- Get link
- Other Apps
_6_
Hello,
pasar malam
***
Pasar malam ternyata tak terlalu jauh dari tempat mereka
berdua berada. Hanya berjalan sekitar setengah kilometer ke arah Barat dan
lapangan yang digunakan untuk pasar malam itu sudah terlihat.
“Oh, ini ya pasar malam?” ujar Una sambil menengadahkan
kepalanya, menatap gerbang masuk pameran pembangunan yang diadakan enam bulan
sekali itu.
Karena ini pameran pembangunan, jadi kebanyakan stand
yang ada adalah stand dari berbagai perusahaan negara. Seperti perusahaan air
minum dan juga pembangkit listrik. Ada maket berbagai bangunan dan juga berbagai
slogan perusahan daerah tersebut.
“Kok enggak seru ya?” bisik Raihan, ia memiringkan
kepalanya sampai ia bisa berbisik tepat di telinga Una.
Gadis itu mengangguk, lalu menoleh ke arahnya serta
menunjukkan wajah yang kecewa. Raihan pun demikian. Ia juga merasa sangat
kecewa. Bagaimana bisa semua teman-temannya sangat heboh menggembar-gemborkan
asyiknya di pasar malam.
Apanya yang pasar malam? Ini pameran pembangunan!
“Eh, lihat itu Raihan.. dia bawa permen kapas..” seru
Una sambil menunjuk ke sebuah arah, dimana dua orang anak perempuan yang
sepertinya masih duduk di bangku SMP membawa permen kapas yang berbentuk bulat.
“Mereka dapat dimana ya?” sambungnya. Raihan ikut
melihat ke arah yang Una tunjukkan dan ia mengangkat bahu.
“Apa di dalamnya masih ada yang lain ya? Soalnya di luar
sini enggak ada yang jualan permen kapas..”
“Iya mungkin.. mereka bawa permen kapas dari dalam kan?”
Una ikut memberikan asumsi. Sesaat
mereka berpandangan, lalu mengangguk.
“Masuk saja yuk?”
“Iya deh..” Una mengiyakan ajakan Raihan sambil tertawa.
Setelah membayar tiket masuk keduanya mulai berjalan
memasuki pameran pembangunan itu. Sekitar dua puluh stand pertama sangat
membosankan dan sepi pengunjung.
Tak ada orang
yang mau menyengajakan diri masuk ke dalam stand PLN atau stand PDAM. Kalaupun di hari biasa mereka datang ke kantor
mereka itu hanya untuk membayar tagihan bulanan saja.
Tapi di belakang jejeran stand perusahaan daerah itu
ternyata ada hal lain yang lebih menyenangkan. Ada banyak stand yang menjual
aneka macam barang kebutuhan masing-masing.
Dari mulai pakaian anak, sandal sampai aneka macam
furniture rumah tangga sangat lengkap disini! Dari karton-karton yang penuh
warna yang bergantungan di setiap stand, ada harga super hemat dan juga
diskonan yang sangat besar di setiap pedagang.
“Wow! Ternyata disini lebih asyik Raihan!” seru Una
dengan mata yang terbelalak lebar.
Ia memukul bahu Raihan dan tersenyum lebar. Raihan pun
menganggukkan kepalanya dan ikut tersenyum. Pantas saja jika orang-orang suka
sekali pergi ke pasar malam.
“Eh itu ada kelomang!” Una berseru sambil berlari menuju
ke seorang penjual yang dikerubuti anak-anak.
Raihan mengikuti dari belakang, ia tersenyum melihat Una
ikut berdesakkan dengan bocah-bocah kecil yang berjongkok mengerubuti dua buah
kotak di hadapan penjual kelomang itu.
“Bang bang ini kelomangnya berapaan?” tanya seorang anak
yang mengenakan celana monyet, ia berjongkok tepat di sebelah Una.
“Lima ribu dek, kalau sama rumahnya dua puluh..”
“Mahal amat bang..” protes gadis kecil yang lebih besar
dari bocah yang mengenakan baju monyet itu. Mungkin kakaknya, mungkin juga
bukan.
“Ya kan kalau kelomangnya enggak pakai rumah nanti dia
mati, mendingan beli sama rumahnya.. sana minta uang dulu sama mamanya.. dua
puluh ribu buat beli kelomang..” pedagang yang mengenakan pakaian agak lusuh
itu terdengar memprovokasi si bocah untuk membeli dagangannya dengan cara yang
agak memaksa.
