_7_
Mundur
teratur
***
Sampai keesokan harinya Raihan masih merasa sakit. Salah
tafsir akan perasaan seseorang itu ternyata efeknya luar biasa. Ia jadi malas
melakukan semua hal. Malas bertemu orang lain, malas mengerjakan tugas, malas keluar
kamar, malas semua-muanya.
Bahkan untuk bangkit dari atas tempat tidur dan ke kamar
mandi pun Raihan sangat malas. Hidupnya seakan berakhir dan dunia pasti akan
kiamat besok.
Bagi Raihan yang baru pertama kali memiliki rasa spesial
pada lawan jenis dan langsung mendapatkan kenyataan seperti ini benar-benar
telah menghancurkan hatinya.
“Mamang lagi broken
heart?” celetuk Husen. Entah Hasan. Yang jelas keduanya ada di dalam kamar
Raihan. Entah kapan mereka masuk ke dalam kamar pamannya ini, entah kapan juga
mereka mempelajari kata rumit seperti broken
heart.
Raihan yang membelakangi pintu masuk tak menjawab. Ia
hanya segera menghapus cairan bening yang masih meleleh dari sudut matanya. Bagaimanapun ia tak mau terlihat lemah di
depan kedua keponakannya yang masih bocah, ia harus memberikan contoh yang
benar tentang seorang lelaki yang seharusnya.
Sekalipun Raihan ternyata tak seperti yang ia contohkan.
“Mang..” salah satu dari kedua bocah kembar itu
menyentuh punggung Raihan. “Mamang enggak nangis kan?” tanya mereka lagi.
Raihan segera membalikkan tubuhnya dan menunjukkan wajah
berhiaskan seulas senyum. Melihat raut wajah kedua keponakannya yang bingung ia
pun memilih untuk duduk dan berhadap-hadapan dengan mereka.
“Memangnya siapa yang bilang mamang patah hati?” tanya
Raihan.
Hasan dan Husen tak segera menjawab, mereka malah saling
tatap dan mengangkat bahu mungilnya,
“Kata nenek.. katanya mamang patah hati, terus kami
disuruh hibur mamang,” jawab salah satunya, sementara saudara kembarnya hanya
mengiyakan saja.
Mendengar itu Raihan hanya menghela nafas. Dasar ibu,
mana bisa kedua bocah ini menghiburnya yang sedang patah hati? Mereka mana
mengerti urusan seperti ini? Raihan yang sudah cukup dewasa saja baru tahu jika
rasa cinta itu bisa serumit ini.
“Eh, apa iya aku cinta sama Una?” gumam Raihan tanpa
sadar.
Ia sendiri masih bingung dengan yang ia rasakan. Mungkin
ia memang menyukai Una dan nyaman bersamanya. Tapi apakah ia menyukai Una lebih
dari itu? Hingga hatinya terasa begitu sakit saat menyadari bahwa tak sedikit
pun Una menaruh simpati padanya?
“Mang , Una itu siapa?”
“Tukang pecel yang di belakang kompleks kali Hasan..”
“Eh, itu sih Unah.. bukan Una..”
“Tapi namanya sama! Siapa tahu orangnya juga sama..”
Husen ngotot. Saudara kembarnya nampak berfikir keras dengan meletakkan
telunjuknya pada dagu.
Tak lama matanya melotot dan menyikut Husen, mengajaknya
berbisik-bisik. Namun dasar bocah, bisikannya tetap saja terdengar oleh paman
mereka.
“Jangan-jangan mamang patah hati sama Unah..”
“Iya, mamang ditolak soalnya dia cowok..”
“Iya, Unah kan cowok.. masa mamang maho sih?”
“Eeeh!! Kalian tahu kata itu dari mana?” sela Raihan
saat mendengar salah satu dari kedua bocah itu mengatakan hal yang seharusnya
belum mereka ucapkan.
Hasan dan Husen kembali berpandangan lalu menatap Raihan
dengan mata yang disipitkan. Menyelidik dan memojokkan, “Mamang nguping ya?”
“Nguping apanya? Orang kalian itu bisik-bisiknya kencang
banget!” sangkal Haikal membela diri.
Ia memang tidak menguping, tapi pembicaraan Hasan dan
Husen memang terdengar sangat jelas sekalipun ceritanya mereka berdua berbisik-bisik.
Mana opini mereka terdengar sangat mengada-ada pula!
