_5_
I
have a date this evening!
***
Raihan menghabiskan banyak waktu untuk mencari pakaian
yang paling tepat. Ia sampai harus mengeluarkan semua pakaiannya dari dalam
lemari dan membuat semua pakaiannya berantakan.
Raihan terlihat seperti anak perempuan yang diajak
kencan oleh kakak kelas yang seorang ketua OSIS. Gugup dan tak bisa berfikiran
jernih. Ia tidak bisa memilih pakaian yang paling tepat untuk membuat
penampilannya terlihat lebih meyakinkan di depan Una.
“Ayolah! Aku itu cowok! Pakai apa saja pasti keren!!”
Raihan menyemangati dirinya sendiri dan mengepalkan tangan.
Tapi kalau pakai celana kolor dan kaos belel seperti
yang ia kenakan saat ini ternyata sangat tidak keren! apalagi lebam di wajahnya
masih membekas dan ia tidak terlihat tampan sama sekali! ia heran kenapa ibunya
belum bertanya kenapa Raihan terlihat kacau balau dengan wajah yang babak
belur.
Raihan memandang wajahnya sendiri yang terpantul dari
cermin bulat di dinding kamarnya. Rambutnya basah karena baru saja mandi, ia
mengenakan pakaian bekas tadi sepulang sekolah karena tanggung. Matanya beralih
ke sebelah bawah, ada bayangan dua kepala pelontos yang tengah berdiri di depan
pintu yang tertutup. Husen dan Hasan!
“Mamang mau ngedate ya?” celetuk salah satunya.
Entah Hasan entah Husen. Raihan menganggukkan kepalanya
dengan tegas dan membalikkan tubuh, adanya kedua bocah ini seakan bisa
membantunya keluar dari masalah maha dahsyat yang tengah ia alami!
“Kalian tahu enggak pakaian yang cewek suka?” tanyanya
langsung. Terdengar sangat bodoh dan konyol. Menanyakan hal yang sebenarnya
belum waktunya kedua bocah ini ketahui.
Hasan dan Husen berpandangan. Lalu menatap Raihan dengan
kening yang mengerut. Salah satunya berbicara,
“Cewek sukanya gaun mini mang! Yang ada rendanya! Si
Salsa suka pakai yang kayak begitu sih, Laila juga!”
“Mini dress yang ada rendanya?” gumam Raihan sambil
menoleh ke arah tumpukan pakaiannya yang berantakan di atas tempat tidur,
mencari pakaian yang dimaksud. Tapi tak ada pakaian berenda di koleksi
pakaiannya.
“Eh! Maksud mamang baju yang dipakai cowok dan cewek
suka! Gitu!” ralat Raihan sambil mengalihkan pandangannya lagi kepada kedua
keponakannya. Hasan dan Husen kembali berfikir keras, entah berpura-pura
berfikir.
Melihat mereka berfikir, Raihan pun lagi-lagi berfikir.
Sedangkan waktu sudah mulai menginjak pukul tiga sore. Bisa-bisa dia terlambat
dan Una menjadi kesal!
***
Jadilah sekarang Raihan terburu-buru berlari menuju tepian
sungai, dengan cardigan yang tak dikancingkan dan celana jeans warna biru
belel. Sepatu ketsnya berwarna putih dengan detail biru. Setidaknya ada warna
yang agak matching antara celana dan sepatunya. Semoga ia tak terlihat aneh di
depan Una.
Gadis itu sudah menunggunya di tepian sungai. Ia berdiri
menatap aliran sungai yang selalu mengalir ke arah yang sama. Una mengenakan blouse
dengan bahan yang ringan, melayang-layang terkena hembusan angin. Warnanya biru
pupus.
“H-hai, maaf aku telat..” ujar Raihan segera sebelum Una
menyadari kehadirannya. Ia menolehkan kepalanya dan tersenyum.
“Enggak apa-apa.. aku fikir kamu enggak mau temani aku,
habisnya kemarin aku judes sih..”
