- Get link
- Other Apps
_8_
Menjauhi Una itu salah
***
Tiba-tiba saja Raihan merasa sangat
rindu dengan tepian sungai dimana ia dan Una sering bertemu. Ia merindukan riak
air, kecipak ikan dan juga rerumputan yang menjadi alas mereka duduk.
Tapi tentu saja yang paling ia
rindukan adalah gadis yang berpakaian lusuh itu. Una.
Entah sedang apa dia sekarang, apakah
dia tetap selalu datang ke tempat itu dengan membawa pancingan butut seperi
milik Januar? Apakah Una akan tetap memancing sekalipun harus sendirian?
Raihan sangat merindukan Una.
Ia menyesali kelakuannya yang begitu
jahat saat ia meninggalkan Una begitu saja. Ia meninggalkan Una ketika gadis itu
datang langsung ke sekolahnya. Tanpa menanyakan kabarnya, tanpa berbasa-basi.
Una pasti sangat kecewa.
Karena penyesalan dan kerinduannya
itulah sore ini Raihan kembali berjalan menyusuri tepian sungai, mengarah ke
tempat dimana dirinya dan Una bersama. Siapa yang tahu Una tetap berada di
tempat itu, menantinya, atau menanti bayangan Januar pun tak apa. Yang penting
ada Una disana dan Raihan bisa puas melihat gadis itu.
“Eh, itu..” Raihan menghentikan
langkahnya ketika melihat sesuatu yang menyangkut di tepi sungai.
Benda itu seperti ranting, tapi
bentuknya lebih mirip sebuah pancingan sederhana daripada ranting. Ketika
Raihan mendekat, ia pun semakin yakin bahwa benda itu merupakan pancingan yang sangat
Una rindukan.
Pancingan Januar.
Raihan berjongkok dan mengamati
pancing bambu itu dengan seksama. Bagian bawahnya menyangkut pada rerumputan
yang ada di tepian sungai, hampir setengahnya juga sudah berlumut karena terendam
air.
“Hmm, ada disini ternyata..” gumamnya
sambil menarik pancing bambu itu.
Tak begitu sulit, tanpa tenaga ekstra
ia sudah bisa mendapatkan pancing bambu kesayangan Una di tangannya. “Apa aku
buang saja ya?” Raihan bimbang.
Ia menimbang-nimbang pancing bambu
dengan hati yang ragu. Setengah dari hatinya mengatakan bahwa lebih baik jika
ia melemparkan benda ini ke tengah sungai dan berpura-pura untuk tidak pernah
menemukannya lagi.
Akan tetapi sebagian hatinya yang lain
memaksanya untuk menemui Una dan menyerahkan benda yang begitu ia rindukan ini.
Benda yang akan memuat semua kenangannya bersama mendiang Januar.
“Oke, aku bawa saja..” putus Raihan.
Ia lebih memilih untuk berbesar hati
dan memberikan pancing pada Una. Harapannya hanya satu, agar Una bahagia. Tak
masalah lagi jika misalnya Una tak memiliki perasaan apapun pada dirinya.
Tak apa. Mungkin Raihan memang tak
pantas mendapatkan gadis itu, Raihan terlalu lemah untuk melindunginya.
***
Raihan terus berjalan menuju tempat
dimana mereka berdua akan bertemu, pancing Januar di tangan kanan dan tangan
kiri di saku. Tangan kirinya itu mengepal dan jemarinya saling meremas gugup.
Bagaimana bisa ia merasa begitu gugup
sekaligus penasaran dengan ekspresi yang akan Una berikan ketika ia menyerahkan
benda di tangannya ini. Semoga saja ia senang, hati Raihan akan sedikit
terobati jika dia tersenyum.
“Jangan kak! Jangan!! Nanti mamiku marah!!”
jerit suara yang begitu Raihan kenal. Suara Una.