Kenapa Una disamakan dengan Unah? Secara pengucapan pun
sudah berbeda. Lagipula kenapa jadi bawa-bawa tukang pecel itu sih? Apa
hubungannya? Sekalipun Raihan anak rumahan, tapi ia masih tahu yang mana anak
perempuan dan mana yang anak laki-laki!
“Kamu sih Hasan.. sudah kubilang kalau Una sama Unah itu
beda!”
“Lho kok aku sih? Kan kamu yang bilang kalau mamang
sukanya sama Unah!” Hasan tak terima disalahkan. Husen pun nampaknya ngotot
dengan pendiriannya,
“Eh, kata siapa? Kamu suka memutar balikkan fakta ya?
Mamang itu sukanya sama Una!” ujarnya sengit.
“Iya, terus Una itu siapa?” tanya Hasan dengan dahi yang
mengerut, “Kayaknya tukang koran langganan ibu deh..”
“Lho.. dia kan namanya Joni!”
“Yaa, nama lainnya Una mungkin..” pungkas Husen dengan
sangat yakin.
Tanpa sadar Haikal tersenyum. Ia merasa hatinya sedikit
lapang mendengar pembicaraan kedua bocah berkepala pelontos di hadapannya ini. Percakapan
polos dan apa adanya.
Pembicaraan yang meluncur begitu saja dari dalam benak mereka.
Sekalipun mereka menyimpulkan penyebab murungnya Raihan dengan kesimpulan
buatan mereka yang mengada-ada. Tapi ternyata sukses membuat Raihan bisa sedikit
melupakan sakit hatinya.
Ternyata ibunya benar. Hasan dan Husen bisa
menghiburnya. Menghibur dengan cara mereka sendiri.
“Eh, mamang ketawa sendiri.. mamang jadi gila!!”
“Ih aku enggak mau broken
heart, aku takut gila!” kedua bocah itu kembali berbisik-bisik. Dengan
keras lagi tentunya.
Raihan tak mau berbicara apapun lagi untuk menyangkal kalimat
aneh yang meluncur dari bibir mereka. Yang jelas sekarang Raihan ingin
menyembunyikan tawanya agar tak membuat kedua keponakannya ini berfikir yang
tidak-tidak lagi.
Ya ampun, Hasan dan Husen ini ada-ada saja!
***
“Kemarin kamu kemana Raihan?” tanya Sandra, dengan nada
bicaranya yang datar dan ekspresi muka yang dingin.
Raihan yang baru saja duduk di dalam angkot menarik tas
selempang yang tak sengaja ia duduki dan menyimpannya di pangkuan, setelah
duduknya nyaman ia pun membuka mulutnya untuk menjawab, tapi terpotong oleh
seruan Wawan,
“Kenapa?” tanya Raihan sambil menoleh. Wawan yang duduk
di ujung bangku pendek yang sama dengan yang diduduki Raihan mengaduk-aduk isi
tasnya dan terlihat sangat panik.
“Dompet! Aku lupa dompetku!”
“Ckk dompet. Biar aku yang bayar ongkos kamu sekarang..”
cetus Sandra. Ia melirik temannya yang berkulit gelap itu dengan lirikan yang
membuat bulu kuduk merinding.
Wawan membalas lirikan Sandra dengan lirikan yang sangat
mengkhawatirkan, seperti tatapan anak kucing yang tengah dijahili bocah-bocah
nakal. “Bukan cuma itu.. di dalam dompet ada uang untuk bayar praktikum, mana
sekarang terakhir lagi.. aduh.. mati aku!” gerutu Wawan sambil memukuli
kepalanya sendiri.
“Ah, kamu itu. Untuk apa kami disini kalau enggak bantu
kamu?” celetuk Sandra, Raihan mengangguk.
Kebetulan angkot yang mereka naiki masih kosong sehingga
ketiganya bisa mengobrol dengan leluasa. Sesekali supir melirik melalui kaca
spion, lalu kembali asyik dengan jalan yang tengah ia lalui.
“Kalian mau bantu aku?”
“Ih, sudah deh jangan sok-sokan lebay begitu.. memangnya
sinetron?” ujar Sandra dengan nada tegas. Wawan malah cengengesan lalu menutup
resleting tasnya dan menatap kedua temannya bergantian.