“Enggak kok! aku mau temani kamu! Beneran! Aku mau! Nih
buktinya aku datang!!” sela Raihan dengan cepat, ia begitu bersemangat
sampai-sampai mengepalkan tangannya di depan dadanya.
Una tertawa dan mengajaknya berjalan memasuki bagian
belakang gedung-gedung yang tak jauh dari tepian sungai. Mereka melewati sebuah
gang sempit diantara bangunan tak berpenghuni di sebelah kiri, dan sebelahnya
lagi toko besi. Ketika mereka sudah berada di bagian depan bangunan-bangunan
itu jalan raya langsung terlihat. Banyak mobil dan motor yang berseliweran.
“Pasar malamnya dimana Una?” tanya Raihan, ia sebenarnya
tidak tahu dimana ada pasar malam. Una menoleh dan menaikkan alis.
“Kamu engga tahu? Aku juga enggak tahu..” jawabnya
mengangetkan Raihan. “Terus?”
“Ya aku cuma dengar dari teman di sekolah, katanya ada
pasar malam.. tapi aku enggak tahu dimana. Pas kemarin langsung keingetan, ya
aku ajak kamu saja..” tutur Una. Ia kemudian menggigit bibirnya dan nampak tak
enak hati.
Raihan segera tersenyum dan meraih tangan kanan Una
dengan tangan kirinya, mengajaknya berjalan bergandengan.
“Kita jalan-jalan saja deh ya? Kemana saja sampainya!”
ujar Raihan akhirnya, ia mengajak Una untuk menyeberang jalan dan berjalan
menuju ke arah timur. Ada pusat perbelanjaan disana, siapa tahu ada tempat
nongkrong yang bisa dijadikan tempat santai.
“Enggak apa-apa kan kalau kita enggak jadi ke pasar
malam? soalnya aku juga enggak tahu sih..”
“Enggak.” Jawab Una cepat, juga pendek.
“Kamu marah lagi?”
“Enggak.” lagi-lagi Una menjawab dengan sangat pendek.
Membuat Raihan
kembali merasa bersalah. Ia melirik Una dengan ujung matanya dan langsung paham.
Wajahnya pun langsung merona merah saat melepaskan pegangan tangannya dari
gadis di sebelahnya.
“Maaf ya? Aku enggak sengaja..”
“Iya! Iya! Enggak apa-apa kok! enggak apa-apa!” sela
Una, sepertinya ia gugup. Begitu pula Raihan. Mereka berdua kini masing-masing
memiliki warna muka yang sama, merah padam.
Raihan menunduk memandang sepatu ketsnya dan tertawa
kecil. Diliriknya Una yang mematung di sebelah kirinya. Ia bisa melihat jelas
jika Una menelan ludah dan matanya tak fokus melihat pada satu arah, gadis itu
terlihat jauh lebih gugup daripada dirinya.
“Ayo Una! Mau balapan sampai ke sana?” Raihan mencoba
mencairkan suasana dengan mengajak Una berlari menuju sebuah halte bus. Una
mengangguk dan wajahnya tak merah padam lagi.
Mereka berdua mengambil posisi, memasang kaki pada
kuda-kuda berlari dan Raihan mulai menghitung. Kemudian pada hitungan ke tiga
Una langsung berlari dengan cepat sementara Raihan malah berjalan dengan
santai. Menyadari bahwa hanya dirinya yang berlari Una langsung berbalik dan
menyerbu Raihan dengan pukulannya.
“Raihan!! Kenapa kamu jailin aku?!! Ihh!!” ujarnya kesal
sambil tak berhenti memukuli tubuh Raihan dengan tangannya yang kecil. Raihan
sendiri tertawa terbahak-bahak mendapatkan perlakuan kesal dari Una.
“Iya, iya! Maaf ya? Aku cuma pengen bikin kamu ketawa!”
“Kalau begini bukannya aku ketawa, yang ada aku malu!