Raihan hanya tersenyum kecil, ia langsung teringat kedua
keponakannya. Hasan dan Husen. Kedua bocah itu pasti akan langsung minta
dibelikan apapun yang pertama kali menarik perhatian mereka.
Tak perlu bersusah-susah untuk merayu keduanya untuk
membeli dagangan seseorang. Terkadang mereka bahkan seringkali merengek untuk
dibelikan baju anak perempuan. Alasannya simple, karena pakaian itu unyu
sekali.
“Sebenarnya kelomang itu disimpan di baskom juga bisa
lho dek, asal kasih selada atau timun saja buat dia makan..” ujar Una.
Bocah-bocah yang mengelilingi tukang kelomang itu langsung berkoor mengatakan,
ooh.
Sementara Una tersenyum-senyum melihat semua anak itu
membeli kelomang satu per satu, pedagangnya agak bermuram durja karena
rumah-rumahan kelomangnya tidak laku terjual satu pun. Gara-gara Una mengatakan
info penting yang malah membuat usaha seseorang menjadi di ambang kebangkrutan.
Sepeninggal semua pembeli kecilnya sang pedagang
memperhatikan Una dengan seksama. Ia tak berkata apa-apa tapi wajahnya tak
kunjung ramah.
“Neng mau beli enggak? Beli sama rumahnya neng!” ujarnya
ketus.
Sekalipun demikian Una tak tersinggung, ia malah
tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya. Ia lalu memilih salah satu rumah
dengan bentuk yang sederhana ala rumah dalam kartun.
Berbentuk kubus, atap segitiga berwarna merah dan ada
cerobong asap kecil. Tentu saja cerobong asapnya tak berfungsi, itu hanya
optional saja. Setelah memilih rumah-rumahannya ia pun beralih melihat
kelomangnya.
Tak perlu waktu lama untuk memilih kelomang yang cocok. Ia
menunjuk dua ekor kelomang dengan cangkang berwarna biru. Ya, kelomang-kelomang
ini memang dicat berwarna warni dan diberi motif seperti polkadot juga garis
vertikal. Lebih menarik serta mencolok mata.
Perlahan Raihan mendekat dan ikut berjongkok di sebelah
Una yang tengah mengamati kelomang-kelomangnya di dalam rumah baru mereka.
“Kenapa pilih yang warna biru Una? Yang warnanya pink
sama ungu itu sepertinya lebih cocok..” cetusnya.
Una menoleh dan tersenyum, ia mengangkat rumah
kelomangnya ke hadapan Raihan. Lalu menunjuk satu per satu kelomang pilihannya.
“Ini aku, ini kamu.. “ ujarnya dengan senyuman yang
masih terkembang di bibirnya.
Senyumnya lebar dan menawan, tapi ada kesedihan yang
terkandung di dalamnya. Raihan menjadi sangat bingung dengan maksud dari
perkataan gadis itu, apalagi ia sangat yakin senyuman Una itu seakan menyimpan
sebuah rahasia yang begitu menyakitkan.
“Kenapa kamu senyumnya begitu Una?” tanya Raihan tanpa
berbasa-basi. Una menggeleng, “Senyumku ya memang begini Raihan..” jawabnya.
Raihan menatap Una dengan seksama. Matanya tetap bulat,
ada sorot mata ceria yang berbaur dengan sorot mata penuh kepedihan.
Senyumannya pun sangat menyakitkan untuk dilihat!
“Una, jujur.. kamu kenapa?”
“Aku enggak kenapa-kenapa Raihan! Memangnya aku kenapa?”
Una tertawa kecil sembari memukul bahu Raihan pelan.
Sebelum Una menarik kembali tangannya Raihan menahan
tangan mungil gadis itu dan menggenggamnya dengan erat. Dihujamkannya pandangan
pada kedua mata Una, mencoba memaksa Una untuk mengatakan yang sebenarnya
dengan menggunakan paksaan seperti ini.
Tapi sepertinya sia-sia. Una tetap mempertahankan
senyuman sedihnya dan ia tak menjelaskan apapun pada Raihan untuk membuatnya
percaya. Yang ada pedagang kelomang itu berpura-pura batuk untuk menyadarkan
keduanya bahwa kelomang yang Una beli belum dibayar.
