- Get link
- Other Apps
Bukan
sekali dua kali aku dikatai gila oleh teman-temanku, bukan hanya teman
sepermainanku saja, tapi juga teman-teman satu kampusku. Kampus seni, padahal
kami sama-sama pelaku seni, sama-sama seniman yang punya gaya masing-masing.
Tapi mereka mengataiku gila.
Gila!
Tapi
aku tak peduli. Kenikmatan saat inspirasi dan imajinasi berbaur satu memasuki
kepalaku sudah membayar semuanya. Tak ada yang mengerti rasa puas tak terperi
yang membuat hatiku menggembung bangga, saat aku berhasil menyelesaikan lukisan
penuh cinta. Orangtuaku bilang itu lukisan sampah, tak jelas. Tapi
dosen-dosenku memuja hasil karyaku, karyaku jenius!
Edan!
Aku
tak sombong, rasa bangga sudah cukup. Aku tak puas dengan pujian dosen-dosen
dan beberapa dosen tamu yang kesehariannya adalah seniman yang sudah punya
nama. Aku ingin sesuatu yang lebih, tapi entah apa.
Kekasih?
Heh, kenapa kata itu terlintas di
benakku? Aku memang tahu apa arti kata yang satu itu, pasangan yang menjadi
tempat berbagi kasih sayang, seseorang yang bisa kunikmati hangat tubuhnya saat
aku dilanda bosan, ya setidaknya begitu yang dikatakan beberapa rekanku yang
doyan perempuan. Mereka bilang kalau inspirasi mampet, kepala mumet, maka
perempuan yang bisa bereskan. Entah diapakan, tapi sepertinya asyik. Tapi untuk
apa aku merasakan tubuh perempuan? Aku punya semua yang dipuja kawan-kawanku
dari seorang perempuan. Buah dada dan bokong yang padat.
Huh!
Lagipula aku tak pernah merasakan
inspirasi mampet dan kepala mumet, imajinasi dan inspirasi layaknya kekasih yang
selalu mencumbu hatiku. Ah iya, mungkin seperti itu rasanya tubuh perempuan,
tubuhku ini. Menyenangkan dan menghasilkan karya nyata yang agung.
“Pagi Kang!” sapaku.
Entah ramah entah apa, yang jelas tiap
kulihat wajah kang Hendi aku selalu ingin menunjukkan bentuk aneh dari bibirku,
yang terangkat di kedua ujungnya dan membuat lelaki yang sudah beruban itu melakukan
hal yang sama. Senyum, itu senyum bukan?
“Seperti biasa Nuy?” aku mengangguk
mengiyakan kata-katanya.
Kang Hendi itu seorang Sunda asli, sama
seperti aku. Hanya saja dia laki-laki dan sudah beruban, sementara aku
perempuan dan rambutku masih hitam. Ia waras dan memiliki sebuah warung makan
yang lumayan ramai, sementara aku sedikit gila dengan satu tas penuh jejalan
kertas dan konte.
Secangkir kopi moka, mengepul hangat
dengan aromanya yang khas. Sepiring nasi dengan lauk telur dadar dan tumis
sayuran, kadang kalau sedang mood aku
minta perkedel dan ikan goreng, tapi kebanyakan sih aku makan nasi telur dan tumis itu. Lebih nikmat membuat sketsa setelah perutku
diisi makanan itu.
Kopi moka. Aromanya manis,
mengingatkanku bahwa aku ini seorang perempuan yang harusnya bersikap manis dan
cepat kawin dengan lelaki ganteng. Tapi tidak ah, terima kasih. Aku lebih suka
mencumbu alat lukisku, memproduksi aneka mahakarya agung yang membuat hidungku
kembang-kempis melihatnya bangga. Daripada bikin anak, repot mengurusi
ompolnya.
Pukul 8.30
Jantungku seperti berhenti berdetak dan
aroma manis kopi moka sudah tak mempan menggoda hidungku lagi. Saat ini adalah
masa-masa dimana satu bejana imajinasi dan hasrat melukis tercurah total ke
dalam kepalaku, membasahi otak dan terserap rata ke seluruh sistem syarafku. Menggerakkan
seluruh anggota tubuh untuk membuat sketsa, sepasang tanganku bergerak lincah
menangkap inspirasi yang bertebaran di sekitarku, inspirasi dan imajinasi
melukis yang bersumber dari dia.
Lelaki tampan dengan rupa laksana
bidadari versi lelaki. Apa istilah bidadari dengan jenis kelamin lelaki?