Dilihatnya gadis berpakaian lusuh itu
tengah memperebutkan sebuah benda pipih dengan seorang lelaki berpakaian tak
kalah kumal. Wajah lelaki itu keras dan ia nampaknya sangat berminat dengan
smartphone yang Una bawa.
“Alaaaah! Hape colongan juga! Sini
kasih gue!”
“Bukan kak! Ini punya aku! Jangan!!”
Una menjerit ketika tangan hitam lelaki itu melayang di udara dan mendarat di
pipinya.
Dada Raihan sesak melihat gadis yang
ia sayangi itu terjatuh dengan pipi yang merah. Sementara lelaki yang sudah
berani memukul Una nampak sangat puas karena smartphone itu sudah berada di
tangannya.
“Sial!” dengus Raihan sambil
mempercepat langkahnya. Ia berlari dan menerjang lelaki berpakaian kotor itu.
Berani sekali dia memukul Una!
“Eh apa ini?!” lelaki itu tak terima.
Ia segera bangkit dan langsung melayangkan tinjunya ke arah Raihan.
Refleks Raihan mengelak dan ia menahan
tangan lelaki itu, dengan sekali tarikan ia membuatnya jatuh tersungkur mencium
rumput. “Berani lo!?” hardik lelaki itu sembari bangkit dan kembali melayangkan
tinju.
Raihan mengelak lagi, entah kekuatan
dari mana ia mengangkat tinjunya dan menyarangkan tinju itu tepat di rahang
brewokan milik lelaki itu. Dia terhuyung ke belakang dan meludah darah.
Nafasnya terlihat naik turun, matanya
merah marah tapi ia tak membalas. Ia langsung berbalik dan berlari pulang.
“Raihan! Kamu enggak apa-apa?!” seru
Una sambil memeluk Raihan dari belakang dan membalikkan tubuhnya untuk melihat
keadaan Raihan.
“Apanya yang sakit? Apa? Tadi kena
enggak?” tanya Una sambil menyentuh wajah Raihan. Kemudian beralih memegangi
lengannya, Raihan menahan tangan Una.
“Kamu sendiri? Kamu enggak apa-apa?”
Raihan balik bertanya dengan sebelah tangan yang mengusap pipi Una.
Masih bersemburat merah dan terlihat
masih sakit. Tapi gadis itu tak mengeluh, ia malah tersenyum sambil meletakkan
tangan kanannya di atas tangan Raihan yang masih mengusap pipinya. “Aku enggak
apa-apa.. enggak sakit kok..”
“Bener? Tapi kok merah begini..”
“Enggak, sumpah!” Una mengacungkan jarinya
membentuk swear. Raihan pun
tersenyum, dan langsung menarik tangannya.
Ia baru sadar bahwa tak seharusnya ia menyentuh
Una. Ya, tahu bukan? Una menyukai orang lain.
Untuk menghilangkan kecanggungan
Raihan memungutkan ponsel pintar Una yang tergeletak di rumput, tak jauh dari
tempat mereka tengah berdiri saat ini. Raihan menggerakkan jarinya di atas
layar ponsel dan menyalakan benda itu.
“Masih menyala, syukur deh! Aku fikir handphonenya
mati..” ujar Raihan mengucap syukur sembari menyerahkan benda itu kepada
pemiliknya.
Una menerima smartphone dengan senyum tipis.
Ia melirik Raihan dengan ujung matanya dan berterima kasih. Raihan hanya
mengangguk sedikit dan memalingkan muka, berpura-pura asyik melihat aliran
sungai yang masih sama seperti saat terakhir kali ia berada di tempat ini.
Raihan teringat pancing milik Januar
yang baru saja ia temukan, tadi ia melepaskannya ketika menerjang lelaki yang merampas
ponsel Una. “Eh, dimana ya tadi?” tanya Raihan pada dirinya sendiri.
“Cari apa?” Una mendekat.
“Cari.. ini..” jawab Raihan sambil
mengangkat pancing bambu yang ia cari. “I-itu..”