Tuh orang-orang malah lihatin aku!” protesnya sambil melihat sekeliling.
Beberapa orang yang ada di sekitar mereka memang tengah
melihat ke arah Raihan dan Una, mengulum senyum. Maklum.
“Ya sudah, yuk jalan lagi!” Raihan mengalihkan perhatian
Una dan mengajaknya berjalan. Gadis itu pun menurut, ia kini berjalan di
sebelah Raihan dengan kepala yan menunduk. Menatap ujung flat shoes yang ia
kenakan. Ada rasa senang di dalam dadanya.
“Ah, kamu suka mancing kan? Kita ke pemancingan umum
yuk?” ajak Raihan tiba-tiba.
“Eh, pemancingan umum?” tanya Una dengan alis yang
bertautan.
“Iya, ada pemancingan umum yang baru dibuka.. kata teman-temanku
sih ada tempat makannya juga. Kita bisa bakar ikan yang sudah kita pancing
disana..” papar Raihan, mencoba menghasut gadis di sebelahnya agar mau ikut.
Una terlihat berfikir keras, ia meletakkan telunjuknya
di dagu dan keningnya mengerut. Tak lama ia mengangguk dengan tegas, bibinya pun
menyunggingkan senyuman.
“Tapi kamu tahu kan kemana arahnya?”
“Ya tahu dong!! Kita naik angkot 09! Nah itu angkotnya!”
seru Raihan sambil menghentikan sebuah angkot yang melintas di depan mereka.
Setelah angkot itu berhenti, Raihan mempersilahkan Una untuk
naik terlebih dahulu, baru kemudian ia yang naik.mereka berdua mengambil tempat
duduk di bangku pendek. Kebetulan angkotnya masih kosong.
Raihan menundukkan kepalanya menatap sepasang kets yang
ia kenakan, lalu beralih pada flat shoes yang melekat di kedua kaki Una.
Warnanya senada. Biru-biru. Entah bagaimana bisa keduanya mengenakan outfit
yang sama warnanya. Jangan-jangan mereka satu hati? Wow!
***
“Ini tempatnya Una, enak ya?” Raihan menanyakan pendapat
Una saat mereka berdua sudah berada di pemancingan umum.
Una mengangguk dengan mata yang berbinar, bola matanya
bergerak ke kanan dan kiri mengamati detail dari tempat memancing untuk
masyarakat umum itu. Ada sebuah kolam yang sangat besar dan berbentuk persegi
dikelilingi oleh bangku-bangku berpayung yang tersebar sepanjang kolam, beberapa
bangku sudah diduduki oleh pemancing.
“Tempat makannya enak banget ya kayaknya?” tanya Una
sembari menunjuk gubuk-gubuk bambu dengan atap rumbia yang tersebar di
sekeliling pemancingan.
Beberapa kelompok muda dan mudi tengah asyik menikmati
bakar ikan hasil tangkapan masing-masing dalam gubuk. Una mengajak Raihan untuk
duduk di salah satu gubuk terdekat.
“Kamu enggak mau mincing? Kamu kan senang mincing?”
tanya Raihan sambil mendaratkan pantatnya di dekat Una.
Gadis itu menoleh dan mengangkat bahu. Ia mengulum
senyum dan mengembalikan pandangannya pada kolam luas yang pasti berisi
beraneka macam ikan air tawar yang gemuk-gemuk.
“Mancing saja yuk? Sebentar aku bayar sewanya dulu..”
Raihan berinisiatif untuk mulai memancing. Bukankah niat awalnya adalah memang memancing?
Raihan pun segera berjalan menuju sebuah pos kecil
dengan papan bertuliskan “Sewa pancing disini!”. Ia menyewa dua pancing dengan
masing-masing dihargai seharga 50 ribu rupiah. Dengan uang sewa sejumlah itu
maka penyewa bisa memancing ikan sepuasnya. Boleh dibawa pulang atau membayar
dua puluh ribu untuk biaya masak jika ingin dimakan di tempat.
