 |
nuniekkr.blogspot.co.id |
“Gimana Dinda? Ketemu sama anak baru di fakultas kamu?”
tanya Kania yang sudah muncul di jendelaku. Aku tidak menjawab, aku lebih suka membenamkan
kepalaku pada bantal dan menangis tanpa suara.
Kurasakan Kania duduk di sebelah tubuhku dan menyentuh
bahuku lembut.
“Kenapa?” tanyanya pelan. Aku masih tak menjawab. Aku
tak perlu menjelaskan apa yang terjadi kepadaku saat ini. Biar saja, tokh nanti
aku akan lupa sendiri.
Bosan menunggu jawaban dariku Kania merebahkan tubuhnya
tepat di sebelahku, tanpa mengganggu kenyamananku. Tempat tidur ini memang
cukup luas untuk ditiduri oleh lebih dari dua orang.
“Dinda, kamu tahu enggak? Aku dan kamu itu punya banyak
kesamaan..” akunya dengan nada suara yang lemah. Kuangkat mukaku yang basah
oleh air mata dan menoleh kepadanya. Namun saat ia juga menoleh kepadaku aku
kembali membenamkan mukaku pada bantal.
“Kita berdua sama-sama memiliki keluarga yang enggak
lengkap, aku dijauhi yang lain karena kikuk dan yaa katakanlah orang aneh. Kamu
pun bilang kalau kamu juga dijauhi.. tapi aku enggak pernah ngerasa kalau aku
sendirian. Aku punya sahabat yang bisa membuat aku seakan memiliki seluruh
dunia..” sekarang aku benar-benar menatap wajahnya dengan lekat. Memahami
maksud dan arah pembicaraan yang ia katakan kepadaku. Kania balas menatapku
dengan senyuman yang tersungging di bibirnya.
“Dinda, kamu jangan pernah nangis sendirian.. kan ada
aku. Kita berdua sahabat kan?” aku tertawa dengan air mata yang masih meleleh
di kedua kelopak mataku mendengar kalimatnya yang terakhir. Kusampirkan
lenganku pada pundak Kania yang masih berbaring di sebelahku,
“Iya, aku enggak bakalan nangis sendirian lagi. Aku
pasti bakalan cerita sama kamu dan nanti kita nangis bareng-bareng ya?” Kania
mengangguk sambil tertawa juga. Aku tengah bersiap untuk mengatakan apa yang
membuatku menangis ketika pintu kamarku terbuka. Ibu muncul dari balik pintu.
“Ada yang nyari kamu Dinda..”
“Siapa?” tanyaku tanpa memandang ibu.
“Laki-laki..”
“Om Iwan? Aku enggak mau ketemu bu. Bilang saja aku
tidur.”
“Dinda! Apa kamu enggak bisa lebih sopan sama ibu?
Kenapa kamu jadi seperti ini sih? kapan kamu mau ngertiin ibu? Ibu ingin
bahagia Dinda! Kamu jangan egois!!” dengan sekali sentakan aku terbangun dan
menghadapkan tubuhku pada ibu. Kutatap matanya dengan penuh kekecewaan, gigiku
gemeletuk menahan amarah.
“Ingin bahagia? Aku jangan egois? Memangnya aku enggak
mau bahagia bu? Memangnya ibu enggak egois?”
“Kamu enggak ngerti Dinda!”
“Aku bicara karena aku ngerti bu. Apa ibu enggak sadar selama
ibu mencari kebahagiaan diluar sana, dengan semua teman bisnis itu.. ibu sudah
membuat hidup aku begitu sepi bu, aku benar-benar kesepian. Aku enggak merasa
bahagia lagi. Aku merasa hanya ada aku saja di dunia ini. Kalau aku boleh
memilih, aku lebih menghormati Kania daripada ibu. Dia yang selalu ada untukku,
bukan ibu.” Wajah ibu memerah. Menahan marah. Mungkin ia tersinggung, tapi
sudahlah. Tanggung! Aku harus memberi tahukan semua ini kepada ibu. Aku tak tahan lagi!