“Iya, tenang saja Wan.. praktikum seratus ribu kan? Nih
aku ada lima puluh.. Sandra setengahnya lagi..” Raihan mengeluarkan selembar
lima puluh ribu dari dalam dompetnya, lalu menadahkan tangannya ke arah Sandra
yang langsung menaruh uang di atasnya.
“Nih, seratus ribu. Awas lho jangan hilang.. nanti kamu
enggak bisa ujian praktek..” Wawan mengangguk untuk mengiyakan kata-kata Raihan.
Dengan mata yang berbinar senang Wawan melipat uang itu
dan memasukkannya ke dalam saku kemeja. Berkali-kali ia berterima kasih pada Raihan,
juga Sandra. Ia merasa sangat beruntung memiliki teman seperti mereka.
Raihan hanya tersenyum menanggapi ucapan terima kasih
Wawan, tokh ia memang sangat ikhlas membantunya. Ia senang bisa membuat Wawan
terbebas dari kekhawatirannya.
“Ah, iya. Mungkin aku memang harus melupakan Una dan
kembali sama teman-temanku.. cuma mereka yang sayang tulus sama aku..” bathin
Raihan.
Diliriknya Wawan dengan wajahnya yang cerah, lalu Sandra
yang tengah asyik dengan ponselnya. Kedua orang ini selalu ada di dekatnya. Selalu
tahu apa yang ia inginkan dan apa yang ia butuhkan.
Menyayangi dan disayangi mereka tak pernah terasa
sesakit ketika ia menyayangi Una.
“Kok bengong?” celetuk Sandra.
“Eh, enggak kok!!” elak Raihan sambil mengerjap-erjapkan
matanya. Mengusir kabut yang mulai menghalangi pandangannya.
Sandra memicingkan matanya dan mendecakkan lidah. Ia
lalu mengamati Raihan dari ujung kaki ke ujung kepala, diulanginya sampai dua
kali.
“Pasti ada hubungannya sama kemarin kamu enggak masuk
sekolah bukan?” tebaknya jitu. Raihan hanya tertawa miris untuk menjawabnya,
“Aku itu sakit kemarin, jadi sekarang aku masih agak pusing..”
“Bohong. Patah hati tuh,” celetuk Wawan. Rambutnya yang
keriting terlihat begtitu dekat dengan wajah Raihan karena ia mendekatkan
kepalanya pada Raihan,
“Kata siapa?!” sangkalnya dengan nada yang meninggi.
Gengsi juga ketahuan patah hati.
Sandra dan Wawan malah tertawa kompak. Sepertinya mereka
tadi hanya asal tebak saja, dan dengan ekspresi Raihan yang seperti itu
ternyata tebakan mereka memang benar adanya.
Lambat-lambat Raihan pun ikut tertawa, lalu mengalihkan
pandangannya keluar jendela angkot. Pemandangannya tak bergerak karena mobil
angkutan kota itu tengah berhenti di lampu merah.
Bus sekolah puteri juga berhenti tepat di sebelah
angkutan yang Raihan naiki. Una duduk di kursinya yang bersebelahan dengan jendela
Raihan. Dengan dada yang sesak ia bangkit dan pindah tempat duduk.
“Lho kok pindah?” tanya Wawan heran.
Raihan tak menjawab. Ia malah memalingkan wajahnya dan
melihat keluar mobil dari bagian jendela yang lain. Dilihatnya beberapa anak
kecil berpakaian kumal tengah mengamen, sebagian tengah menawarkan beberapa
jenis jajanan eceran.
Pakaian tak jelas warna dan pasangannya itu mengingatkan
Raihan pada pakaian yang selalu dikenakan Una untuk mengenang Januar. Apakah
Januar salah satu dari anak-anak jalanan? Kalau dia bukan anak jalanan, kenapa
pakaiannya kumal?
Ah, tak ada yang salah dengan siapapun Januar. Apapun
status sosialnya dan golongan mana perekonomiannya. Yang salah hanyalah
perasaan yang tetap Una jaga untuknya.
Perasaan yang seharusnya hanya diberikan pada orang yang
masih bernafas dan bisa membalas dengan perasaan yang sama.
***
Di sekolah perasaan Raihan tak menjadi lebih baik. Ia
berusaha berkonsentrasi pada pelajaran yang tengah diberikan di depan kelas, mencoba
mengerjakan semua tugas dan soal seperti biasanya.
Tapi tak bisa. Yang ada di pelupuk matanya hanya Una,
Una, Una dan Una.