Tanpa banyak bicara lagi Raihan mengeluarkan dompet dan
membayar dengan selembar lima puluh ribu. Una menolak, namun Raihan memaksa. Ia
tak mungkin membiarkan Una membayar sendiri di kencan pertama mereka.
Lagipula sepertinya Raihan akan membelikan apapun yang
Una mau asalkan dia kembali tersenyum tulus, bukan dengan makna lain di balik
senyumannya.
“Ini kembaliannya, terima kasih.” Si pedagang memberikan
uang kembalian dengan ucapan terima kasih yang sekedarnya.
Jelas sekali jika ia itu sangat ingin kedua remaja di
hadapannya segera pergi. Dalam fikirannya Una adalah penyebab rumah kelomangnya
tak laku. Padahal sekalipun begitu, kelomangnya lebih dari enam ekor sudah
terjual, kalau tetap dipaksa dijual dengan rumahnya, sudah tentu orang tua
bocah-bocah itu juga tak akan mau.
Akhirnya rumahnya tak laku, kelomangnya juga sama. Lebih
rugi bukan?
“Sekarang kita mau kemana?” tanya Raihan setelah
keduanya menjauh dari pedagang hewan pantai bercangkang itu.
Una mengangkat bahunya dan malah menatap Raihan dengan tatapan
bingung. Yang ditatap pun sebenarnya merasa sama, ia juga bingung. Kemana lagi
tujuan mereka?
Senyuman Una yang terlihat pedih membuat semua rencana
Raihan menjadi buyar!
“Eh, katanya tadi mau beli permen kapas buat aku.. “
cetus Una kemudian, mengingatkan perkataan Raihan saat mengajak gadis ini pergi
ke pasar malam.
“Ah, iya ya! Aku lupa! Yuk kita cari permen kapasnya..”
“Itu permen kapas bukan?” Una menunjuk ke sebuah kotak
kayu dengan dua tiang di permukaannya bagian atasnya. Ada palang yang menyambungkan
kedua tiang itu, serta ada plastik-plastik besar berisi benda-benda berserabut
dengan aneka warna.
Kembang gula, arum manis, dan permen kapas. Sama saja.
Kedua remaja yang mengenakan pakaian yang berwana sama
itu menghampiri penjualnya dan menunjuk salah satu bungkusan permen berwarna
ungu muda.
“Ini rasa anggur lho neng, enak!” ujar penjual itu
berpromosi.
Una menerima permen itu dengan mata yang terbelalak,
lalu menatap permen yang hampir sebesar bantal guling di tangannya.
“Beneran rasa anggur?” tanya Una penasaran yang langsung
diiyakan oleh penjual itu dengan begitu yakin.
“Ah, rasa anggur lho Raihan..” sekarang Una memamerkan
permen kapasnya kepada Raihan yang malah tersenyum, lalu mengusap kepala Una
sekilas.
“Kamu itu, memangnya aneh ya ada permen kapas rasa
anggur?” tanyanya. Sekarang Una yang tersenyum, lalu senyumannya berganti
menjadi tawa yang riang.
“Yaa, aku kan enggak tahu rasa permen kapas.. ini
pertama kalinya aku beli permen kapas!”
“Eh yang benar!?” mata Raihan sampai melotot saat
mengatakan itu. Una tertawa lagi, lebih riang. “Iya! Kok kaget sih?”
“Ya iya lah aku kaget! Masa kamu enggak pernah makan
permen kapas sih?”
“Yaa memang belum pernah, mami larang sih.. katanya
bikin sakit gigi!”jawab Una dengan begitu polosnya.
“Terus sekarang enggak bakalan sakit gigi?”
“Yaa kan aku nanti gosok gigi.. ih Raihan! Masa aku
enggak boleh cobain makan permen kapas sih?” akhirnya Una malah merajuk sambil
mendorong Raihan pelan. Wajahnya memberengut, sementara penjual kembang gula malah
tersenyum melihat tingkah kedua remaja di hadapannya itu.
“Boleh kok Una.. boleh! Masa enggak boleh sih? Kan aku
ajak kamu beli.. berarti kamu boleh makan..”
“Iya, iya.. tuh makannya di sana saja.. enak buat
duduk-duduk..” sela penjual permen kapas sambil menunjuk ke belakang tubuhnya.