“Tapi ibu mencukupi semua kebutuhan hidup kamu Dinda.”
“Iya, dan aku sangat berterima kasih. Tapi aku lebih
membutuhkan kasih sayang ibu diatas segalanya..” pungkasku. Ibu terdiam,
menunduk dan tidak menjawab apapun.
“.. teman kamu menunggu di depan Dinda..” hanya itu yang
keluar dari bibirnya. Setelah mengucapkan kalimat itu ibu pergi.
“Dinda..” panggil Kania sambil meletakkan tangannya pada
bahuku, aku menengok dan tersenyum. Menunjukkan bahwa aku tidak apa-apa.
“Aku ke depan dulu ya? Nanti aku balik lagi..” Kania
mengangguk dan menatapku yang keluar kamar.
Aku berjalan cepat menuju pintu depan, kulihat seorang
pembantu yang tengah membersihkan semua isi lemari pajangan. Aku lupa kalau
hari ini adalah hari bersih-bersih. Tiga orang pembantu yang membersihkan rumah
pasti sudah datang semua.
“Neng,” sapanya sopan. Aku membalas sapaannya dengan
senyuman dan segera kulanjutkan langkahku menuju pintu depan. Menemui tamuku,
untuk pertama kalinya. Selama aku hidup memang tak pernah ada orang yang ingin
menemuiku, seorang alien dengan kulit hijau dan gigi kelinci yang besar. Andra
yang mengatakan itu padaku. Padahal wajahnya sendiri aneh dengan banyak
jerawat.
“Andra?!! Ngapain kamu kesini?” hardikku galak melhat
tamu pertama yang datang menemuiku adalah orang yang mengata-ngataiku beberapa
tahun yang lalu. Saat aku masih kelas satu SMA. Sekarang dia berdiri di depan
pintu rumah dengan cengiran lebar yang begitu menyebalkan, namun harus kuakui
bahwa wajahnya kini jauh lebih tampan tanpa jerawat.
“Aku mau tanya, valentine nanti kamu ada acara enggak?”
“Apa urusanmu?” tanyaku judes.
“Aku mau ajak kamu keluar..”
“Apa? Aku enggak mau.” Tolakku dengan tegas. Tanpa harus
mencari alasan kenapa aku tak bisa menerima ajakannya.
“Kenapa? Ya sudah, aku saja yang datang ya?”
“Jangan! Aku enggak mau valentine tahun ini bermasalah
kayak tahun-tahun sebelumnya. Aku mau valentine tahun ini tenang. Jadi aku
harap kamu mau baik hati untuk enggak ganggu aku.” Paparku panjang lebar.
Berharap Andra mau mengerti.
Namun ia malah mengeluarkan satu batang coklat persegi panjang
dengan bungkus alumunium berwarna emas. Kreek..
Ia menyobek kertas alumuniumnya, mematahkan sepotong cokelat dan memasukkannya
ke dalam mulutnya.
“Cokelatnya enak.. kamu mau?” ia menyodorkan cokelat itu
ke hadapanku. Aku tidak menolak, tidak juga menerima. Kutatap coklat yang sudah
terpotong itu lekat-lekat. Aku punya pengalaman buruk dengan benda manis dan
dicintai gadis-gadis seusiaku ini.
Aku pernah membuatkan cokelat untuk seseorang. Tapi
ternyata ia melemparkannya ke tanah.
Sepertinya ini adalah giliranku melakukan hal yang sama.
Kutepis coklat itu dengan sedikit tenaga ekstra dan
coklat berbungkus kuning itu pun jatuh di lantai.
Andra terdiam. Aku pun diam. Tapi aku segera berbalik
dan masuk ke dalam rumah. Kubanting pintu di depan hidung Andra tanpa ragu,
setelah melakukan itu semua hatiku merasa agak puas.
Setidaknya aku sudah membalas perlakuannya beberapa
tahun yang lalu. Aku tak peduli dengan apa yang akan ia katakan nanti. Tokh aku
kan memang seorang alien yang aneh? Jadi tak usah takut dikata-katai yang lebih
sakit daripada saat ini.
***
Comments
Post a comment