“Aarggh!” erang Raihan frustasi.
Ia menjambak rambutnya sendiri dan langsung menjatuhkan
dahinya di atas meja.
Suara buk yang cukup keras terdengar dari benturan dahi
Raihan pada meja tulisnya. Beberapa
murid yang duduk di sekitar bangkunya langsung menoleh dengan mimik
penasaran. Tapi setelah tahu asal suara itu dari Raihan mereka kembali asyik
dengan urusan mereka masing-masing.
“Kamu kenapa sih?” tanya Wawan sambil menyentuh bahu teman
sebangkunya itu.
Raihan tak menjawab, ia hanya bergumam tak jelas dengan dahi
yang masih melekat di meja. Ia ingin menceritakan apa yang tengah ia rasakan
pada Wawan, tapi ia khawatir jika ia akan menangis karena mengingat cintanya
yang bertepuk sebelah tangan.
Cinta pertama yang bertepuk sebelah tangan.
Miris sekali.
“Hei, mau sampai kapan kamu begitu?” tanya Wawan lagi.
Ia menggoyangkan tubuh Raihan dengan cukup keras sampai
temannya itu menoleh kepadanya dan merespon ucapannya. “Apa?”
“Mau sampai kapan begitu?”
“Apanya?”
“Ya itu kamu, kayak patah hati..” tebak Wawan asal. Tapi
sangat jitu!
Raihan tak menjawab, juga tidak mengelak. Ia malah
meluruskan duduknya lalu merapikan buku-buku tulis yang masih berserakan di
atas meja, memasukkannya dengan asal ke dalam tas lalu menutup tas dengan
tangan yang lunglai.
“Yuk pulang..” ajaknya. Wawan malah melongo.
“Pulang? Kan belum jam pulang..” gumamnya dengan dahi
mengerut.
***
Raihan baru sadar belum waktunya
pulang setelah ia berada di dalam angkutan kota. Tadinya ia ingin memutar
langkah dan kembali ke dalam sekolah, tapi dipikir-pikir lagi, tanggung juga.
Ajaib sekali tadi ia bisa melewati
gerbang dalam yang dijaga guru piket, juga bisa melewati gerbang luar dengan
satpam yang disiplin. Tanpa pertanyaan, tanpa hambatan. Langsung keluar
lingkungan sekolah.
“Mendingan langsung pulang saja lah..”
batin Raihan sambil menyandarkan punggungnya.
Angin yang masuk melalui jendela
angkot yang ia sandari membuat punggungnya terasa sejuk. Tapi sayangnya rasa
sejuk itu berubah membekukan hatinya saat ia kembali teringat Una. Apakah sore
nanti ia juga akan datang ke tepian sungai dan memancing?
Memancing kenangan yang terlupakan
bersama Januar.
“Ah, “ desah Raihan sambil memalingkan
muka, menatap pintu angkot yang selalu terbuka lebar.
Matanya yang berkabut mulai terasa
perih terkena angin, akan tetapi ia bingung harus melakukan apa. Jika ia
mengusap matanya, pasti akan terlihat jika ia menangis, air matanya pasti akan
terus mengalir. Tapi jika dibiarkan, tetesan air mata akan tetap saja terjatuh
dari matanya.
Mau sampai kapan seperti ini? Raihan
harus menghentikannya!
***
Sudah lebih dari seminggu ini raihan
lebih memilih pulang dengan menggunakan angkutan kota. Ia tak mau berjalan kaki
lagi melewati bantaran sungai. Ia tak mau bertemu dengan Una.
Terutama saat ia memancing, karena itu
berarti karena dia sedang menguntai kenangan lamanya dengan mendiang Januar.
Raihan tahu bahwa hatinya pasti akan terasa tak enak lagi saat melihatnya.
Jadi lebih baik ia menghindar saja.
Rasanya jauh lebih baik.
Semakin jauh menghindar, semakin cepat
rasa sakitnya hilang.
Tapi nampaknya rasa sakit itu yang
justru datang menghampiri Raihan. Rasa sakit itu sendiri yang memunculkan
dirinya di hadapan Raihan, sekalipun ia tak ingin. Tapi penyebab rasa sakit itu
memaksa untuk tetap membuat lelaki cengeng itu merasa jatuh lagi.
