- Get link
- Other Apps
Bagian satu >>>>>>> Broken Hearted Chocolate
Ibuku pulang larut malam. Entah pukul berapa ia bisa
tidur, karena hingga pukul delapan pagi ibuku belum bangun juga.
Aku berangkat ke kampus setelah menyantap setangkup roti
isi telur dadar dan keju buatanku sendiri. Tak ada pembantu atau asisten rumah
tangga di rumahku, tak ada yang memasak dan melayani kami. Ada juga orang yang
datang untuk membersihkan seluruh rumah seminggu tiga kali. Urusan cuci mencuci
pun tak jadi fikiran, ibu memiliki laundry langganan yang mengurus semua cucian
kami.
Tadinya aku ingin membuatkan setangkup untuk ibu, lalu
kuantarkan ke kamarnya dengan segelas susu low fat yang biasa ibu minum, namun
niat itu urung. Aku tahu ibu tak akan bangun hingga siang nanti, sarapan
buatanku akan sia-sia saja.
Sekalipun aku dibekali sebuah mobil keluaran baru yang
elegan dan nyaman, aku lebih suka menumpang mobil angkutan umum yang berdecit
dan selalu ngetem sembarangan. Aku lebih suka berdesak-desakkan di dalam angkot
bersama ibu-ibu yang baru pulang dari pasar, bersama anak-anak SMP yang
cekikikan berisik dan lelaki dengan bau ketek yang menyengat daripada sendirian
menyetir mobil, bosan menunggu lampu merah berganti lampu hijau dan tak ada
yang menggantikan posisi sopir saat aku malas menyetir. Tapi alasan utama aku
lebih memilih naik kendaraan umum adalah karena naik angkutan umum selalu
dikelilingi banyak orang. Suatu hal yang tak pernah terjadi di dalam hidupku.
“Apa nih?” tanyaku pada diri sendiri saat kakiku
menginjak sebuah amplop yang tebal di atas keset di depan rumah. Kubungkukkan
badan untuk mengambil benda itu dan membaca nama pengirim serta untuk siapa
surat itu ditujukan.
“Buat aku, tapi pengirimnya no name?” desisku sambil
membolak-balik benda berwarna putih dengan cap sol sepatuku di salah satu
sisinya. Setelah yakin benda itu benar-benar ditujukan kepadaku, aku tak serta
merta membuka amplop yang lumayan tebal ini, namun kugoyangkan, kuendus dan
kuterawang lebih dulu. Takutnya ada suara, bau dan bayangan yang mencurigakan
dari dalam amplop misterius ini. Tapi sepertinya isi benda persegi panjang ini
hanya kertas. Kubuka perekat dengan hati-hati dan menarik lipatan kertas di
dalamnya keluar.
Selembar surat yang ditulis dengan tulisan tangan yang
sangat rapi.
“..akhirnya aku
bisa mengumpulkan keberanian untuk menempuh jalan menjadi lebih dekat denganmu.
Jalan untuk meminta maafmu dan mengulang semuanya dari awal..” aku
mengernyit total.
Lha? Siapa yang iseng nih? Memangnya kenapa minta maaf
segala? Mengulang semua dari awal bagaimana ya? Memangnya siapa yang pernah menciptakan
kenangan bersamaku hingga ingin mengulangnya dari awal lagi?
Cih, orang kurang kerjaan! Kuremas surat itu dan kulemparkan
pada salah satu pot besar di dekat kursi rotan di teras.
“Pluk!” tepat masuk ke dalam pot. Setelah itu aku segera
melanjutkan perjalananku menuju gerbang luar untuk menunggu angkot yang akan
mengantarkanku ke kampus.
Sekarang sudah tanggal sebelas dan aku merasa sangat
mulas menyambut tanggal empat belas. Masalah apa lagi yang akan menggangguku
tahun ini?
***
Fakultas ilmu politik dan sosial. Jika dihitung total
seluruh mahasiswa tingkat satu hingga tingkat empat, semuanya tak lebih dari
delapan puluh orang alias per tingkat hanya ada satu kelas yang berisi dua
puluh orang mahasiswa. Fakultas ilmu politik ini memang sama sekali bukan
jurusan yang banyak diminati. Kebanyakan yang masuk ke dalam fakultas ini
adalah mereka-mereka yang sudah ditolak semua fakultas populer.
Tapi tidak dengan aku. Aku benar-benar ingin masuk
fakultas ini karena aku ingin melanjutkan pendidikanku dengan aman dan nyaman. Tak
masalah jurusan apapun. Kebetulan fakultas ilmu politik dengan satu program
studi dengan nama yang sama sangat memenuhi kriteriaku. Aku bisa konsentrasi
belajar sekaligus tenang dengan lingkungan sekitar yang ehm, sunyi senyap.
“Dinda, baru datang?” sapa Aini. Mahasiswi berkaca mata
yang menyasar ke fakultas ini setelah ditolak fakultas kedokteran sudah sampai
di kampus, entah sejak jam berapa. Dia memang selalu datang paling awal. Prinsipnya
lebih baik menunggu daripada telat. Jempol deh untuk Aini.
