- Get link
- Other Apps
_4_
Mulai
lebih tegar, demi Una
***
Raihan menatap pouch handphone milik Sascha dengan mata
yang nanar. Tempat handphonenya basah kuyup, bentuknya jadi aneh. Basah dan
lengket.
“Mamang kenapa? Kok nangis?”
“Itu apa? Kenapa lengket? Kayak kerupuk kena air..”
cerocos si kembar dengan mulut yang penuh croissant. Mereka berdua menginap
lagi di rumah Raihan dan langsung menyerbu keranjang croissant yang ia bawa.
“Mamang itu apa?” tanya Hasan lagi, entah Husen sambil
merebut benda berwarna hijau itu dari tangan Raihan. Tapi langsung ia jatuhkan
karena basah dan tak enak dipegang.
“Jangan dijatuhin Hasan!!”
“Aku Husen mang.. dia yang Hasan!!” ralat bocah itu
sambil menunjuk bocah di seberangnya yang duduk di kursi, ia lalu memasukkan
sisa croissant di tangannya ke dalam mulut. Remahnya berceceran di piyama yang
ia kenakan, juga di pipinya.
“Iya lah, terserah..” dengus Raihan sambil memungut pouch
handphone Sascha dan mengangkatnya sebatas hidung, menatapnya lagi seperti
tadi.
“Daripada dipandangin begitu mendingan dipanasin mang..”
celetuk Hasan. Ya, dia pasti Hasan! Soalnya di yang duduk di kursi.
“Dipanasin gimana maksud kamu?”
“Ya dibikin kering mang.. digimanain lagi? Ih mamang rempong
deh!” celetuk Husen. Raihan menaikkan alisnya dengan heran. Apa yang barusan
bocah ini katakan? Rempong? Darimana dia bisa tahu kalimat itu?
Tapi kata-kata keponakannya ini telah memberikan ide
untuknya. Kenapa hanya ditatap sambil menyesali nasib? Lebih baik jika
dikeringkan hingga air di pouchnya habis dan prakara Sascha bisa ia berikan
dengan selamat?
“Wah! Makasih ya.. kali—an.. eh, kemana mereka?” tanya
Raihan pada dirinya sendiri sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok
kedua bocah itu yang tiba-tiba saja hilang entah kemana.
Raihan baru saja bangkit dari duduknya saat Hasan dan
Husen muncul lagi ke dalam kamar sambil membawa sebuah hair dryer.
“Pakai ini mang!” ujar salah satunya sambil menyodorkan
benda berbentuk L dengan sudut tumpul berwarna hitam itu ke tangan Raihan. Ia
menerima benda itu dengan kening mengerut.
“Darimana kalian dapat ini?” tanyanya heran.
“Husen yang bawa.. “
“Ih, kamu yang suruh aku bawa!”
“Tapi kan kamu yang pakai!”
“Eh sudah-sudah! Ini punya kak Alia kan?” lerai Raihan
sebelum sepasang anak kembar di depannya mulai saling cakar karena saling tuduh.
“Kak Alia itu siapa?” tanya mereka berdua berbarengan. Wajah
mereka nampak aneh, seperti baru mendengar nama ibu mereka sendiri.
“Ah sudah lah.. lupakan saja!” Raihan mengakhiri
pembicaraan tak bermutu diantara mereka bertiga, ia membalikkan tubuh dan mencari
colokan listrik. Hasan dan Husen mengekor di belakangnya sambil tetap
membicarakan perihal siapa kak Alia sebenarnya.
Dasar bocah!
“Eh, tunggu. Kalian bawa ini dari rumah? kalau ibu
kalian mau pakai gimana?” tanya Raihan setelah menemukan colokan listrik dan menancapkan
kabel hair dryer, ia menoleh untuk menatap kedua keponakannya, menunggu
jawaban.
“Iya mang, kata Husen kalau pakai itu rambut bisa cepat
kering, bisa sekalian diblow juga..”
“Kok kata aku sih? itu kata ibu!!”
