- Get link
- Other Apps
Epilog
***
Raihan termangu. Ditatapnya nisan hitam
dengan pahatan nama Khuzna di salah satu sisinya dengan mata buram. Ia ingin
menangis, tapi tak bisa. Ia sudah berjanji.
Una sudah lebih dari dua bulan berada
di sini, beristirahat dengan tenang untuk selamanya. Tak perlu lagi
mengkhawatirkan jantungnya, paru-parunya.. atau bahkan bullying yang sering ia dapatkan di sekolah.
Una pasti sangat bahagia di tempatnya
sekarang. Raihan yakin dengan hal itu.
Rasa sesal tak pernah berkurang
sedikit pun dari dalam hatinya, kecewa dan juga rasa sedih selalu memenuhi rongga-rongga
dada Raihan. Ia tak bisa memenuhi permintaan terakhir Una, tak bisa menciptakan
kenangan yang lebih indah bersama gadis itu.
“Ayo pulang, sudah terlalu lama kita
disini..” sebuah tepukan di bahunya membuat Raihan tersentak.
Saat ia menoleh nampak Wawan tengah menatapnya,
sedangkan Sandra berdiri tak jauh darinya dengan mata yang juga terpaku pada
Raihan. Mereka berdua memang menemani ia sejak sepulang sekolah, seperti
hari-hari sebelumnya.
“Raihan, kami tahu kamu kehilangan
Una, “
“Kami mengerti sakitnya.. tapi enggak
berarti harus seperti ini setiap hari..” ujar Wawan dan Sandra bergantian.
Raihan menggeleng pelan, lalu
menundukkan kepalanya dengan lesu. Menatap tanah berumput yang tengah ia injak.
Ia kembali terbayang rerumputan di tepian sungai, dimana ia dan Una selalu
bertemu.
Bagaimana keadaan tempat itu sekarang?
Sejak Una meninggal Raihan tak pernah datang kesana lagi. Rasanya pasti sangat
menyakitkan.
Raihan tak bisa menjalani harinya dengan
cara yang sama dengan saat Una masih ada. Ia ingin mati saja rasanya.
“Ayo semangat Raihan, Una enggak akan
senang lihat kamu begini..” Sandra berusaha membangkitkan semangat sahabatnya
itu walaupun ia tahu sedikit sulit.
“Aku hanya menyesal.. aku enggak tahu
dia juga menyukaiku, aku fikir dia hanya menyukai Januar..” gumam Raihan pelan.
Kepalanya masih menunduk.
“Jalani hidupmu dengan penuh semangat,
jadilah lelaki sejati. Una inginkan itu..”
“Maksud kamu Sandra?” Raihan mulai
tertarik dengan pembicaraan ini. Mungkin ada sesuatu yang belum ia ketahui
tentang Una dan Sandra mengetahuinya.
“Apa Una pernah ngomong sesuatu sama
kamu?” desak Raihan. Ia mendekati Sandra dan melewati Wawan dengan terburu-buru
sampai menyenggol bahunya.
“Ya, “
“Kapan? Dimana? Dia ngomong apa saja?
Apa dia ngomong tentang aku? Apa yang..”
“Raihan... Una hanya minta kamu jadi
lelaki yang kuat, yang enggak cengeng dan tetap hidup dengan penuh semangat..”
sela Sandra dengan mimik mukanya yang dingin.
Raihan terdiam dan ia sama sekali tak
percaya jika Una hanya mengatakan itu. ia ingin Una menitip kata lainnya yang
lebih ia harapkan, kalimat yang akan membuatnya mendapatkan suntikan semangat
lagi.
Sekarang hidupnya terasa mati dengan
penyesalan yang ia rasakan.
“Dia hanya bilang kalau dia cinta
kamu, tapi dia enggak mau kamu terpaku padanya..”
“Bagaimana bisa aku enggak terpaku
sama dia? Aku mencintai dia sejak pertama kali aku melihatnya! Una berbeda dan
Una rumit! Aku enggak bisa tanpa Una!!” Raihan meraung.
Sandra dan Wawan terlihat kaget dengan
perubahan emosi Raihan yang begitu tiba-tiba. Mereka tak menyangka jika Raihan
bisa semurka itu dengan sangat cepat, serta tak terduga.
“Lalu untuk apa kami disini?”
“Kami disini untuk menemani kamu
Raihan, tanpa Una memintanya pun kami akan selalu menemani kamu..”
“Maksud kalian apa? Kalian itu
sahabatku, sudah tentu kalian akan selalu menemani aku.. lalu Una? Dia cinta
pertamaku dan dia pergi!”
“Ya itu, dia tahu dia akan pergi, dia
tahu kami enggak akan tinggalin kamu dan dia senang bisa pergi dengan tenang..”
Sandra mengucapkan kalimat itu dengan tegas dan yakin.
Kalimat itu sukses membuat Raihan
terdiam. Tungkainya terasa lemas, dan ia langsung melorot. Ia jatuh terduduk
dengan mata yang terasa panas.
“Una tahu dia akan pergi?” bisiknya.
“Ya, “ jawab Sandra. Ia tetap pada
sikapnya yang diam dan tegas, berbeda dengan Wawan yang sudah memburu Raihan
untuk membantunya berdiri.
“Dia tahu dia akan pergi dan dia
menitipkan kamu pada kami. Kami harus membantu kamu bangkit Raihan, kami harus
selalu bersama kamu dan meyakinkan diri bahwa janji kami pada Una sudah
ditepati..”
“Janji apa itu Sandra..”
“Berjanji untuk membuat kamu temukan
cinta baru, dan enggak menangis lagi..” pungkas Sandra.
“Temukan cinta baru dan jangan
menangis..” Raihan mengulangi kalimat Sandra dengan bergumam pelan.
Dipejamkannya mata sesaat dengan hati
yang kosong. Rasa dingin itu memang masih terasa, dingin dan kosong. Hampa..
Tapi sesaat setelah ia meresapi makna
kalimat yang Sandra ucapkan, kalimat wasiat dari gadis yang ia cintai, hatinya
berangsur membaik.
Ada rasa hangat yang menyelusup di
dalamnya. Rasa yang membuatnya merasa sedikit bersemangat. Rasa yang membuatnya
ingin kembali hidup dengan rasa baru yang begitu berbeda.
“Ya.. aku akan jadi apa yang Una mau..
aku akan jadi apa yang ia harapkan..” tegas Raihan.
Sandra dan Wawan hanya tersenyum
sembari saling bertukar senyum. Keduanya lalu mengulurkan tangan masing-masing
untuk membantu Raihan berdiri dan siswa yang masih terduduk di tanah itu
meraihnya serta mengalungkan kedua lengannya pada bahu Sandra, juga Wawan.
Perlahan ketiganya berjalan berangkulan
keluar dari komplek pemakaman, dengan langkah yang berbeda dari langkah awal
ketika mereka memasuki tempat ini. Langkah sekarang penuh dengan harapan dan
juga semangat.
Ia harus bisa menghidupkan
hari-harinya seperti saat Una masih ada. Juga jangan cengeng lagi. Sekalipun
sudah tak ada fisik Una sebagai alasannya agar bisa menahan tangis untuk harga
dirinya, namun ia masih memiliki cinta abadi Una.
Cinta mereka berdua akan selalu ada,
cinta mereka tak akan berakhir sekalipun Raihan menemukan gadis lain yang bisa
mencintainya.
Cinta Una padanya, juga cintanya pada
Una akan tetap terjaga di dalam hati.
Selamanya.
***
Comments
Post a comment