“Yaa, ini pancing kamu.. dari
Januar..” sambung Raihan dengan nada lemah.
Ada secuil rasa kecewa di dalam
hatinya melihat sorot bahagia di dalam mata Una. Padahal sejak ia memutuskan
untuk memberikan pancingan ini kepada Una, Raihan sudah menguatkan hatinya jika
kemudian Una begitu bahagia karena bisa kembali mengulur kenangan bersama
mendiang Januar.
Tapi ternyata tetap saja rasanya
menyakitkan.
“Darimana kamu dapat ini? Kan sudah
hanyut..”
“Ehm, menyangkut..”
“Oh.. boleh aku..”
“Ah, iya iya.. tentu! Ini punya
kamu..” Raihan menyodorkan pancing bambu di tangannya ke Una. Gadis itu
menerimanya dengan kedua tangan dan ia tersenyum.
“Enggak kusangka pancingan ini masih
bisa kupegang..” ujarnya pelan.
Raihan hanya menggumam tak jelas untuk
menyahuti kata-kata Una. Ia masih sibuk dengan perasaannya sendiri yang tak
karuan. Antara senang dan menyesal. Senang karena ia bisa membuat Una merasa
sangat bahagia, tapi menyesal karena Una bahagia karena Januar.
“Eh iya Raihan, aku penasaran sama
sikap kamu seminggu belakangan.. kamu kenapa sih?” celetuk Una, membuyarkan
lamunan.
Raihan tergagap dan menelan ludah
berkali-kali. Lidahnya terasa sangat kelu dan kerongkongannya terasa begitu panas.
Ia tak tahu harus menjawab apa, ia tak bisa berterus terang tentang alasannya
bersikap seperti itu pada Una. Bisa-bisa dia marah karena Raihan sudah lancang
menyukainya.
“Kenapa Raihan? Kamu kesal sama aku?”
“Eh! Enggak kok! Aku enggak kesal! Aku
cuma.. aku.. ehm.. aku cuma..” kegugupan Raihan semakin menjadi.
Apalagi Una malah semakin mendekat dan
menatapnya dengan pandangan yang sangat penasaran. Gadis itu seakan-akan ingin
membongkar semua yang ada di dalam kepala Raihan. Ingin mengeluarkan semua yang
dirahasiakan temannya itu.
“Raihan, kamu aneh deh..”
“Eh, apa?”
“Kamu aneh..” ulang Una. Matanya masih
melirik Raihan, yang dilirik semakin kecewa.
“Yaa.. aku memang aneh..” dia malah
menjadi putus asa.
Una semakin mendekat dan menyentuh
lengan Raihan, pemuda itu mendongak lalu tersenyum tipis. “Maaf ya, aku pasti
selalu bikin kamu hilang feeling.. enggak kayak Januar..”
“Maksud kamu?”
“Yaa.. aku aneh, aku cengeng.. aku
enggak bisa jadi cowok sejati kayak Januar..” tutur Raihan.
Mungkin karena hatinya sudah mentok
dan yakin tak bisa mendapatkan simpati Una. Una menyebutnya aneh, berarti dia
sama sekali tak menyukai Raihan bukan? Sepertinya ini adalah saatnya Raihan
untuk menjauhi Una, juga harus menghentikan perasaan yang selama ini ada di
dalam hatinya untuk gadis itu.
Una yang unik, juga menarik. Una
sangat rumit dan lelaki cengeng seperti Raihan sama sekali tak pantas menjadi
kandidatnya.
“Kenapa kamu ngomongnya begitu sih?”
“Enggak..”
“Raihan!”
“Apa?” Raihan menjawab dengan wajah
yang berpaling. Una berpindah ke hadapan Raihan, lalu menarik dagunya agar dia
mau melihat Una.
“Kenapa sih?”