“Ini untuk kamu.. yang ini untukku..” ujar Raihan sambil
menyerahkan satu buah pancing berwarna pink ke tangan Una.
“Aih, hampir mirip sama yang kamu berikan Raihan!” seru
Una sambil tertawa kecil. Raihan pun tersenyum dan mengangkat satu satu kaleng
umpan.
“Yuk mancing!” ajaknya.
Una mengambil seekor cacing gemuk yang ada di dalam
kaleng dan memotongnya menjadi dua. Sebagian cacing malang itu dikaitkan di
mata kailnya dan Raihan berigidik geli melihat sisa tubuh cacing itu
menggeliat-geliat di dalam kaleng.
“Kenapa?” tanya Una yang sudah melempar kailnya ke dalam
kolam. Raihan menggeleng dan ragu-ragu untuk mengambil umpannya sendiri.
“Ya sudah, aku saja yang pasang umpannya.. nih pegang
punyaku dulu!” Una pun berinisiatif untuk memasangkan umpan untuk Raihan dan menyerahkan
pancingnya untuk dipegangi Raihan.
“Eh, maaf ya Una..”
“Lho, kenapa minta maaf?” Una bertanya dengan kening
yang mengerut. Raihan malah menaikkan alisnya tinggi-tinggi dan menatap ujung
mata kailnya yang sudah dipasangi cacing.
“Oh, karena aku pasangin umpan punya kamu? Ah, ini sih
bukan apa-apa! Enggak usah minta maaf! Kamu itu..” Una mengakhiri kalimatnya
dengan tawa yang renyah.
“Nih, kamu bisa kan lempar pancing?”
“Ya bisa dong! Begitu doang sih aku bisaaa!!” jawab Raihan jumawa.
Ia mulai menarik pancingnya ke belakang dan dengan gaya
yang sangat meyakinkan ia meleparkan pancing hitamnya ke depan tubuhnya. Sekuat
tenaga agar ia bisa melemparkan mata pancingnya sampai nyaris ke tengah kolam.
“Eh, kenapa ini?” tanya Raihan ketika pancingnya tak
kunjung terlempar ke tengah kolam. Sementara Una sudah tertawa-tawa saja
melihat Raihan yang kesulitan dengan pancingnya.
“Lihat kailnya nyangkut Raihan!” serunya sambil berdiri
dan mengambil kail yang menyangkut di atap rumbia gubuk tempat mereka berdua
duduk tadi.
“Ah, kebetulan saja! Pemanasan itu namanya!!” Raihan
berusaha tetap terlihat percaya diri dengan keahliannya memancing sekalipun
mukanya merah padam.
Una tak berkata apa-apa. Ia hanya mengulum senyum dan
membiarkan Raihan kembali mencoba. Sekali lagi Raihan menarik pancingnya ke
belakang dan melemparkannya ke depan sekuat tenaga.
“Aaah!!” teriaknya ketika cacing gemuk yang dijadikan
umpan itu malah menempel di pipinya.
Una tertawa lagi saat Raihan berigidik geli sambil
melepaskan pancing dari tangannya dan segera mengelap pipinya yang tadi
ditempeli cacing. Kail itu bukannya jatuh ke tengah kolam, malah menyangkut
lagi dan saat ia menariknya mata kail plus cacingnya yang besar itu malah melekat
di pipi Raihan.
“Hii, geli geli!!” Raihan memegangi tengkuknya yang
meriding. Una masih tertawa dengan wajah yang ceria.
“Katanya jago mancing, masa lempar kail saja enggak
bisa, sama cacing saja takut..” ejek Una sambil melemparkan pancing untuk
Raihan.
“Aku bukan takut, aku cuma geli.. tokh kalau saja
pancingnya enggak nyangkut-nyangkut sih sekarang aku pasti sudah dapat ikan
Araphaima!!”