Una. Sekarang gadis berseragam merah
jambu itu tengah berdiri dengan kedua tangan yang memegangi tas di depan
badannya. Ia berdiri menghadap gerbang dengan mata yang menatap lurus ke arah
koridor dimana para murid keluar dari dalam sekolah.
“Hei, kenapa kamu malah sembunyi
disini? “ tanya Wawan sambil menepuk bahu Raihan.
Siswa itu langsung melonjak kaget
dengan wajah yang pucat pasi. Wawan malah tertawa melihat teman sebangkunya itu
terkaget-kaget. “Kenapa sih?”
“Enggak! A-aku cuma..”
“Diancam Bambang lagi ya?” celetuk
Sandra. Siswi itu pun ternyata mengekor Wawan.
Raihan menggeleng dengan segera dan melongokkan
kepalanya ke arah gerbang luar. Dimana bayangan Una dengan seragam pinknya
hilang timbul di antara para siswa berseragam putih abu.
Dalam hatinya ada sedikit rasa senang
karena gadis itu ternyata peduli, buktinya Una datang ke sekolah Raihan. Untuk
apa lagi kalau bukan untuk menemuinya? Tapi, bagaimana kalau ternyata Una
datang hanya sekedar untuk menemuinya? Ya, hanya menemuinya.
Bukan untuk menanyakan kenapa
akhir-akhir ini mereka tak pernah bertemu, kenapa akhir-akhir ini Raihan
menjauhinya, bukan karena ia benar-benar peduli dengan perasaan Raihan?
Membayangkan kemungkinan itu membuat
nyali Raihan ciut dan ia kembali bersembunyi di balik pilar. Menghindari
tatapan Una sampai ke tempatnya berada sekarang.
“Jangan bilang kamu itu takut sama cewek
yang pakai seragam pink itu!” tebak Wawan sambil menunjuk ke arah gerbang,
Raihan langsung menepis tangannya dan memelototi Wawan.
Tapi dalam hati ia takjub juga.
Bagaimana bisa Wawan menebak bahwa kelakuan aneh Raihan itu ada hubungannya
dengan gadis yang berpakaian mencolok di depan gerbang itu. Biasanya ia selalu
mengatakan hal-hal bodoh dan menyebalkan.
Sandra melirik ke arah Una dan
mencolek bahu Raihan, “Itu Una ya?”
“Kok tahu?” Raihan takjub dan Sandra
menaikkan ujung bibirnya sebelah kanan. Ekspresinya seakan senang karena
tebakannya benar, hanya saja cuma Raihan dan Wawan yang tahu bahwa ekspresinya
yang seperti itu adalah ekspresi senang.
“Terus kenapa kamu enggak temuin dia?”
celetuk Wawan, sekarang suaranya melemah dan ia pun ikut-ikutan bersembunyi di
belakang tubuh Raihan.
“Aku enggak bisa.”
“Lho kok?” tanya Wawan dan Sandra
bersamaan. Keduanya lalu saling melirik karena kekompakan yang tak sengaja di
antara mereka.
Raihan menggeleng lemah dan
membalikkan tubuhnya, menyandarkan punggung pada pilar yang tadi ia gunakan
untuk bersembunyi. Perlahan tubuhnya merosot sampai akhirnya ia terduduk di
lantai.
“Aku enggak bisa.. aku enggak
sanggup..” gumamnya dengan nada lemah.
Kedua tangannya terkepal di samping
tubuh, ia berusaha untuk menahan rasa sakit dan rasa panas yang menjalar di
mukanya. Jika ia tak bisa menguasai perasaannya maka ia pasti akan menangis!
Ayolah! Kalau dia menangis lagi,
semakin jauhlah Raihan dari tipe Una. Tipe Una cowok-cowok macho yang tegar dan
bisa menjadi tumpuan. Bukan yang cengeng seperti Raihan.
Casingnya lelaki sejati tapi dalam
hatinya pink dan unyu-unyu.
“Tapi Una-nya digodain Bambang tuh..”
“Apaaa?!!” sontak Raihan berdiri dan
keluar dari persembunyiannya. Matanya langsung berputar mencari sosok Una.
Gadis berseragam merah jambu itu masih
berdiri dengan kedua tangan di depan tubuh, menatap lurus ke arah dimana Raihan
kini menampakkan dirinya. Tak ada Bambang yang tengah menggodanya, tak ada pula
siswa lain. Yang memperdulikannya pun tak ada.
Raihan tertipu kata-kata Sandra.