“Aku enggak kenapa-kenapa!” elak
Raihan sambil mundur beberapa langkah dan ia pun bisa mendapatkan jarak dari
tubuh Una. Ia bisa bernafas dengan sedikit lebih lega.
Merasa kesal Una pun menyerah. Ia
sekarang mendaratkan pantatnya di atas hamparan rumput, menatap aliran sungai
dan memungut beberapa kerikil lalu melemparkannya ke tengah sungai.
Raihan merasa salah tingkah. Ia tak
mau melihat Una kembali merasa kecewa, tak mau melihat Una kesal, apalagi
sedih. Tapi ia tak bisa mengatakan apa yang sebenarnya karena ia takut jika Una
akan tersinggung.
“Una..” panggil Raihan.
Gadis itu menoleh sekilas, lalu
kembali asyik dengan kerikil-kerikil kecil yang ia lemparkan ke tengah sungai.
Dia cemberut dan nampaknya sangat kesal pada Raihan, dia tak mau memulai
pembicaraan lagi. Percuma.
“Maaf,”
“Maaf untuk apa” Una ketus dan Raihan
tercengang. Ditelannya ludah untuk membasahi kerongkongan yang kering.
Sekaligus mencari jawaban yang bisa membuat Una tak ketus lagi padanya.
“Eh, iya! Kelomangnya masih ada?”
tiba-tiba saja kedua kelomang bercangkang biru itu melintas di benak Raihan.
“Masih. “ Una makin ketus.
“Yaah, Una.. maaf.. kamu enggak tahu
sih apa yang sebenarnya..”
“Ya karena itu kamu ngomong sama aku!
Kamu enggak ngasih tahu aku!” gadis itu setengah berteriak pada Raihan.
Wajahnya masih cemberut.
Raihan menghela nafas dengan berat,
lalu memutuskan untuk duduk di atas rumput. Bukan di sebelah Una, melainkan di
belakangnya. Ia tak mau melihat wajah Una yang cemberut padanya. Ia merasa
sangat bersalah.
Una menoleh ke belakang, dahinya
berkerut. “Kenapa duduknya disitu?”
“Enggak..”
“Ah kamu enggak-enggak terus! Kamu
enggak suka sama aku? Kamu benci sama aku? Kamu enggak mau temenan lagi sama
aku?” tanya Una beruntun. Nadanya pun tinggi.
Raihan gelagapan. Ia tak tahu apa
jawaban yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan Una. Mengerjakan seratus
soal teorema phytagoras jauh lebih mudah daripada menjwab Una.
“A-aku.. aku..”
“Aah! Sudah! Pokoknya aku benci sama
kamu Raihan!!” teriak Una frustasi. Ia bangkit dengan kaki yang menghentak
tanah.
Secepat kilat Raihan menarik
tangannya, menahan Una agar tak pergi meninggalkannya. Tidak sebelum Raihan
mengatakan apa yang seharusnya ia katakan sejak dulu.
“Aku suka sama kamu Una.” Ucapnya
tegas.
Una tak menyahut, juga tak memprotes. Ia
hanya menatap Raihan dengan tatapan yang bingung, mungkin sedikit senang juga.
Tapi Raihan tak mau geer, sorot
bahagia itu sedikit sekali di dalam mata Una.
“Sejak aku kenal kamu, aku suka kamu.
Kamu unik, kamu beda.. kamu rumit Una..”
“Ehm, terus?”
“Yaa, aku-aku fikir kamu juga suka
sama aku karena kita selalu bersama dan cerita banyak hal.. tapi aku salah..”
sekarang Una menghadapkan tubuhnya ke arah Raihan dan membuat nafas pemuda itu
sesak. “Memangnya kenapa?” tanya Una bingung.
“Karena kamu tetap suka sama Januar.
Dia cowok yang paling kamu suka. Dia cowok sejati yang bisa miliki kamu..”
“Darimana kamu tahu?” hati Raihan
mencelos mendengar Una menanyakan itu. Pertanyaan yang ia lontarkan seakan-akan
telah menegaskan bahwa kesimpulan Raihan itu memang benar.