“Hei! Itu adanya di Amazon!!” sangkal Una, matanya
sampai melotot, tapi ia tertawa juga.
“Eh, katanya di Kalimantan juga ada lho!!”
“Masa sih?” Una penasaran. Ia sampai memiringkan
tubuhnya ke arah Raihan.
“Iya, katanya sih..”
“Ihh, kenapa enggak jelas begitu sih infonya!” protes
Una sambil mengembalikan pandangannya pada pancing pinknya yang sudah kembali
ia pegang.
“Tapi di SeaWorld ada..”
“Katanya..” sela Una tanpa menoleh. Raihan mengangkat
alis dan nyengir kuda.
“Iya sih, itu kata majalah anak-anak. Awal tahun
2000-an..”
“Iiih! Itu sih lama banget! Kalau sekarang ada enggak?”
“Yaa aku enggak tahu, aku enggak pernah ke Seaworld..”
jawab Raihan sambil memutar-mutar pancingnya seperti mengaduk segelas kopi
raksasa.
“Hei, kalau kamu enggak diam, sampai subuh pun dijamin
enggak bakalan dapat ikan!” Una menahan tangan Raihan yang tetap memutar-mutar pancing
sampai terbentuk pola melingkar yang terus membesar hingga menyentuh ujung
kolam.
“Selain kamu sendiri yang enggak bakalan dapat ikan, aku
dan yang lain juga pasti enggak bakalan dapat ikan!”
“Kata siapa?” Raihan malah seakan menantang. Una
memicingkan matanya dan membalas tatapan Raihan.
“Ikan itu pasti takut sama gerakan-gerakan yang kita
buat. Ikan itu maunya cuma sama umpan yang diam, tenang.. karena itu banyak tukang
pancing yang suka tidur sambil nungguin pancingan masing-masing!”
“Itu sih merekanya saja ngantuk..” Raihan ngeles. Una
mencibir dan kembali pada pancingannya,
“Kamu enggak pernah mancing sebelumnya kan Raihan?”
tanya Una kemudian. Raihan yang sudah berhenti memutar-mutar pancingnya tak
menjawab. Ia hanya bergumam tak jelas.
Una menoleh dan menyikutnya.
“Apa?”
“Kamu belum pernah mancing kan?” ulang Una.
“Pernah sih..”
“Dimana?” Raihan tak menjawab lagi, ia hanya memamerkan
deretan giginya.
“Pasti main game ya?” tebak Una dan langsung disangkal
Raihan dengan cepat.
“Bukan! Aku main pancing-pancingan sama Hasan Husen!”
“Hah? Yang plastik itu? Yang muter-muter?” Raihan
mengangguk dan langsung terbayang mainan kolam ikan bulat milik kedua
keponakannya.
Warnanya hijau cerah dan ada ikan-ikan dengan mulut
terbuka di atasnya. Diameternya kurang dari tiga puluh centimeter dan ada musik
yang mengiringinya saat benda itu dinyalakan, kemudian bagian tengah kolam itu
berputar dan ikan-ikan itu pun bergantian mulutnya terbuka dan semua saling adu
cepat memancing ikan-ikan plastik itu dengan menggunakan kail yang ujungnya
magnet.
Una tertawa lagi. Ia memukul bahu Raihan pelan.
“Kalau mainan sih lebih parah daripada main game
Raihan!” ujarnya di sela tawa.
“Parah apanya coba?” Raihan terlihat agak tersinggung,
tapi sepertinya ia hanya bercanda.
“Parah saja.. itu kan untuk anak-anak!”
“Ya memang Hasan Husen masih anak-anak!”
“Tapi kan kamu bukan..”
“Iya sih, haha!” Raihan tertawa. Menertawakan dirinya
sendiri.
Diam-diam ia melirik Una
dan hatinya merasa sangat senang melihat gadis itu ceria. Sejak
pertemuannya dengan Una tempo hari, ia tak lagi melihat sorot muram dari
matanya.
