuat Raihan
merasa apa yang Una ucapkan itu adalah benar adanya.
“Jangan bilang kalau kamu..”
“Ayo Raihan, aku mohon.. ini
permintaan terakhirku..”
“Jangan! Jangan bilang kalau ini
permintaan terakhir kamu! Aku akan ajak kamu makan pasta, tapi kamu janji kamu
akan kembali ke rumah sakit, ikuti semua perawatan dan sembuh! Janji padaku
Una!” Raihan mengeratkan genggamannya pada kedua tangan Una, menekankan kedua
tangan itu ke dalam dadanya.
Una tak menjawab, ia hanya mencoba
untuk tersenyum. Nampak jelas sekali jika bibirnya telah kelu, ia tak mampu
tersenyum dengan lebar lagi.
“Una, kamu..”
“A-ayo Raihan.. aku mau pasta..” Una
mengalihkan pembicaraan dan melangkahkan kakinya mengikuti lorong yang akan
membawa mereka berdua keluar dari gedung bioskop.
Raihan tak berkata apa-apa lagi.
Hatinya seakan begitu dingin dan mati rasa. Ia benar-benar khawatir dengan
keadaan saat ini!
Ia ingin menangis, tapi tidak! Jangan
sekarang!
***
Pasta yang dipesan Una hanya
diaduk-aduk dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya ia gunakan untuk
menggenggam jemari Raihan. Sejak tadi ia tak mau melepaskan genggamannya, ia
tak mau sendirian.
“Aku takut sendirian Raihan,” ujarnya
memecah keheningan. Betul bukan apa yang baru saja Raihan pikirkan? Una takut
sendirian.
“Kan ada aku..”
“Tapi nanti?”
“Aku akan tidur di rumah sakit, aku
akan terus temani kamu Una..” bukannya senang Una malah terlihat tambah sedih,
wajahnya yang membiru nampak makin menyedihkan.
Hati Raihan terasa begitu sesak
melihatnya. Bagaimana caranya agar Una mau tersenyum? Ia sudah berjanji dengan
sepenuh hatinya dan ia memang akan melakukan apa yang telah ia janjikan!
“Aku takut aku enggak bisa lihat kamu
tepati janji kamu itu Raihan..”
“Maksud kamu apa?”
“Maksud aku.. aku..” Una tak
meneruskan kalimatnya, ia terlanjur menangis.
Ini adalah kali pertama Raihan melihat
Una menangis dengan sesedih ini. Ia pernah melihat Una menangisi Januar, tapi
tidak seperti ini! Tidak sesakit ini melihatnya!
“Raihan, asal kamu tahu.. aku-aku..
se-senang bisa pergi sama kamu..i-ini mimpi aku, mimpi yang selalu ingin aku
wujudkan..” terbata Una mengucapkannya. Ia tetap menangis dengan bibir yang
biru.
Raihan menelan ludah, entah untuk
keberapa kali. Diremasnya tangan Una dengan kedua tangan, berusaha memberikan
kehangatan pada gadis di seberangnya. Tapi nampaknya itu tak begitu banyak
membantu.
Wajah Una semakin terlihat sedih dan
kesakitan, tubuhnya menggigil dan pupil matanya menciut. “Una?!” seru Raihan
panik sembari memburu tubuh Una yang terlanjur merosot dari kursi yang ia
duduki.
***
Yuk baca Bagian 1 dan bagian-bagiannya di label Cerber!? Dijamin seru deh!
Duh, Una...smoga raihan tabah ya...
ReplyDeletesemoga ada jalan terbaik :)
ReplyDeleteSabar ya, buat Raihan... :")))
ReplyDeleteBantu share ya, kak: Yang hobi baca buku maupun tidak, boleh minta waktunya sejenak untuk mengisi kuesioner singkat mengenai minat baca di Indonesia. Untuk data pendukung untuk program mengenai minat baca. Mau buku gratis? Ada 3 buku gratis 3 pengisi kuesioner terpilih. berikut link formnya >>> Http://goo.gl/forms/8QdMG7KvZS
Jawaban kalian sangat berarti. Tolong bantu share lagi ya. =d