“Tapi kan aku tahunya dari kamu Husen!” mereka mulai
saling menyalahkan lagi, Raihan hanya membeliakkan mata dan mulai mengeringkan
pouch handphone yang sudah ia peras terlebih dahulu.
Ia menekan tombol yang terletak pas di bagian pegangan hair
dryer itu sampai hawa panas keluar dari bagian depan benda itu, bagian yang
seperti moncong cumi. Hawa panas itu membuat rambut cepat kering. Semoga manjur
juga untuk membuat kain flannel menjadi kering.
“Pakai itu rambut cepat kering lho mang!” celetuk Husen,
mungkin. Entah Hasan. Mereka sangat mirip satu sama lain.
“Memangnya siapa yang pakai?”
“Hasan!”
“Husen!” jawab mereka berdua berbarengan, saling
menuduh. Raihan malah tertawa.
“Sudah, kalian berdua yang pakai kan?”
“Iya,” mereka menjawab kompak juga akhirnya.
“Pakai sebentar langsung kering mang!”
“Bahkan pas dipencet sebentaaar banget, rambut kami
kering lho! Hebat kan!?” tutur mereka polos, sangat yakin dengan barang yang
mereka puji.
Lagi-lagi Raihan
hanya tertawa. Tentu saja rambut mereka akan cepat kering, apanya yang harus
dikeringkan? Rambut mereka itu dipotong pendek sekali, nyaris botak. Tanpa
pakai pengering rambut pun rambut mereka yang sedikit itu pasti akan cepat
kering.
Dasar bocah!!
Sudah lima belas menit ia menggunakan hair dryer untuk
mengeringkan puch handphone Sascha, tapi benda itu belum kering seutuhnya. Hasan
sudah tertidur di lantai dan Husen tengah terkantuk-kantuk di sebelahnya.
“Sudah, mendingan tidur saja! ajakin tuh Hasan tidur di
kasur!” ujar Raihan tanpa menoleh, ia masih berkonsentrasi pada pouch handphone
yang ia pegangi.
Bocah di sebelahnya menguap dan kemudian bergerak
menaiki ranjang Raihan dan langsung tertidur di atasnya. Sementara saudara
kembarnya masih tergeletak di lantai dan membuat Raihan terpaksa harus
membopongnya ke atas ranjang.
Setelah menyelimuti kedua anak itu Raihan kembali pada pekerjaannya.
Mengeringkan tempat handphone dari flannel milik Sascha.
Ia tak mengerti dengan perasaannya. Tempat handphone ini
pasti tak akan sebagus hasil awalnya sebelum kehujanan, pasti Sascha pun akan
marah besar. Tapi Raihan sama sekali tak mencemaskan perihal itu. Bukan itu
yang membuat hatinya terasa aneh, melainkan karena ia merasa berdosa pada Una.
Gadis itu membuatkan prakarya ini dengan segenap
perasaannya dan karena kecerobohan Raihan, hasil karyanya rusak. Raihan merasa
sangat bersalah padanya. Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Una sekarang ya?
Apa dia baik-baik saja?
“Hoaaeeemm!” ia menguap.
Tepat di saat jam dinding menunjukkan angka sepuluh. Selama
tiga puluh menit mengeringkan benda berwarna hijau ini, akhirnya kering juga.
Tapi kok ukurannya lebih kecil ya? Tapi sudahlah! Raihan sudah sangat
mengantuk dan lelah. Ia mau tidur!
***
Keesokan paginya. Senandainya saja Hasan dan Husen yang
tidur di ranjangnya tak bangun dan berlarian menuruni tangga, Raihan pasti akan
bangun kesiangan dan terlambat pergi ke sekolah. Sekarang saja sudah pukul
setengah tujuh dan ia baru selesai mengenakan seragam.
“Hei, sarapan dulu Raihan!!” panggil ibu sambil membawa
sepiring nasi lengkap dengan lauknya ke depan rumah, mengejar Raihan yang sudah
menaiki angkot sambil berpamitan.
“Jangan lupa makan nanti di sekolah!” teriak ibu setelah
angkot yang Raihan melaju.