Tak ada tawa palsu dari dirinya. Yang ada hanya senyuman
dan tawa riang yang tergambar jelas dari kedua bola matanya.
Semoga Raihan memang bisa membuat gadis itu melupakan
kesedihannya. Suatu hal yang membuatnya murung dan berpura-pura bahagia di
depan orang lain.
Tiba-tiba saja Raihan teringat mendiang Januar. Ia memang
tak mengenalnya tapi entah kenapa ia merasa sangat penasaran dengan orang itu.
Apakah Januar itu pacar Una? Sehingga saat ia meninggal Una merasa sangat
kehilangan dan ia selalu sedih setiap waktu?
“Una, kamu sudah pacaran berapa kali?” tanya Raihan
tiba-tiba.
Ia sangat ingin tahu hubungannya dengan Januar, bertanya
tentang hal itu secara frontal pasti
akan membuat Una sedih. Siapa tahu jika sedikit dialihkan seperti pertanyaannya
saat ini, Una tak akan begitu menyadarinya. Siapa yang tahu nantinya dia akan
menceritakan hubungannya dengan Januar tanpa diminta!
Tapi Una tak menjawab. Ia diam saja sambil memandangi
ujung tali pancingnya di permukaan air. Ia seakan tak memperdulikan Raihan yang
tengah begitu penasaran dengan jawabannya tentang pertanyaan itu.
“Una!” panggil Raihan tak sabar. Gadis itu menoleh,
matanya murung lagi.
“Apa?”
“Eh, enggak jadi deh! Lupakan saja.. kenapa ikannya
belum dapat juga ya?” Raihan segera mengalihkan pembicaraan dan menatap ujung
tali pancingnya sendiri.
Sejenak keheningan menguasai keadaan di sekitar mereka
berdua. Suara-suara ramai dari beberapa kelompok anak muda yang tengah makan
besar di beberapa gubuk tak cukup meriah untuk membuat Una dan Raihan kembali
ceria, atau setidaknya untuk membuat mereka kembali mengobrol satu sama lain.
“Una, apa pertanyaan aku salah?” akhirnya Raihan membuka
suara. Ia tak tahan dengan keheningan di antaranya dan Una.
“Pertanyaan apa?”
“Eh, enggak deh.. lupakan saja. Aku enggak tanya apa-apa
kok!” raihan menjadi salah tingkah.
Sebenarnya apa sih yang ada di dalam fikiran Una? Kalau
dia memang tidak mendengar pertanyaan Raihan, kenapa dia menjadi murung? Lalu
memangnya bertanya tentang berapa kali berpacaran itu hal tabu juga bagi Una?
“Aku belum pernah pacaran Raihan. Kalau suka sama
seseorang aku pernah.” ujar Una kemudian. Suaranya pelan dan nyaris tak
terdengar.
Sekarang Raihan menjadi bingung dan benar-benar tak
mengerti. Jangan-jangan apa yang ia tanyakan tadi termasuk dalam jajaran kata
tabu yang tak boleh diucapkan! Ya ampun, rumit sekali Una!
“Kamu enggak mau tahu siapa yang pernah aku suka? Kenapa
enggak tanya lagi?” pertanyaan Una terdengar seakan menyindir Raihan. Gadis
mungil itu seakan-akan ingin mengatakan bahwa Raihan kepo, alias terlalu banyak ingin tahu tentang dirinya.
“Aku takut salah bicara Una. Aku takut tak sengaja
mengatakan kata tabu di dalam kamus kamu.” sekarang Raihan yang menjawab dengan
suara yang seakan tak suka. Ia tak berminat lagi untuk mengetahui hubungan Una
dengan Januar.
Tapi sepertinya gadis itu ingin menceritakan apa yang
sangat ingin Raihan ketahui. Ia memasukkan gagang pancingnya ke dalam sebuah
lubang dalam palang kayu khusus yang ada di depan tempat duduk mereka. Lubang
itu untuk meletakkan gagang pancing jika pemancing pegal atau ada keperluan
lain selagi mereka memancing.