Raihan dan Una menengok bersamaan ke arah yang dituju
dan langsung mengangguk semangat. Ada beberapa bangku kayu dengan pinggiran
besi yang mengelilingi arena komidi putar. Kayunya coklat mengkilap dan
pegangan besinya dicat hitam. Bangku itu sangat menggoda untuk diduduki.
“Eh, iya ini uangnya pak! Saya hampir lupa..” Raihan
menyodorkan selembar lima ribuan saat ia sudah melangkahkan kakinya mendekati
bangku kayu yang ditunjukkan, tapi pedagang itu menolak.
“Lho kok?”
“Gratis. Kalian berdua jadi ngingetin bapak di zaman
muda dulu.. pacar bapak juga persis kayak neng itu, cuma sayangnya usianya
enggak lama.. dia meninggal pas usianya 20 tahun..” penjual permen kapas itu
menceritakan pengalamannya dengan mata yang berkaca.
Perlahan Raihan menarik tangannya yang masih memegangi
selembar uang berwarna hijau. Uang yang tadinya akan ia gunakan untuk membayar
permen kapas, bukannya senang karena permennya gratis, yang ada hatinya sudah
mulai terasa ngilu-ngilu lagi.
Kenapa cerita penjual permen ini terdengar seperti
ramalan masa depan bagi Raihan dan Una?
Una mengidap cacat jantung bawaan yang kecil kemungkinan
bisa bertahan lebih dari 20 tahun. Belum lagi senyum sedih yang gadis itu
tunjukkan pada Raihan, membuatnya berfikir yang tidak-tidak tentang masa depan
yang tengah menanti di depan mata.
Masa depan yang buruk tentunya..
Tapi entahlah, melihat Una detik ini rasanya bayangan masa
depan yang buruk itu sedikit demi sedikit terkikis lagi. Gadis itu duduk di
atas bangku kayu dan sudah mulai memakan permen kapasnya dengan wajah yang
begitu penasaran.
Ia nampak baik-baik saja. Ia tak tersenyum dengan luka
lagi di baliknya.
Sesaat ia menjadi sosok yang begitu menyebalkan dengan
mengenang Januar, sesaat kemudian ia menjadi seseorang yang melambungkan
perasaan Raihan sampai ke langit ke tujuh.
Sesaat ia tersenyum dengan misteri, sesaat kemudian ia
kembali menjadi Una yang periang.
Una memang rumit!
“Raihan sini!!” sekarang gadis itu melambaikan tangan
dan mengisyaratkan Raihan agar mendekat.
“Kenapa?” tanya Raihan setelah ia mendekat. Gadis itu
terus mengisyaratkan dirinya agar semakin dekat.
Raihan pun menurut dan memiringkan kepalanya agar Una
bisa langsung berbisik di telinganya tanpa perlu berjinjit ataupun menegakkan
tubuhnya.
“Raihan.. permen kapasnya enggak rasa anggur! Penjualnya
bohong!” bisik Una dengan nada kecewa.
Langsung saja senyuman Raihan terkembang di bibirnya
mendengar kalimat yang baru saja meluncur dari mulut Una. Tangan kanannya terangkat dan ia letakkan di
atas kepala Una, diacaknya rambut gadis itu dengan gemas.
“Kenapa?” tanyanya heran. Raihan menggeleng.
“Enggak, cuma kamu itu.. gemesin banget..” dan wajah Una
pun merona merah.
Ia menundukkan kepalanya dan kembali memasukkan sejumput
permen kapas ke dalam mulutnya. Sesekali ia melirik Raihan, lalu wajahnya
bertambah merah setiap ia menyadari bahwa lelaki lembut itu tetap menatapnya
dengan tatapan yang tak bisa diartikan.
Keduanya merasakan hal yang sama detik ini, bahagia.
Masing-masing dengan alasan tersendiri. Namun jauh di
dalam lubuk hati, keduanya berharap semoga hari esok jauh lebih banyak alasan
untuk tetap merasakan kebahagiaan.
***
“Hei, ada pancingan lho Raihan!!” seru Una ketika ia
melewati sebuah stand dengan sebuah kolam-kolaman plastik di bagian depannya.
Raihan menaikkan sebelah alis, lalu melirik Una yang
nampak sangat antusias melihat kolan yang berisi air dan juga berbagai jenis
ikan-ikanan plastik yang memenuhi kolam itu.