“Iya, tapi yang lain juga belum datang ya?” aku balik
bertanya sambil meletakkan tas yang hanya berisi laptop di atas kursi sebelah
tempatku duduk. Aini menganggukkan kepalanya dan menghadapkan tubuhnya
kepadaku.
“Eh, malam valentine kamu mau kemana? Katanya anak-anak
mau ngedate bareng tuh.. mau ikut enggak” tanyanya dengan mata yang berbinar.
Aku menanggapinya dengan cengiran khas kuda.
“Enggak lah, aku di rumah saja.. aku enggak suka
valentine,”
“Tapi kan cuma di malam valentine kita boleh keluar malam..”
“Enggak juga, aku boleh keluar malam kapan saja.
Sesukaku. Tapi aku enggak suka keluar malam..” jawabku pelan. Aini masih asyik
memperhatikan wajahku dan mendengarkan apa yang aku katakan.
“Enak ya boleh keluar tiap malam?” ujarnya, aku melirik
Aini dengan ujung mata dan lagi-lagi nyengir kuda.
“Sama sekali enggak. Aku lebih suka dilarang keluar
rumah, dilarang ini dan itu..” akhirnya aku malahan curhat colongan. Aini
mengerjap-erjapkan matanya dengan ekspresi yang bingung.
“Udah lah enggak usah dipikirin.. aku asal ngomong kok!”
ujarku mencoba mengalihkan pembicaraan, plus seulas senyum. Aini mengangkat
bahu lalu menaikkan kacamatanya yang nyaris melorot dari cuping hidungnya,
Sebuah ketukan menyapa telinga kami berdua. Sesosok
lelaki muda dengan polo shirt putih dan kacamata berbingkai hitam melongokkan
setengah tubuhnya di ambang pintu kelas.
“Ini tingkat dua ilmu sosial politik?” tanya lelaki muda
itu dengan suara yang cowok banget. Nge-bass namun lembut, membuai. Sesaat aku
terpana namun segera kukuasai perasaan dan mengiyakan pertanyaan lelaki itu.
Dengan ragu-ragu ia memasuki kelas dan mengedarkan
pandangannya ke seisi kelas yang baru
diisi dua orang mahasiswi. Aku dan Aini.
“Kamu.. siapa?” tanyaku tanpa basa-basi. Ia menunjuk
hidungnya sendiri, aku mengangguk dan ia tertawa. Lesung pipitnya manis, tapi
dia tertawa di saat yang tidak tepat. Lucu sebelah mana pertanyaanku?
“Aku Andra. Tetangga kamu.. Dinda..” aku tercekat.
Langsung terdiam dan mulutku terkunci rapat. Dia tahu namaku!
Aini tak kalah bingungnya dengan aku. Ia menengok
kepadaku, lalu mengalihkan pandangannya pada lelaki di depan kelas.
Kutatap wajah berkaca mata itu, kuamati dengan seksama.
Mencari memori masa lalu yang sekiranya memuat wajah seperti lelaki yang
mengaku bernama Andra itu.
Memori tentang Andra mulai muncul, masih berwarna
abu-abu dan belum terlalu jelas. Kupertajam ingatanku dan hatiku malah tersayat
ngilu.
Satu-satunya memori tentang orang yang bernama Andra itu
adalah salah satu luka yang muncul di hari valentine beberapa tahun yang lalu.
“Banyak berubah kamu ternyata..” ujarku dengan nada
sinis. Tatapanku berubah menjadi tatapan penuh benci, bukan tatapan menyelidik
lagi. Bukannya membalas tatapan benciku dia malah tersenyum tulus,
“Ya, tapi kamu tetap tidak berubah..”
“Tetap terlihat bodoh dan aneh. Anti sosial, freak,
alien with green skin.. apa lagi ya? Dulu ada cowok yang pernah bilang itu
semua padaku.”
“Bukan begitu.. maksudku kamu tetap menarik Dinda..”
“Menarik dalam artian aneh dan berbeda sih iya..”
sangkalku. Aku yakin Aini sangat bingung dengan pembicaraan kami berdua. Tentu
saja, dia tidak tahu apa-apa tentang aku dan Andra.
Percakapan kami berdua saat ini adalah petikan dari
percakapan sebelumnya, beberapa tahun yang lalu.
Percakapan setelah dia membuang coklat yang kubuat
dengan segenap harapan dan perasaan yang kupunya. Ia buang, dihempaskan begitu
saja ke tanah.
Aissh! Sakitnya!
Ribut-ribut terdengar di samping kelas, nampak mahasiswa
tingkat dua yang lain datang bergerombol bersama seorang dosen muda. Aku pun
segera meraih laptopku dan mengeluarkannya, siapa menerima kuliah pagi ini.
Andra duduk di kursi bekas tas laptopku. Entah kenapa ia
memilih duduk disitu padahal kursi kosong masih bertebaran di seluruh kelas. Karena
aku tak mau terlibat pembicaraan lagi dengannya, bahkan untuk menyuruhnya pergi
dari sebelahku, lebih baik aku yang mengalah. Aku pergi ke kursi lain di dekat
Aini. Sedikit lebih jauh darinya membuat hatiku lebih tenang.
***
Comments
Post a comment