Bidadara? Ah, baiklah mulai saat ini akan kupanggil dia sebagai bidadara.
Penampilannya sederhana, sehari-hari pakai sendal jepit dan baju Pangsi, hitam-hitam nampak makin gagah.
Tak ada lelaki modern yang mengenakan baju Pangsi
setiap hari, apalagi saat ia turun dari tangga rumahnya selalu ada cahaya
terang benderang di sekitar. Lelaki yang ajaib, siapa?
Ia pasti lelaki istimewa, lelaki yang
memiliki kharisma dan wibawa yang luar biasa, lelaki yang mampu menggetarkan
jiwa ragaku, melemahkan aku sampai ke seluruh sendi. Perasaan ini tak pernah
kurasakan saat melihat teman sebayaku, atau lelaki lainnya. Mereka tak nampak
sebegini laki. Mereka lebih mirip lelaki yang memiliki buah dada montok dengan
ukuran 38D. Tahu apa sebutannya? Ya, itulah.
Lelaki itu. Yang jadi model sukarela
tiap pagi, mengisi lembaran kertas sketsa dalam tas kain blacu milikku.
Kuabadikan tiap sudut rahangnya yang tajam, jambangnya yang begitu lelaki, tiap
lekuk ototnya yang menyembul dari lengan baju Pangsi-nya yang begitu khas. Aih, lelaki itu...bidadara inspirasi.
Kali ini kutangkap pesonanya dalam sketsa
torso, alias sebatas dada saja. Kubayangkan ia dengan dada yang telanjang
dengan otot dadanya yang menyembul indah. Bidadaraku, teruslah seperti itu,
biarkan aku yang terus memunguti ceceran kharismamu itu dan abadi dalam
lembaran kertas ini. Siapa tahu anak cucu kita akan sama gilanya dengan aku.
Anak cucu?
Aku jadi geli sendiri. Bagaimana bisa
aku dan dia memiliki anak cucu jika namanya saja aku tak tahu? kalau saja aku
tak punya malu (seperti biasa), mungkin aku akan mendatanginya tepat saat dia
keluar dari istana. Menyentuh tangannya dan menyebutkan namaku, Nuy. Mungkin
dia akan langsung membalas perkenalanku, tersenyum lantas menyebut namanya
sendiri. Mungkin juga setelah itu antara kami berdua akan mengobrol asyik di
depan istananya, yang megah dan memiliki banyak tangga seperti pintu masuk
khayangan. Tapi tiba-tiba saja aku punya rasa malu berhadapan dengan dia,
jadilah aku hanya duduk diam di depan warung kang Hendi memegang konte dan
kertas gambar. Melukis dia, bidadara asmara.
Mungkin nama lelaki itu seperti nama
ksatria zaman Ciung Wanara, atau juga seperti nama bangsawan Sunda kebanyakan.
Entah, aku tak mau menebak-nebak karena takut menyalahi kedudukanku sebagai
seorang pecinta diam-diam. Secret Admirer
istilah gaulnya.
“Ya Tuhan.”
Jantungku benar-benar berhenti berdetak
kali ini.
Dia menoleh ke arahku dan ia
menghentikan langkah, angin surgawi meniup pakaiannya dan membuat ia terlihat
seakan melayang-layang. Aku makin terpana, aku makin...entahlah, makin jatuh
cinta?
Gila!
Iya, sekarang aku sadar diri jika aku
ini memang seorang perempuan gila. Seniman abal-abal yang katanya jenius, yang
jatuh cinta pada seorang bidadara yang sudah sekitar dua bulan ini kuperkosa
dengan konte di tanganku ini.
Perkosa?
Memangnya perempuan boleh memperkosa?
Bukannya itu tugas kaum lelaki? Ah, masa bodoh. Ini zaman emansipasi wanita.
Aku boleh memperkosa siapapun itu, dengan konteku.
Tersenyum dan mengangguk khidmat.
Seketika pula kurasakan aku mati. Iya,
mati karena terlalu bahagia.
Tuhan.
Nikmat sekali melihat senyumnya
ditujukan khusus untukku. Aku, si pemerkosa pesona dengan sebuah konte, yang
berbulan-bulan memuja kini disadari keberadaannya. Selain berhasil
menyelesaikan mahakarya abadi, melihat senyuman dia juga membuat aku merasa
teramat bangga.
Bangga telah menjadi seorang pengagum
rahasia yang disadari keberadaannya.