“Kamu mau mancing disitu?” tebak Raihan. Ia yakin sekali
jika Una akan mengiyakan tebakannya.
Benar saja, perlahan Una menganggukkan kepala dan
tersenyum miris. Seakan-akan mengatakan : boleh
enggak? Tapi aku malu. Raihan pun malah tertawa dan mengusap kepala Una
dengan lembut.
“Kalau kamu mau ya silahkan.. masa enggak boleh sih?” ujarnya.
“Yang benar?”
“Ya iya Una.. kamu itu.. masa aku larang-larang kamu
sih?”
“Tapi..” Una menggantung kalimatnya. Membuat Raihan
cukup penasaran, “Tapi apa?”
“.. tapi aku maunya kamu yang mancing disitu.. “
sambungnya dengan nada pelan.
Ia juga menatap Raihan dengan tatapan yang takut. Entah
takut Raihan menolak, entah takut Raihan tersinggung. Tapi sepertinya tatapan gadis
polos itu terlihat gabungan dari kedua rasa takut itu.
“Kamu mau aku mancing di pancingan anak-anak?”
“Tapi.. itu yang mancing bapak-bapak semua Raihan..
lihat deh..” rayu Una sambil menunjuk dua orang lelaki dewasa yang tengah
memancing, wajah mereka nampak sangat serius.
Raihan pun mendekat dan melihat teknis memancing di
stand yang satu ini. Ternyata bukan mancing sembarang mancing, ini mancing
berhadiah. Setiap ikan memiliki nomor dan tiap nomor itu akan dicocokkan dengan
gulungan-gulungan kertas bernomor sama.
Tiap gulungan ada yang berisi jenis hadiah, ada juga
yang zonk alias kosong. Tergantung keberuntungan saja. Membayar lima ribu
rupiah untuk dua kali memancing ikan.
Hadiahnya beraneka ragam, dari mulai buku tulis sampai
ketel dan wajan. Ada juga benda elektronik seperti mp3 player dan juga handphone
China. Tapi yang paling cocok untuk Una sepertinya sebuah boneka beruang dengan
ukuran yang cukup besar.
“Kalau kamu enggak mau sih aku enggak apa-apa..” Una
akhirnya membatalkan permintaannya karena Raihan tak kunjung bicara, bahkan
untuk menolak pun tidak.
Dengan kepala yang tertunduk lesu juga aura kecewa yang
memancar dari dirinya membuat Raihan berfikir bahwa Una memang benar-benar
menginginkan dirinya untuk memancing di dalam kolam berhadiah itu.
Raihan pun tersenyum sambil mengeluarkan selembar lima
ribuan untuk menyewa pancingan. Sebenarnya dari tadi juga ia memang sudah bersedia
untuk memancing disana, asalkan Una merasa senang.
Walaupun ia tak tahu alasan sesungguhnya teman kencannya
itu meminta Raihan untuk memancing, tapi itu sama sekali bukan masalah.
Pokoknya Una harus selalu terlihat ceria dan senang!
“Eh, kamu mau?” seru Una. Nada suaranya ceria.
Raihan mengangguk dan meleparkan kailnya yang berupa
sebuah magnet kecil di ujung tali pancing ke dalam kolam yang penuh sesak
dengan aneka macam ikan itu. Digerak-gerakkannya ke kanan juga ke kiri,
diputar-putar ke segala arah dengan harapan ada salah satu ikan plastik dengan
nomor hoki yang menempel di magnetnya.
“Kok susah ya? Padahal kelihatannya gampang banget..” Raihan
berkata tanpa mengalihkan pandangannya dari ujung kailnya yang terkubur
ikan-ikanan.
Una mengangguk dan mengepalkan kedua tangannya di depan
dada. Pasti wajahnya itu sekarang sangat serius, wajah seseorang yang serius
itu akan terlihat lebih menarik. Apalagi Una. Saat ia menangis saja terlihat
sangat manis, apalagi disaat seperti ini?
“Raihan! Itu ikannya kena!!” Una memekik gembira sambil
menunjuk-nunjuk ujung pancing. Membuyarkan lamunan.
“Eh, i-iya! Iya, kena juga..” Raihan tergagap sambil
mengangkat pancingannya ke atas dan melihat sebuah ikan berwarna hijau
bergelantungan di mata kailnya.
