_3_
Senyum
dan Tangis Una, juga Raihan
***
Sampai matahari terbenam pun Raihan tak kunjung
menemukan pancing bambu milik Una. Padahal ia sudah mencarinya dengan sangat
teliti. Ia bahkan sampai menyibak rerumputan di tepian sungai, siapa yang tahu
jika pancing itu menyangkut. Tapi tetap saja benda itu tak ia temukan.
Mungkin karena Raihan mencarinya sambil menangis ya?
Jadi pandangannya agak-agak buram dan tak fokus.
“Huh, sepertinya nanti aku harus cari lagi nih!” gumam
Raihan sambil melipat tangannya di atas meja, lalu ia meletakkan dagunya di
atas tangan. Pandangannya lurus ke depan kelas dan kembali membayangkan pancing
Una.
Mungkin ia juga lupa bentuk pancing itu, ia tak bisa
membandingkan pancing dengan sebatang bambu biasa soalnya bentuknya sama saja.
Nanti sore ia harus benar-benar memusatkan konsentrasinya pada segala macam
bambu yang ada di pinggiran sungai!
“Heh cengeng!” bentak seseorang yang entah kapan
datangnya tiba-tiba saja sudah berjejer di depan meja Raihan. Bambang dan
Sascha berdiri paling depan. Sascha adalah pacar siswa paling berkuasa di
sekolah, Bambang.
Keduanya pasangan serasi. Jika Bambang yang bertubuh
tinggi besar adalah siswa yang paling macho, galak dan paling tegas membully
siswa lain, maka Sascha yang tinggi dan langsing serta memiliki karir yang
tengah naik di dunia modeling memiliki keahlian yang sama dalam membully siswi
lain yang tak populer.
Raihan mengangkat kepalanya dan menelan ludah. Ketika
semua anggota geng pemimpin sekolah ada disini, pasti akan ada masalah besar
yang akan menimpa Raihan!
“A-ada apa?” tanyanya takut. Apalagi saat melihat Sascha
yang cantik itu tersenyum manis. Senyum manisnya itu tanda bencana!
“Kamu itu anak pinter kan Raihan?” tanya Sascha dengan
suara yang begitu lembut. Pandangannya menancap hingga ke ulu hati Raihan.
Dengan tegas ia menggeleng. Ia tak mau mengaku pintar!
“Ah, kamu itu.. semuanya juga tahu kalau kamu itu pintar
Raihan!!” suara Sascha meninggi. Membuat mata Raihan mulai geli, siap untuk
menangis.
“Miiiiw, jangan dibentak.. lihat tuh si cengeng nangis!”
ujar Bambang sambil memegangi bahu gadis cantik itu, Sascha menoleh dan memasang
wajah manja,
“Habisnya pipiiiw, dianya begitu sih! kan mimiw jadi
bete.. sebel-sebel-sebel!!!” rajuknya sambil memukuli dada Bambang dengan
kepalan tangannya, Raihan bengong. Sudah berkali-kali ia melihat sepasang
kekasih yang paling populer ini bermesraan dengan gaya begitu lebay, tapi tetap
saja ia selalu bengong saat melihat mereka melakukannya lagi. Seperti baru
pertama kali melihatnya saja.
“Heh! Gue enggak mau tahu, pokoknya habis jam pelajaran
terakhir elo harus kerjain tugas seni cewek gue sampai beres! Awas kali
hasilnya jelek!” bentak Bambang sambil menggebrak meja. Jiwa machonya kembali
seketika setelah pandangannya beralih dari Sascha.
“Ta-tapi, aku sudah ada janji..”
“Enggak pakai nolak! Pokoknya elo harus kerjakan
semuanya sampai beres. Bruno, mana bahan prakarya mimiw gue?” salah seorang
anggota geng Bambang maju dengan membawa sebuah kardus kecil bekas sepatu, lalu
meletakkan benda itu di depan Raihan.
“Ta-tapi.. tapi..”
“Semuanya sudah jelas disana, aku sudah tulis prakarya
apa yang ingin aku buat dan semua bahannya sudah siap.. aku minta tolong yaa!
Besok pagi harus beres.. kalau enggaaak..” Sascha menggantung kalimatnya dan membiarkan
Bambang menunjukkan tinjunya yang besar tepat di depan hidung Raihan.
Setelah selesai dengan urusannya mereka semua pun pergi.
Tinggalah Raihan sendiri dengan ujung bibir yang berkedut-kedut, ia merasa hak
asasinya sebagai seorang manusia yang bebas telah direnggut dengan paksa!