“Iya bu!” anak kesayangannya itu melongokkan kepalanya
dari pintu angkot dan kemudian memasukkan kepalanya malu-malu.
Para penumpang yang kebanyakan anak SMP itu
memperhatikannya sambil berbisik-bisik. Mereka cekikikan dan melirik Raihan.
Saat Raihan mengarahkan pandangannya pada para gadis ABG itu mereka langsung
cekikan lagi.
“Hei, mana prakarya ratunya Bambang?” tanya Wawan,
suaranya kecil. Ia duduk di sebelah Raihan.
Dirogohnya
sesuatu dari saku kemeja yang Raihan kenakan, tanpa menunggu persetujuan pemilik
saku. Mengeluarkan benda berwarna hijau dengan bentuk yang mengerut.
“Ini apa? Kenapa bentuknya kayak begini?” tanya Wawan
heran, ia mengibas-ibaskan pouch handphone itu di depan dadanya, sambil
menebak-nebak benda apakah gerangan yang tengah ia pegang.
“Sini! Ini tempat HP tauk..” jawab Raihan sambil merebut
benda hijau itu dan memasukkannya lagi ke dalam saku. Tapi Wawan malah
mengeluarkannya lagi tanpa bisa Raihan cegah.
“Kenapa bentuknya begini? Si Una itu enggak bisa bikinnya?”
“Hei! Jangan panggil Una pakai SI ya? Dia bukan kucing!”
“Deuh, begitu saja marah.. aku bercanda!” elak Wawan
sambil memamerkan giginya yang besar-besar, Raihan mencibir dan memalingkan
muka tanpa lupa untuk merebut pouch handphonenya.
“Terus kenapa jadi begitu?”
“Kehujanan.”
“Kalau Sascha kecewa? Terus dia marah?” Raihan melirik Wawan
dengan ujung matanya dan menatapnya sejurus.
“Bodo amat!” jawabnya tegas.
Wawan membelalakkan matanya dan menepuk-nepuk bahu sahabat
kecilnya itu dengan sangat bangga. Ini kali pertama ia melihat Raihan bisa bersikap
begitu tenang dengan hal buruk yang tengah menantinya di depan mata!
Semoga saja ia tetap seperti ini saat berhadapan dengan
bogem Bambang.
***
“Ke-kenapa bentuknya aneh begini?” tanya Sascha tergagap
ketika Raihan menyerahkan prakaryanya di depan perpustakaan.
Kebetulan ia berpapasan dengan Sascha yang baru saja keluar
dari lorong yang menghubungkan perpustakaan dengan kantin.
“Kehujanan.. maaf ya? Aku sudah berusaha.. tapi hasilnya
ya..” jawab Raihan jujur, ia mengusap-usap tengkuknya dengan kikuk. Ada rasa
kasihan juga melihat wajah Sascha yang begitu kecewa, tapi memangnya apa lagi
yang bisa ia lakukan? Raihan sudah berusaha!
“Ra—i—han.. kamu..”
“Eh tunggu! Jangan marahi aku! Aku kan enggak sengaja!”
elak Raihan sambil merentangkan kesepuluh jarinya di depan tubuhnya, menjaga
jarak aman dari Sascha yang nampaknya sudah ingin menelannya bulat-bulat. Gerahamnya terlihat mengatup, giginya
gemeletuk dan matanya merah menyala.
Menghadapi seorang gadis yang akan mengamuk ternyata
jauh lebih mengerikan daripada menghadapi Bambang and the gank sekalipun!
“Pipiiiiiiiiw!!!” lengking Sascha tiba-tiba.
Suaranya begitu tinggi dan memekakkan telinga. Raihan
sampai harus menutupi telinganya dengan kedua tangan, ia tetap memperhatikan
Sascha yang masih menjerit memanggil kekasihnya itu. Ia memanggil Bambang
dengan satu tarikan nafas. Sangat panjang dan tahan lama. Paru-parunya
sepertinya kuat menampung lebih dari lima liter oksigen, lebih banyak dari kapasitas
maksimal paru-paru kebanyakan.