Melihat bentuknya sih ikan ini mirip ikan mas Koki, tapi
kenapa warnanya hijau? Ah, itu jawabannya simple. Agar menarik perhatian anak,
ikan yang digunakan disini tadinya untuk mainan anak-anak.
“Ayo lihat nomor
berapa Raihan? Kita dapat hadiah apa?” Una nampak begitu bersemangat. Wajahnya
lucu sekali jika ia sangat antusias seperti sekarang, benar-benar menggemaskan.
Dengan sabar Raihan menimpali kata-kata Una, menjawabnya
dengan nada lembut dan membuat beberapa gadis yang kebetulan tengah memperhatikan
kolam pancingan berhadiah itu melirik mereka dengan iri.
“Nomor 12,” ujar Una kepada penjaga stand setelah Raihan
menunjukkan nomor yang tertera di perut ikan koki itu.
Penjaga stand yang berwajah kotak mengambil gulungan
dengan nomor yang sama lalu dengan cepat membuka gulungan tersebut dengan kedua
tangannya.
“Kosong neng..”
“Haah kosong? Yaah..” jelas sekali kekecewaan tergambar
di mimik muka Una.
Ia melirik Raihan yang sudah meliriknya terlebih dahulu.
Seulas senyum dilemparkan Raihan dan menunjuk pancingannya.
“Masih ada satu kali kesempatan lagi Una.. berdoa saja
semoga yang satu ini bisa dapat hadiah yang kamu mau..” hiburnya. Wajah Una
berseri lagi.
Ia pun tak berkata apa-apa, bibirnya hanya berkomat
kamit tanpa mengeluarkan suara. Ia pasti tengah berdoa supaya ikan yang
sekarang akan dipancing Raihan akan memberikan keberuntungan.
Tak lama kemudian sudah ada ikan baru di ujung pancingan
dan Raihan segera mengangkat ikannya. Sekarang nomor yang tertera adalah 10.
Semoga yang satu ini bisa membuat senyuman terlukis manis di bibir Una.
“Masih kosong neng.. maaf ya? Coba lagi saja!” penjaga
stand berwajah kotak itu kembali mengatakan hal yang membuat wajah Una muram
lagi.
“Masih kosong Raihan.. kita enggak dapat apa-apa..” ujar
Una kecewa, suaranya terdengar seperti menahan tangis.
“Ya sudah, aku beli lagi ya? Kita coba lagi.. siapa tahu
sekarang kita bisa dapat hadiahnya..”
“Jangan deh.. kita cari yang lain saja..” tolak Una. Ia
pun melangkahkan kakinya menjauhi stand pancingan berhadiah.
Raihan pun tak bisa mencegah. Biarkan saja Una melakukan
apa yang ingin ia lakukan, kalaupun ia menginginkan sebuah hadiah, Raihan pasti
akan membelikan satu yang spesial. Kalaupun bukan dari hadiah pancingan ini,
yang penting hadiahnya istimewa bukan?
“Una, kalau aku belikan boneka kamu mau enggak?” tanya
Raihan sambil menjejeri langkah Una yang sudah cukup jauh.
Blus yang gadis itu kenakan melambai saat ia menoleh
untuk menatap Raihan sebagai jawaban atas pertanyaannya barusan. Raihan
menghentikan langkahnya dan mengangkat alisnya tinggi-tinggi.
“Boneka?” Una malah terlihat bingung. Membuat Raihan
menjadi salah tingkah.
Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa
sangat gatal. Tapi saat ia menggaruk kepala, rasa gatal itu tiba-tiba hilang.
Jadilah ia hanya mengusap-usap kepalanya dengan gusar.
Tanpa disangka Una malah tertawa sambil menyentuh lengan
Raihan dengan tangan kirinya, tangan kanannya menjinjing rumah-rumahan
kelomang.
“Kenapa malah ketawa?” tanya Raihan. Sekarang
kegusarannya berubah bingung.
“Kamu mau belikan aku boneka?”
“Iya.. tadi kamu pengen dapat boneka kan?” tebak Raihan
dengan yakin, tapi wajahnya langsung aneh saat perlahan Una menggelengkan
kepalanya.