Lalu mana haknya untuk menolak? Bagaimana dengan
janjinya sendiri untuk bertemu dengan Una? Ia kan masih harus mencari pancing
Una yang hilang! Kenapa Bambang tak mau mendengarnya barang sedikit? Kenapa ia
harus lemah? Kenapa air mata harus menetes lagi?!!
Raihan menangis dengan wajah yang menunduk. Ia merasa
sangat tak berguna, untuk menolak saja ia tak bisa! Teman-teman yang lain pun
hanya diam saja dan berpura-pura tak melihat apa yang baru saja terjadi. Memang
bukan kekerasan fisik, tapi ini juga sama saja menjadi aksi kekerasan bagi perasaan
Raihan!
***
Hari berlalu dengan sangat cepat. Padahal Raihan ingin
waktunya tak pernah berakhir. Ia tak mau terkurung di sekolah dan mengerjakan
tugas orang lain lalu mengingkari janji yang telah ia buat dengan Una. Itu
pasti akan membuat Una kecewa dan malas bertemu lagi dengannya. Raihan pun
pasti akan menangis tersedu-sedu dan prakarya yang dibuat pun hasilnya tak akan
bagus. Esok paginya bogem Bambang pasti akan menanti.
Mengerikan sekali bayangan itu!
“Kenapa bengong terus sih? memangnya ada apa?” tanya
Wawan yang sedari tadi ikut bertopang dagu untuk alasan yang tak jelas.
“Gara-gara ini..” jawab Raihan sambil mendorong kotak
sepatu berisi bahan prakarya Sascha ke dekat Wawan, siswa itu pun langsung membuka
kotak dan tercengang,
“Ini kan tugas prakarya buat anak cewek? Kenapa ada di
kamu?”
“Itu punya pacarnya Bambang, dia minta aku yang
kerjakan..”
“Lho, kamu kan cowok? Nanti bagaimana jadinya prakarya
cewek dibuat cowok?”
“Ya aku enggak tahu, aku bingung.. aku juga punya janji
dengan Una..” timpal Raihan dengan bibir yang bergetar. Ia ingin sekali
menangis saat ini. tapi jangan, guru Biologi masih mengajar di depan kelas!
“Una? Yang kamu belikan pancing itu kan?”
“I-iyaa..” sekarang suara Raihan serak. Tangisnya sudah
mendesak pelupuk mata dan mencekik kerongkongan.
“Eh, jangan nangis.. nanti pak Wowo marah lho! Kamu mau
dihukum di depan kelas?” bisik Wawan sambil mengerlingkan matanya ke depan.
Guru Biologi paruh baya dengan rambut penuh uban itu masih asyik menerangkan pelajaran,
beliau membelakangi kelas dan menulis di whiteboard dengan spidol biru.
“Iya-iya, aku enggak nangis.. aku enggak nangis..” dan
air mata tetap berebutan meluncur deras dari mata Raihan. Isakannya begitu
jelas terdengar. Seisi kelas langsung menengok ke arahnya. Bagi yang hadir di
tempat kejadian tadi pagi langsung maklum, namun bagi pak Wowo yang tidak tahu
apa-apa tentu saja sangat membingungkan. Tapi beliau tahu sifat Raihan,
“Raihan! Cuci muka sana! Jangan kayak cewek begitu,
galau sedikit nangis!” serunya dari depan kelas. Raihan mengangguk dan bangkit
dari duduknya, saat melewati bangku Bambang ia sudah berhati-hati agar siswa bengal
itu tak menjegal langkahnya tapi tetap saja hal itu terjadi,
“Blugh!” Raihan jatuh tersungkur dengan dagu yang
mencium lantai, sakit sekali itu tentunya!! Bambang tertawa keras namun tak
lama, tak ada yang ikut tertawa melihat Raihan jatuh tersungkur. Siswa yang
lain tahu pasti ia yang melakukannya, tapi tak terlalu lucu untuk ditertawakan.
Apalagi ada pak Wowo yang melihat hal itu terjadi.
“Bambang! Apa-apaan kamu itu?!” bentak beliau sambil
membantu Raihan untuk berdiri. Setelah bangkit Raihan berterima kasih dan
segera berlari keluar kelas. Ia segera mencari toilet dan menyelesaikan tangisnya
di sana hingga jam pelajaran Biologi yang merangkap jam pelajaran terakhir
selesai. Bambang pasti kena hukum, seharusnya ia senang karena pak Wowo telah
menegakkan keadilan bagi kaum tertindas. Tapi ia malah merasa makin sedih dan
takut. Bisa-bisa nanti Bambang malah semakin menjadi padanya!