Lihat saja, gadis bongsor di
sebelahnya sekarang menyeringai, sementara Wawan tertawa cekikikan.
“Sudah, sana temuin dia.. kasihan.
Panas lho!” Sandra mendorong-dorong punggung Raihan agar segera berjalan
mendekati Una. Apalagi gadis itu sudah melihat Raihan dan melambaikan tangannya
dengan ceria.
Dengan dada yang sesak oleh rasa
senang dan rasa takut kecewa Raihan melangkahkan kakinya menuju ke gerbang luar.
Tanpa sadar ia meremas tali tasnya dengan gusar, saking kerasnya telapak tangan
Raihan sampai pucat.
“Raihan! Kamu kemana saja?” sapa Una
dengan ceria. Tatapannya tetap mengarah pada Raihan.
“Engg.. a-aku.. aku ada..”
“Tapi kok aku enggak lihat kamu di
sungai?” sambung Una.
Raihan hanya menaikkan ujung bibirnya
sedikit dan menggeleng. Ia menunduk menatap kedua ujung sepatunya yang sedikit
berdebu, diam-diam melirik Una namun lebih memilih untuk kembali menatap tanah.
“Kamu lagi sibuk ya?”
“Eh, apa?”
“Kamu lagi sibuk? Lagi ada ujian atau
apaa begitu..” Una tetap mencoba untuk memulai pembicaraan dengan Raihan
sekalipun siswa yang satu itu terlihat enggan.
“Enggak sih.. cuma yaa..”
“Cuma apa Raihan?” Una penasaran.
“Enggak, lupakan saja.. ah ya, aku mau
pulang duluan ya? Maaf..” ujar Raihan.
Entah kenapa Raihan malah mengucapkan kalimat
seperti itu. Wajah Una langsung terlihat kaget, sesaat terlihat kebingungan dan
kecewa tapi sedetik setelahnya ia membuat mimik wajahnya terlihat ceria seolah
tak ada apa-apa.
“Oke, hati-hati yaa.. ehm, aku
dijemput supir kok..” Una berkata dengan seulas senyum masam.
Senyumannya makin masam saat ia sadar
bahwa Raihan sama sekali tidak menanyakan dengan apa dia akan pulang.
Raihan pun ikut tersenyum dengan tak
kalah masamnya. Ia melambaikan tangan untuk menghentikan sebuah angkot yang
melintas di depan gerbang, setelah angkot itu berhenti ia pun segera menaiki
kendaraan umum tersebut.
“Maaf ya Una, aku duluan..”
“Iya, enggak apa-apa.. duluan saja..” Una
mengangkat tangan kanannya untuk mengucapkan selamat tinggal, tapi Raihan tak
melihat karena angkot sudah melaju.
Sesungguhnya Raihan melihat lambaian
tangan Una, tapi ia tak mau membalas lambaian tangannya. Ia membalas lambaian
tangan Una berarti membuat ia kembali jatuh ke dalam pesona Una.
Pesona yang hanya bisa dimiliki oleh
mendiang Januar.
***
Setibanya di rumah barulah Raihan
menyesali perbuatannya. Tak seharusnya tadi ia bersikap seperti itu pada Una.
Padahal gadis itu menyengajakan diri datang ke sekolah Raihan, menunggunya
dengan sabar dan menunjukkan niatan baiknya.
Tapi apa yang Raihan lakukan? Ia lebih
mengutamakan perasaannya yang masih tak karuan dan membuat Una merasa kecewa
dengan sifat kekanak-kanakannya.
“Ah!!” desah Raihan sambil melemparkan
tasnya ke pojok ruangan dan suara aneh terdengar dari tempat jatuhnya benda
itu.
“Hasan? Husen? Kalian disitu?” Raihan
langsung curiga.
Ia pun berjalan menuju pojok kamar dan
menyibakkan tirai yang menjuntai menutupi bagian sudut dari ruangan tempatnya
tidur itu. Benar saja dugaan Raihan, kedua sepupunya yang berkepala pelontos
tengah berjongkok di sana dan salah satunya tengah memegangi kepala.
Mungkin tas Raihan yang lumayan berat
itu baru saja mendarat darurat di atas kepalanya, “Sedang apa kalian disini?”
tanya Raihan.
Hasan dan Husen berdiri lalu mengikuti
pamannya menuju kasur. Mereka bertiga duduk hampir bersamaan di atas ranjang.