“Sa-Sascha.. su-sudah!” ujar Raihan sambil mendekati
gadis itu, berusaha menenangkannya agar tak semakin menjadi.
Ia merasa tak enak dengan tatapan heran siswa dan siswi
yang kebetulan tengah melintas di dekat mereka berdua. Bahkan ada yang
melongokkan kepala mereka dari balkon lantai dua bangunan seberang, semuanya
memiliki tatapan yang sangat penasaran. Semua siswa tahu siapa Sascha, juga
tahu siapa Raihan. Serta track record masing-masing.
Tak mungkin jika misalnya Raihan bisa membuat Sascha
yang segalak singa betina itu menjerit memanggil Bambang, ketika ia memanggil
kekasihnya berarti ada suatu masalah yang tak bisa ia selesaikan. Secara,
Raihan gitu lho! Dia itu jauh lebih rapuh daripada para gadis sekalipun!
Bulu kuduk Raihan meremang saat mendengar suara derap langkah
teratur dari lorong panjang di belakangnya. Suara itu seperti suara satu
pasukan infanteri yang siap bertempur dengan mengenakan baju bajanya yang
tebal, tombak tajam di tangan kanan dan perisai berat di tangan kiri. Tapi ia
tahu persis, siapa yang memiliki derap langkah sekompak itu.
“Ada apa miw? Mimiw kenapa?” betul bukan? itu Bambang dan
geng infanterinya.
Siswa bertubuh besar itu berjalan melewati tubuh Raihan
dan menabrak bahunya dengan keras. Keempat temannya yang lain mengikuti hal
yang sama. Lima kali ditabrak bahu saja terasa sangat sakit. Apalagi jika
dihajar mereka berlima?
Sekarang Sascha tengah mengadu pada Bambang dengan background
empat orang siswa dengan tubuh yang sama besarnya dengan dia. Wajah Bambang
terlihat menegang, apalagi saat Sascha menunjukkan prakaryanya yang rusak.
“Gitu piw! Pipiw tega mimiw kena marah guru?” rengek
Sascha sambil menghentak-hentakkan kakinya di lantai.
Bambang memegangi bahu kekasihnya itu sambil memelototi
Raihan, siswa cengeng itu sudah terlihat menciut menjadi lebih kecil karena
merasa takut dan ngeri. Namun entah hal macam apa yang membuat dirinya tetap
bertahan di depan geng paling kasar itu, ia seakan merasakan sesuatu yang tak
pernah ia rasakan sebelumnya.
Rasa yang membuatnya harus menghadapi apapun yang akan
terjadi, demi harga dirinya. Ia harus mempertahankan apa yang menurutnya tak
salah! ya, inilah saatnya untuk mempertahankan harga dirinya!!
Bambang memberi isyarat pada keempat temannya yang
langsung bergerak cepat memegangi tubuh Raihan.
“Eh-eh apa nih?” ia mulai panik karena keempat siswa
bertubuh besar itu memegangi tubuhnya dengan erat dan menyeret Raihan ke
belakang perpustakaan. Raihan pun meronta-ronta, berusaha melepaskan diri namun
itu sia-sia saja.
“Kalian mau apa?!” tanya Raihan dengan nada panik. Ia
tahu akan ada suatu hal yang buruk terjadi padanya jika kejadiannya sudah
seperti ini!
“Gue mau kasih pelajaran sama elo.” Jawab Bambang
setelah Raihan dilepaskan dari pegangan keempat temannya. Raihan sekarang
terduduk di halaman belakang, tepat di dekat gudang penyimpanan sapu.
“Bambang! Prakarya Sascha kehujanan dan aku sudah
sebisanya keringin itu! Aku enggak tahu kenapa bisa jadi menciut kayak
begitu!!” Raihan mencoba membela dirinya ketika Bambang mulai mendekatinya
dengan bogem yang mengepal.