Setelah pancingnya stabil, Una pun menyandarkan
punggungnya pada pilar kayu yang menyangga atap bangku yang tengah mereka
duduki, mengarahkan pandangannya pada Raihan. Tapi ia tidak menatap Raihan,
tatapannya kosong.
Raihan menyadari hal itu tapi ia pun tidak mengatakan
apa-apa. Dibiarkannya saja Una melakukan apa yang ingin ia lakukan, mengatakan
apapun yang ingin ia katakan.
“Aku dan Januar bertemu di salah satu rumah sakit
jantung.. kami sama-sama memiliki cacat jantung bawaan. Tapi karena Januar
enggak mampu untuk membayar biaya operasi dan perawatan, akhirnya dia
meninggal.” Tuturnya dengan suara yang seperti tercekik. Ia pasti menahan
tangis.
Raihan tak menimpali kata-katanya. Ia tak menduga bahwa
Una memiliki cacat jantung bawaan, ia kaget mendengarnya. Namun ia merasa tak
suka mendengar nama Januar diucapkan dengan nada yang seakan begitu
menyayanginya. Karena itulah Raihan diam saja.
“Kami sempat beberapa kali pergi bersama, dia buatkan
pancing bambu untukku di tepian sungai.. aku juga selalu mancing di tempat
itu.. bahkan setelah Januar meninggal.” sekarang Una benar-benar menangis.
“Maksud kamu, tempat itu tepian sungai tempat kita
ketemu?” Raihan akhirnya bersuara. Tapi suaranya terdengar sangat kaku dan
dingin.
Perlahan Una mengangguk, tapi ia segera menutup mukanya
dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Raihan tak mau melihat Una
menangis, tapi ia merasa hatinya sedikit marah saat menyadari bahwa tangisan
gadis di sebelahnya itu adalah untuk mendiang Januar. Una menangis karena
mengingat Januar.
Entahlah. Raihan cemburu. Mungkin?
“Kamu tahu enggak Raihan, kenapa aku selalu pakai baju
lusuh?” tanya Una di sela tangisnya. Raihan menggeleng pelan, matanya tetap
terpaku pada ujung tapi pancingnya di atas permukaan air.
“Karena Januar selalu pakai baju lusuh.. aku selalu
merasa dekat Januar kalau aku pakai baju lusuh..”
“Oh,” hanya itu yang keluar dari bibir Raihan. Hatinya
benar-benar terbakar sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Ini pertama kalinya Raihan merasa kesal pada Una. Kesal
karena ternyata Una memang ada hubungan dengan Januar dan ia masih menghidupkan
kenangannya dengan orang yang sudah lama meninggal itu.
“Kamu kok marah Raihan?” celetuk Una. Ia menatap Raihan
dengan sepasang manik matanya yang basah.
Raihan gelagapan dan menggeleng-gelengkan kepala dengan
gugup. Ia tengah marah karena Una tetap menyukai Januar, tapi ia juga merasa
senang karena Una memperhatikan ekspresinya.
“Enggak kok! Aku cuma agak.. agak bosan saja duduk
begini, iya!” jawabnya kemudian.
“Kalau Januar enggak pernah bosan deh sama mancing!
Waktu itu aku pernah lho tiga jam duduk panas-panasan mancing sama dia! Seru
banget, dia lucu sih!” dan Una tertawa.
Tawa Una seakan membuat hati Raihan meledak seketika dan
ia pun berdiri sambil meletakkan pancingnya di dalam lubang kayu, bersebelahan
dengan milik Una.
“Eh, mau kemana?” tanya Una sambil menghapus air matanya
yang masih tersisa.
“Pulang. Aku antar kamu pulang sekarang ya?” jawabnya
datar. Una mengerutkan kening heran dengan ajakan pulang yang begitu tiba-tiba.
“Kenapa buru-buru? Memangnya ada apa?”