Mata Raihan mulai terasa panas,
hidungnya pun mulai terasa pedih lagi. Tapi sekuat tenaga ia menahan diri agar
tanggul air matanya tak bocor dan ia menjatuhkan harga dirinya di depan Una.
Baik atau buruk, suka atau tidak. Ini
adalah penyelesaian perasaan yang tengah menyiksa Raihan saat ini.
Dikepalkannya tangan dan ia menarik nafas dalam.
“Karena kamu tetap simpan semua
kenangan Januar. Kamu pakai baju lusuh agar tetap dekat dengan dia, kamu nangis
tiap ingat dia, kamu juga senyum saat ingat Januar..”
“Memangnya salah kalau aku tetap
pelihara kenanganku? Semua kenangan itu berharga Raihan.” Una nampak tak terima
dengan apa yang telah Raihan katakan.
“Yaa, memang. Tapi buat aku yang suka
sama kamu dan mikir kalau kita itu dekat.. rasanya sakit banget Una..” Raihan
menggantung kalimatnya, disempatkannya untuk menatap kedua bola mata Una.
Ditahannya emosi yang mendorong
tanggul air mata sekuat tenaga. Ia tak boleh menangis, setidaknya sampai Una
benar-benar paham dengan perasaan Raihan!
“Puncaknya saat kamu ingin pancing
cokelat itu Una..”
“Lho, memangnya kenapa?”
“Karena pancing itu mirip dengan
pancing Januar bukan? Kamu enggak suka pancing yang aku berikan.. karena itu
kamu ingin pancing yang lain..”
“Ta-tapi Raihan..”
“Enggak Una. Aku.. aku cuma mau minta
maaf kalau selama ini aku sudah coba masuk ke dalam hidup kamu, mencoba masuk
ke dalam hati kamu..”
“Aku enggak tahu kalau Januar ternyata
sangat kuat dalam hati kamu.” Raihan mencoba tersenyum dan ia berhasil.
Tapi senyumnya sama sekali tak tulus.
Raihan terlihat seperti seringaian seorang yang sudah berada di ambang putus
asa, tinggal sodorkan segelas cairan anti serangga dan ucapkan selamat tinggal.
“Raihan.. kamu tahu kalau aku..”
“Sudahlah Una.. aku cuma mau minta
maaf kalau aku sudah ganggu kamu..”
“Kenapa kamu ngomong begitu? Kamu mau
tinggalin aku?” tanya Una dengan suara yang bergetar.
Sepertinya Una juga tengah merasa
desakan emosi pula di dalam dirinya, ia terlihat sangat kecewa dan salah
tingkah. Raihan bisa melihat dengan jelas jika Una sekarang menatapnya dengan tatapan
yang sangat sedih.
“Aku pulang ya Una..”
“Raihan!”
“Sampai jumpa ya Una.. maaf..” Raihan
melepaskan pegangannya pada tangan Una. Tapi sekarang gadis itulah yang menarik
tangan Raihan agar ia tetap berdiri di hadapannya.
“Jangan pergi Raihan.. aku mohon..”
“Enggak Una.. aku enggak bisa..
maaf..” dan perlahan pegangan tangan Una melemah, sampai tangan Raihan
terlepas.
Pemuda itu pun melangkahkan kakinya menjauhi
Una, menjauhi bantaran sungai yang membuatnya mengenal Una. Mengenal seorang
gadis paling rumit yang telah membuat dia merasakan patah hati.
Untuk pertama kalinya.
***
Setelah mengutarakan perasaannya pada Una,
hati Raihan tak menjadi lebih baik. Ia malah merasa makin bersalah dan makin kecewa.
Ia tak merasa bahwa hatinya menjadi lebih lega, ia malah merasa sangat sesak
karena ia malah meninggalkan Una begitu saja!