Raihan menelan ludah dan memejamkan matanya saat ia tahu
pembelaannya tak berhasil. Ia tak mau melihat apa yang kemudian terjadi! Ia tak
mau merasakan apa yang sudah pasti akan ia rasakan!!
***
“Aduh..” ringis Raihan ketika Una menekankan sebungkus
es di pelipisnya. Gadis yang kembali mengenakan pakaian lusuhnya itu meminta
maaf dan mengurangi kekuatannya yang ia gunakan untuk menekan memar Raihan.
“Masih sakit?”
“Enggak..” jawab Raihan, ia sudah tidak merasakan sakit
dan pedih dari semua bekas kepalan-kepalan tangan Bambang and the gank di
sekujur tubuhnya.
Yang ia rasakan saat ini hanya degupan jantungnya yang begitu
keras menggedor rongga dada.
Sentuhan Una di lecet-lecetnya yang berdarah membuat seluruh
tubuhnya terasa hangat dan nyaman. Entah apa yang terjadi di dalam diri Raihan.
Yang jelas ia merasa sangat senang Una begitu memperhatikannya!
“Uh, aku baru pertama kali lihat cowok berantem..” cetus
Una, ia mengangkat plastik berisi es dari pelipis Raihan, lalu berganti pada lebam
membiru di ujung bibirnya. Siswa itu mengaduh, tapi nyaris tanpa suara.
“Aku enggak berantem.. aku dipukuli..”
“Sama saja..”
“Enggak Una, berantem itu kalau dua orang saling baku pukul..
aku terlalu pengecut untuk melawan mereka..” sela Raihan dengan nada suara
lemah.
Ia memalingkan wajahnya dan menjauhkan tangan Una
darinya, sekarang ia merasa sangat malu karena telah mengaku terang-terangan
bahwa ia tak mampu melawan. Ia memang terlalu pengecut.
“Kamu takut, karena itu kamu enggak lari?”
“Ya, aku takut. Tapi aku enggak lari bukan karena aku
terlalu takut. Aku enggak tahu kenapa aku enggak kabur.. padahal tadi aku masih
punya kesempatan untuk lari..”
“Bagus!” tiba-tiba Una malah menepuk bahunya sambil
tersenyum bangga. Raihan bengong.
“Kenapa bagus?” tanyanya heran.
“Kamu bertahan karena kamu enggak salah. Sekalipun
kemudian kamu dipukuli itu cuma salah satu hal yang membuktikan bahwa kamu bukan
pengecut..”
“Tapi aku enggak ngelawan lho.. itu namanya aku
pengecut..”
“Kamu nangis enggak tadi?” Raihan terdiam mendengar
pertanyaan Una yang diluar konten pembicaraan. Ia mengingat-ngingat apakah tadi
ia menangis, atau tidak.
Lambat-lambat ia menggeleng, yakin tak yakin. Una
kembali tersenyum,
“Itu tandanya kamu memang bukan pengecut Raihan!!
Selamat ya kamu sudah mulai jadi lelaki sejati!” pungkas Una sambil menempuk
punggung siswa berseragam kusut di sebelahnya. Menatapnya sejurus untuk
menegaskan kesungguhannya.
Raihan pun tersenyum dan mengalihkan pandangannya pada aliran
air yang masih setia menemani mereka berdua di tepian sungai. Hatinya dipenuhi
rasa bangga. Mungkin apa yang Una katakan memang benar. Mungkin Raihan memang
bukan pengecut sekalipun cengeng.
Entahlah, yang jelas tadi Raihan hanya berfikir untuk
mempertahankan dirinya disana karena ia mengingat Una. Ia tak mau mengecewakan
gadis yang tengah duduk di sebelahnya ini.
Tiba-tiba ia teringat kejadian sesaat setelah Una
menyelesaikan prakarya Sascha, ia tiba-tiba saja terlihat sangat sakit dan
sesak nafas. Raihan cemas setengah mati melihat teman barunya seperti itu.
Diliriknya Una, ia masih melemparkan kerikil ke tengah sungai.
Menikmati suara ‘plop’nya yang terdengar lucu. Dia nampak baik-baik saja.