Eh bodoh. Dimana-mana pengagum rahasia
itu tak boleh disadari keberadaannya. Kenapa aku malah begitu bangga dia tahu
bahwa aku ada? Ah sial, aku malah dibuat bingung jadinya. Aku tak mau
menunjukkan lututku yang gemetar gila-gilaan karena gugup saat melihatnya, tapi
aku tak kuasa selamanya duduk begini melukis dia diam-diam.
Aku tahu kang Hendi sering melirikku
diam-diam, kadang tersenyum aneh. Seperti memaklumi ketidakwarasanku. Tapi ya
sudahlah, memangnya aku mau dia berperilaku seperti apa? Aku ini sedang jatuh
cinta, semua orang yang kasmaran tentunya gila.
Setelah kembali menjejakkan kaki dan
kembali sadar, kugenggam konte dan siap menyelesaikan sketsaku. Tapi dia ternyata
sudah pergi, membuatku kesal dan menyesal setengah mati. Kenapa tadi malah
malu-malu tak jelas? Harusnya aku mengoptimalkan waktuku untuk menyelesaikan
puji-pujianku untuk bidadara itu, iya sketsa ini. Waktuku untuk membuat rekam
jejak ketampanannya tak lebih dari lima belas menit, selama ia turun dari
tangga istana yang begitu tinggi, hingga ia hilang di arah Barat.
“Sudahlah, aku selesaikan besok saja...”
aku mendengus sambil membanting konte.
Sial!
Malam itu aku mimpi buruk, tidurku tak
nyenyak dan berkali-kali terbangun dengan peluh bercucuran di pelipis. Aku
kesal tidurku jadi tak bermutu, pagi harinya jadi kurang mood untuk melukis. Ah, ini gara-gara sketsa torso dia tak selesai.
Akhirnya aku memutuskan untuk datang
lebih pagi ke warung makan kang Hendi, karena sialan sekali buku sketsaku pakai
acara ketinggalan di sana. Aku takut terjadi apa-apa dengan semua hasil
karyaku, aku takut dengan semua keagungan bidadara, sketsaku hilang lenyap tak
berbekas jika tak kupeluk semalaman.
Kulihat kang Hendi tengah menggenggam
buku sketsaku, dikelilingi pekerja warung makannya sambil sesekali tertawa,
berdecak kagum, lalu tertawa lagi. Sepertinya mereka tengah melihat semua hasil
karya yang sudah kuabadikan disana, tentang bidadaraku.
“Si Nuy itu bikin sketsanya pinter, aralus pisan!” seru kang Hendi. Aku GR.
“Tapi kasihan, dia kayaknya setengah
sinting, setengah gelo.
Berbulan-bulan dia cuma duduk disitu tuh, ngegambar.”
“Ini sih siapa ya Kang?”
“Enggak tahu juga. Tapi keliatannya sih
ini gambar Mang Mahdi versi khayalan dia...”
“Loh, Mang Mahdi kan sudah tua?”
“Iya, jalannya saja sudah rengkog, sudah
mengkhawatirkan. Kenapa bisa ganteng begini jadinya?”
“Lah, namanya seniman. Lihat orang tua
sudah udzur juga malah jadi laki ganteng begini...”
Aku menyembunyikan diri di balik gebyog, jendela kayu penutup warung
makan yang belum terbuka semua. Aku ingin mendengarkan semua celotehan mereka
tentangku, tentang seniman muda yang setengah gila ini.
“Kayaknya dia jatuh cinta sama mang
Mahdi,”
“Hah?!”
“Enggak tahu saya salah atau enggak,
tapi tiap kali si Nuy lihat mang Mahdi datang wajahnya berseri-seri kayak orang
jatuh cinta. Terus jadi deh satu gambar cowok ganteng ini...”
“Ah iya, dia jatuh cinta sama aki-aki.”
“Jadi kelihatan ganteng, padahal udah
jompo!” dan mereka semua tertawa terbahak-bahak.
Aku tercengang sendiri, mendengar semua
ejekannya membuat aku seperti ditampar bolak-balik. Bidadara dengan otot biseps
dan triseps yang menonjol itu seorang aki-aki jompo? Bagaimana bisa?
Tapi lelaki itu, sangat tampan dan gagah.
Ia turun dari khayangan dan ia mempesonakan aku dengan kharismanya yang luar
biasa.
Mataku gelap.
Aku segera pergi dari tempat itu,
kubiarkan kang Hendi memiliki buku sketsaku yang berisi cinta setengah gila.
Ini gila. Iya, gila.
Aku ternyata memang gila.
Jakarta, 140915
Inspired by Cosmo Short Story pocket book
Comments
Post a comment