“Nungguin mamang pulang..”
“Iya, “
“Tapi kenapa tunggunya disitu sih?”
“Yaa, biar greget dong!” seru bocah
berkaus biru. Mungkin Husen, dia sangat suka warna biru.
Raihan hanya menghela nafas sambil
berusaha menahan senyum. Tahu dari mana mereka kata greget? Seperti salah satu
jargon Meme Comic saja.
“Eh, mamang masih galau?”
“Iya, masih broken heart ya?” berondong kedua bocah itu berturut-turut. Raihan
hanya melirik, tapi tak menjawab.
Ia tengah menyibukkan dirinya dengan
kancing-kancing plastik di bagian depan kemejanya. Raihan ingin segera mengganti
pakaiannya dengan yang lebih adem, seperti T-shirt atau kaos obong. Siang ini
begitu gerah sampai-sampai ia tak tahan berlama-lama mengenakan kemeja sekolah.
“Mang..”
“Apaa?”
“Mamang masih galau kan?”
“Kalau iya memangnya kenapa?”
“Bisa mati lho!” Raihan menjengit
mendengar seruan kompak dari Hasan dan Husen.
Karena galau bisa mati? Siapa yang
mengatakan itu? jika galaunya mengakibatkan melamun yang parah dan membuat
penderitanya melamun di tengah rel kereta api mungkin bisa mengakibatkan
kematian.
Tapi kalau sebatas malas melakukan
apa-apa dan agak murung seperti Raihan sih, sepertinya bukan suatu masalah yang
serius.
“Mamang enggak percaya ya? Husen,
ceritain ke mamang apa yang terjadi pada orang yang galau!” bocah berkaus merah
memerintahkan kembarannya untuk menceritakan sesuatu. Bahasanya sangat formal
dan lagi-lagi Raihan tak tahu dimana kedua anak ini belajar bahasa ala
Telenovela seperti itu.
Husen menegakkan tubuhnya dan siap
untuk bercerita. Mimik mukanya begitu yakin serta ia pun berdehem beberapa
kali. Persis seperti ketua RT yang dimintai pendapatnya tentang banjir bandang
oleh kru TV.
Setelah beberapa saat berlalu, tak ada
satu pun kata-kata yang meluncur dari bibir mungil Husen. Ia malah menoleh ke
arah Hasan dan mencolek lengannya. “Cerita apa?” tanya Husen polos.
Sontak Raihan tertawa terbahak-bahak.
Ia sampai harus memegangi perutnya karena tak tahan dengan goncangannya. Kedua
bocah berkepala pelontos di hadapannya menatap dia dengan tatapan yang tak
suka. Tersinggung mungkin.
Ah, bocah tahu tersinggung, dasar!
Begitu yakinnya Hasan memerintahkan
Husen untuk menceritakan hal yang bahkan ia tak tahu. Mau cerita apa coba?
Dasar anak-anak! Ada-ada saja tingkahnya!
“Tuh, habis galau langsung gila!”
bisik Hasan dengan suara keras. Husen mengangguk dan ikut-ikutan melirik Raihan
dengan tatapan aneh.
Raihan hanya menggelengkan kepalanya
sambil menggerakkan kedua tangannya seperti menyingkirkan debu, ia bermaksud
untuk mengisyaratkan agar kedua keponakannya itu segera keluar.
Hasan dan Husen mengerti, perlahan
mereka bangkit dan berjalan menuju pintu sambil berbisik-bisik. Suaranya
terdengar sangat jelas.
“Eh, tadi memangnya cerita apa Hasan?”
“Yang mana?”
“Yang galau itu!”
“Eh, aku enggak tahu.. kali aja kamu
tahu..” dan Hasan dihadiahi sebuah jitakan penuh kasih sayang dari Husen.
Raihan kembali tertawa. Menertawakan
tingkah laku kedua anak kakaknya itu memang membuat hati Raihan terasa sedikit
lega. Syukurlah Hasan dan Husen suka menginap di rumah neneknya ini, ia bisa
menghilangkan rasa sesak karena Una dengan adanya mereka berdua.
***
ini mau dijadikan novel kah mbk? kereen deh dtunggu endingnya ^_^
ReplyDeleteIni naskah novel yang mengendap 2 tahun di laptop, hehe.
DeleteTunggu aja yaa..ada sekitar empat atau lima bab lagi :p