“Una, kamu enggak apa-apa?” tanya Raihan kemudian. Ia masih
menolehkan kepalanya dan menatap Una seksama, namun ia segera mengalihkan
pandangannya saat Una menoleh.
“Apa?”
“Ka-kamu enggak apa-apa?” Raihan tergagap. Untuk alasan
yang tidak jelas. Una menggumamkan sesuatu yang tak jelas sehingga mau tak mau
Raihan harus memiringkan kepalanya agar bisa mendengar apa ucapannya.
“Aku enggak apa-apa! Memangnya kenapa kamu tanya
begitu?” Una balik bertanya sambil mendorong Raihan menjauh. Dia terlalu dekat
memiringkan kepalanya. Raihan pun terkekeh, dan melirik Una, bersiap untuk
menajwab pertanyaannya.
“Kan kemarin kamu kayaknya.. kambuh atau apa gitu..”
“Ah, iya..” ujar Una dengan nada yang tak enak. Suasana
langsung berubah menjadi canggung dengan sangat cepat. Raihan jadi merasa
sangat bersalah telah mengatakan kambuh.
Sekarang Una pasti merasa bahwa Raihan berfikir bahwa
dirinya adalah seorang penyakitan. Padahal sama sekali bukan begitu maksudnya.
Baru saja Raihan membuka mulut untuk mencoba meluruskan kesalah pahaman yang
benar-benar tak disengaja Una sudah mendahuluinya berbicara.
“Iya, aku kemarin agak kambuh.. tapi sekarang aku sudah
baikan, makasih kamu mau peduli Raihan..” ujarnya.
Datar. Nyaris tanpa emosi. Raihan merasa semakin
bersalah. Una mengatakan terima kasih seakan hanya untuk menegaskan
ketersinggungannya.
“Una, kamu marah?” Raihan memberanikan diri untuk
bertanya lagi. Sekalipun kecil kemungkinan Una akan menjawabnya dengan jujur.
Gadis itu menoleh, dan menggeleng. Lalu ia kembali
menatap ke tengah sungai, tapi tidak melemparkan kerikil lagi. Kerikil yang
belum sempat ia lempar masih digenggamnya dengan erat.
“Kamu bohong. Pasti kamu kesal gara-gara tadi aku salah
ngomong..”
“Apa? Geer..” timpal Una judes. Ulu hati Raihan seakan disodok
dengan keras. Tombokan bogem Bambang di perutnya tak sesakit ucapan Una
barusan. Yang ini rasanya lebih awet sakitnya!
Raihan terdiam. Matanya terasa panas, hidungnya
berkedut-kedut menahan tangis. ia menjadi serba salah dan tak tahu bagaimana
untuk memperbaiki keadaan. Padahal tadi ia hanya berniat untuk menunjukkan
perhatian, lagipula ia sama sekali tidak berfikiran bahwa Una adalah seorang
penyakitan!
Raihan mengusap-usap tengkuknya dengan salah tingkah. Ia
menjadi seakan duduk di atas bara api. Panas dan tak nyaman! Ia tak mau Una
marah karena suatu hal yang sepele!
“Raihan, kamu mau antar aku ke pasar malam enggak?”
celetuk Una tiba-tiba. Raihan sampai terlonjak kaget. “Apa?”
“Antar aku ke pasar malam. Kalau kamu mau besok jam tiga
sore aku tunggu disini.” Dan Una berdiri.
Tanpa banyak kata-kata dan tanpa menunggu jawaban Raihan
ia segera pergi. Rambut pendeknya tertiup angin ketika ia melangkah pergi,
memunggungi Raihan yang terbengong-bengong.
“E-eh.. ke pasar malam? maksudnya.. kencan?” gumam
Raihan dengan mulut setengah menganga dan mata yang terbelalak lebar.
Tak lama kemudian ia tertawa. Tawanya pelan, lama
kelamaan semakin keras dan makin keras. Ini pertama kali di dalam hidupnya dan
ia merasa sangat senang!! Una mengajaknya kencan!!
Comments
Post a comment