“Kenapa aku jadi khawatir begini ya
sama Una?” gumam Raihan sambil meletakkan handuk di sandaran kursi.
Ia baru saja mandi dan berganti
pakaian, rencananya setelah ini Raihan akan mengerjakan tugas sekolahnya. Ada tugas
Fisika dan juga Kimia, selain itu ada tugas kesenian yang harus dikumpulkan
besok dan belum sedikit pun ia garap.
Tugas kesenian, lagi-lagi membuat
fikiran Raihan terpaku pada Una. Prakarya Sascha dibuatkan Una, sekalipun
akhirnya rusak karena terkena hujan namun kejadian itu telah membuat raihan
selangkah menuju jiwa lelaki sejati.
Ia tak menghindar saat Bambang
memukulinya. Ia tidak menyerah dan kabur, ia menghadapinya demi harga diri.
Demi kebanggaan Una.
Ah rasanya Raihan lebih suka masa-masa
itu. Masa dimana ia dulu tak memiliki fikiran apapun pada Una, begitu pula
gadis itu. Masa dimana ia tak memiliki harapan lebih pada Una dan bisa santai
berteman dengannya.
Ia tak perlu takut jika Una mencintai
orang lain, tak perlu merasa cemburu dengan kenangan masa lalunya. Fikiran
Raihan terpecah saat bunyi ringtone handphonenya terdengar memenuhi kamar.
Sandra menelpon.
“Iya Sandra.. kenapa?” tanya Raihan
langsung sesaat setelah mengangkat telpon.
“Una masuk rumah sakit.” Sandra
menjawab dengan pendek. Ia nampaknya sangat tegang karena suaranya terdengar
begitu tegas.
Raihan mengerutkan dahi, ia menelan
ludah dan menghela nafas beberapa kali. Sesaat ia merasa panik luar biasa, tapi
kemudian ia merasa bingung. Bagaimana bisa Sandra tahu keadaan Una? Bukankah
mereka berdua belum pernah bertemu?
“Dari mana kamu dapat kabar itu?”
“Tadi maminya telpon aku. Katanya
kalau kamu mau kamu bisa datang dan jenguk Una. Kasihan dia di ICU..” tutur
Sandra.
Kalimatnya meluncur begitu saja sampai
ke dalam dada Raihan, menusuk jantungnya dan membuat dirinya merasa tak lagi
menapak bumi. “Ke-kenapa dia bisa tahu nomor kamu?”
“Pas kamu tinggalin dia di depan
sekolah, aku dan Wawan ngobrol banyak sama dia.. kami tukeran nomor ponsel..”
jawab Sandra.
Hati Raihan pun merasa sangat nelangsa.
Ia memang sudah berkali-kali melakukan hal buruk kepada Una. Ia berkali-kali
membuat Una terlihat sedih, semua itu karena raihan egois dengan dirinya
sendiri!
“Raihan, kamu masih disitu?”
“Ah, i-iya! Aku masih disini! Dimana Una
dirawat?”
***
Dengan kecepatan penuh Raihan memacu
sepeda motor milik kakaknya menuju rumah sakit jantung yang Sandra sebutkan. Ia
tak mau membuang waktu sedikit pun yang akan membuat dirinya menjadi semakin
jauh dengan Una. Apalagi saat dia tengah kritis seperti saat ini!
Una tak boleh dibiarkan sendiri lagi.
Apapun yang akan terjadi, sepahit
apapun. Sekalipun hati Una tak bisa Raihan miliki, tapi setidaknya Raihan bisa
mencintai Una dengan caranya sendiri.
Mencintai itu tak harus selalu
memiliki.
Itu kalimat andalan mereka yang tak
mampu meraih cinta yang diinginkannya. Tapi memang begitu keadaannya. Raihan
memang tak bisa meraih cinta Una. Raihan tak bisa membuat cintanya bersambut.
Tapi siapa peduli?
***
Comments
Post a comment