“Aku bukan mau boneka.. aku mau hadiah yang warna coklat
itu..” ujar Una sambil menunjuk ke arah stand memancing yang sudah cukup jauh
dari tempat mereka berdiri saat ini. Walaupun sudah cukup jauh namun masih
cukup jelas untuk melihat hadiah yang Una maksud.
Sebuah pancing.
“Pancing?” Raihan tak yakin. “Iya pancing.. kenapa
memang?”
“Kenapa pancing? Kamu kan sudah punya yang pink.. itu
juga belum dipakai kan?” tanya Raihan dengan hati yang tak enak.
Una sendiri nampaknya tak menyadari perubahan mimik muka
lawan bicaranya, karena ia tengah memperhatikan pancingan berwarna coklat itu
dengan penuh minat. Seakan-akan ia belum pernah mendapatkan pancingan sejenis
sebelumnya.
Pancingan berwarna coklat itu jenisnya sama persis
dengan yang Raihan berikan tempo hari.
Entah kenapa Una malah ingin yang lain, yang berwarna
coklat dan tak lebih bagus dari pancing pink pemberian Raihan.
Namun kemudian Raihan teringat sesuatu. Pancing
pemberian Januar pun memiliki warna yang coklat. Bentuknya pun sangat sederhana
dan kasar. Bisa dibilang jelek. Mungkin Una memilih pancing coklat itu karena
kurang lebih mirip dengan yang mendiang Januar berikan.
Ternyata Una memang tetap menaruh hati pada lelaki itu. Ia
tak pernah sedikit pun melupakan Januar, bahkan setelah ada Raihan di sampingnya.
“Tapi tadi kelomangnya kamu kasih nama Raihan dan Una..”
gumam Raihan nyaris tak terdengar.
Ia menunduk dengan tatapan yang mengarah pada kelomang
yang ada di dalam rumah-rumahan. Sepasang kelomang dengan cangkang biru cerah
itu bersembunyi di dalam rumahnya yang terbuat dari busa tipis, mereka nampak
akur-akur saja.
Iya, tadi Una telah melambungkan hatinya dengan memberi
nama kedua kelomang itu seperti nama mereka berdua. Bukankah itu berarti Una
memiliki perasaan pada Raihan? Setidaknya simpati.
Tadi dia juga ingin Raihan yang memancingkan hadiah
untuknya. Sekalipun ternyata yang diinginkannya adalah pancing coklat yang
jelek itu. Jelek? Berarti pancing pink yang ia hadiahkan dulu juga jelek?
“Iya, kelomangnya memang aku kasih nama kayak kita.. kan
kenang-kenangan.. memangnya kenapa? Apa hubungannya sama pancingan?” cetus Una
panjang dan lebar.
Ia menghadapkan tubuhnya kembali ke Raihan dan
menatapnya dengan kening yang mengerut. Tapi lelaki yang berdiri di hadapannya
itu asyik dengan hatinya sendiri, hati yang terasa disayat-sayat dan mencucurkan
darah.
“Enggak.. enggak ada..” sahut Raihan dengan suara yang
begitu pelan. Jauh lebih pelan dari sebelumnya.
Ia tak menyangka jika hatinya bisa terasa sesakit ini
karena salah menafsirkan perlakuan Una. Ia fikir Una mulai menaruh simpati
padanya, ia juga menyangka Una mulai menyukainya.
Tapi ternyata semua itu salah.
Kedua kelopak mata Raihan mulai terasa panas, rasa
familiar yang sudah beberapa hari ini tak ia rasakan lagi. Rasa dimana
hidungnya pun mulai terasa pedih dan matanya mulai berkabut.
“Lho, Raihan kok kamu malah nangis sih?” celetuk Una. Ia
memiringkan kepalanya agar bisa melihat wajah Raihan.
“Raihan.. kenapa?” tanya Una lagi.
Raihan tak menjawab. Ia hanya berusaha menyembunyikan
muka dan menghapus air matanya diam-diam. Ia benar-benar payah, seorang lelaki
menangis di muka umum? Dimana harga dirinya?
Januar pasti tak pernah seperti ini! Januar pasti sangat
kuat dan tegar. Kecewa karena orang yang disukai masih menyimpan perasaan pada
orang yang sudah meninggalkannya pasti tak akan membuat Januar menangis.
Pantas saja Una tak mau dengannya. Pantas saja..
***
Comments
Post a comment