“Enggak ada apa-apa. Mau aku antar pulang atau masih mau
disini?” Raihan benar-benar sudah kehilangan mood untuk memancing.
Una pun berdiri dan meninggalkan pancingannya, tatapan
matanya menyiratkan kebingungan tapi ia tak banyak bertanya lagi. Raihan pun
tak berkata apa-apa.
“Lho, mancingnya sudah?” tanya penjaga kios sewa pancing
ketika keduanya berjalan menuju pintu keluar yang letaknya bersebelahan dengan
bangunan bambu itu.
“Sudah pak, terima kasih ya?” sahut Raihan sekenanya.
“Oh, y-ya sudah.. lain kali datang lagi ya?” penjaga
kios sewa pancing itu pun nampak serba salah menanggapi pelanggannya yang satu
ini.
Una menjejeri langkah Raihan yang lebar-lebar. Sepasang kakinya
memang kalah panjang dengan kaki teman barunya itu. Ia bahkan sampai harus
berlari kecil untuk menyeimbangkan jarak diantara mereka.
“Raihan! Tunggu!” panggil Una pada akhirnya, ia menyerah
karena terlalu lelah mengejar Raihan.
“Ya?”
“A-aku capek..” ujar Una sambil menekan ulu hatinya dan
bernafas dengan cepat. Matanya membeliak menatap Raihan yang hanya menoleh
sekilas kepada Una.
“Kamu itu kenapa sih? Kenapa jadi kayak anak kecil
begini sih? Memangnya ada apa?” protes Una dengan suara yang meninggi. Mungkin
ia mulai merasa emosi karena sikap Raihan yang aneh.
Raihan terdiam. Ia membenarkan apa yang baru saja Una
katakan. Ia memang seperti anak kecil, marah karena Una menceritakan Januar dan
menangis karena mengingatnya. Ia juga tertawa saat membayangkan sikapnya yang
lucu.
Kenapa harus marah pada Una? Bukankah dia sendiri yang
memancing pembicaraan yang ada hubungannya dengan mendiang Januar? Ckk ckk
Raihan! Payah sekali!
“Ah, maaf Una! A-aku cuma.. aku..” Raihan kehabisan
kata-kata.
Ia bahkan tak tahu harus melakukan apa untuk menunjukkan
rasa menyesalnya, apalagi untuk mendekati Una dan membantunya untuk merasa
lebih nyaman. Ia merasa sangat bersalah.
“Una, mau ke pasar malam?” tawarnya segera.
“Apa?” Una malah nampak kaget dan tak mengerti. Raihan
mengulangi ajakannya dan berharap cemas semoga Una mau ikut dengannya.
“Katanya tadi enggak tahu dimana pasar malamnya..”
“Kan kita bisa tanya Una.. yuk? Nanti kita beli permen
kapas!” rayu Raihan, matanya menatap Una dengan nyaris tanpa kedip.
Gadis itu balas menatap lawan bicaranya dengan pandangan
yang menyelediki. Mencari maksud dari ajakan Raihan kepadanya. Lambat laun ia
pun menganggukkan kepalanya dan serta merta Raihan bersorak.
“Eh maaf..” ujar Raihan malu-malu saat Una malah melihat
dan berfikir kepadanya seperti melihat seorang bocah yang mendapatkan permen
cokelat gratis.
“Haha! Enggak apa-apa kok! Kamu itu.. yuk pergi!” ajak Una
sambil mengulurkan tangan kanannya. Mengajak Raihan untuk menggandengnya dan
pergi bersama.
Sebelum meraih uluran tangannya, Raihan lebih dulu
menatap tangan mungil Una di hadapannya dan mengulum senyum. Sesaat kemudian
tanpa ragu ia meraih uluran tangannya dan menggenggamnya erat.
***
DON'T BE A SILENT READER PLEASE, ^^
Una ini perawakannya mungil y
ReplyDeleteIyaps, semodel Goo Hye Sun,
Delete