***
Wawan sudah pulang lebih dulu ternyata. Namun ia
meninggalkan sebuah catatan kecil di atas kotak sepatu,
“Raihan, aku pulang duluan. Bambang ancam aku.. katanya
enggak boleh bantu kamu.. maaf ya? Saranku kerjakan di sungai saja, bersama
Una! Kamu bisa tepati dua janji kamu sekaligus!” eja Raihan membaca catatan
itu. Ia lalu mengangguk dengan mata yang berbinar. Betul juga yang temannya itu
katakan. Bambang tidak melarangnya untuk membawa pulang prakarya Sascha, yang
penting besok sudah selesai. Jadi Raihan bisa bertemu dengan Una sambil
mengerjakan tugas seni ini. Saran yang sangat bagus!
Dengan langkah ringan Raihan segera pulang ke rumah
dengan menaiki angkot. Dus bekas sepatu itu tak lupa ia bawa juga. Sekalipun
belum membaca jensi prakarya apa yang Sascha inginkan, namun itu bukan hal yang
sulit, nanti ia bisa memikirkan hal itu berdua dengan Una.
Ia sampai di rumah pukul setengah tiga. Langsung mandi, makan
roti dan siap-siap untuk pergi ke tepian sungai.
“Raihan, kamu mau kemana sih? kamu baru datang!” ujar
ibu saat Raihan kembali berpamitan untuk pergi.
“Buat tugas bu.. sebelum jam enam juga aku sudah pulang
kok!” sahutnya sambil melambaikan tangan. Ibu hanya menggeleng pelan dengan
bingung.
Kotak sepatu berwarna putih itu dikepit di lengan kanan,
sekarang baru pukul tiga sore dan janji bertemu Una masih satu jam lagi. Tak
apa lah ia menunggu, lagipula dia kan bisa mengerjakan prakarya Sascha di
tepian sungai.
Sepanjang perjalanan yang tak terlalu jauh dari rumahnya
Raihan yakin tak ada Una disana, namun ia salah. Ternyata Una sudah duduk manis
menunggunya di tepian sungai, ia mengenakan pakaian yang rapi. Dress peach
berenda yang cantik dengan sepatu flat berwarna senada yang mengalasi sepasang
kakinya. Ada sebuah keranjang kecil di sebelahnya.
“H-hai! U-Una.. aku fikir kamu belum datang..” sapa
Raihan gugup. Ya, dia benar-benar gugup. Ia tak menyangka bahwa Una akan
terlihat sangat manis dibalut gaun yang berwana cerah. Apalagi saat ia tersenyum
sambil menoleh padanya.
“Iya, aku enggak mau kamu menunggu lagi kayak kemarin..
jadi aku datang lebih awal..”
“Syukur aku datang cepat juga ya? Aku juga enggak mau
kamu menunggu..” timpal Raihan sambil duduk di sebelah Una, wangi manis
merasuki indera penciumannya. Pasti wangi parfum Una,
“Kamu pakai parfum apa? Wanginya manis banget.. enak..”
ujar Raihan setelah beberapa saat mengendus-endus udara. Menikmati wangi yang
beda dari parfum wanita kebanyakan. Ada aroma kayu manis, cokelat dan taburan
gula yang meleleh. Seperti wangi croissant yang baru matang.
“Parfum? Aku enggak pakai parfum.. mungkin maksud kamu
ini ya?” Una mengangkat keranjang rotan di sebelahnya dan membuka kain yang
menutupi bagian atas keranjang, seketika wangi itu semakin pekat.
“Croissant?!” pekik Raihan saat melihat isi keranjang
yang Una bawa. Gadis itu langsung tertawa dan menyodorkan satu padanya.
“Ini baru matang, mami yang buat..” ujarnya, Raihan
menerima kue berbentuk bulan sabit dengan tekstur khas berbalut-balut itu dengan
tangan kanan. Kue itu masih hangat, dan menyebarkan aroma yang sangat wangi.
Ternyata wangi manis itu memang wangi croissant ya?
“Coba deh.. enak lho!” sambung Una, ia sendiri sudah
menggigit salah satu croissant lain lalu menunjukkan isinya pada Raihan,
“Punyaku isinya keju, punya kamu pasti cokelat..”
tebaknya. Raihan belum menjawab. Ia membuka mulutnya dan menggigir croissant di
tangannya.
“Kress..” garing dan renyah, tapi lembut di dalam. Ada
lelehan cokelat yang ikut menambah kaya rasa di dalam mulutnya. Ia mengunyah
gigitan pertamanya dengan cepat dan menggigit lagi croissantnya untuk kedua
kali,
“Iya, isinya cokelat. Enak banget lho!” puji Raihan
jujur. Una tersenyum dan memasukkan sisa croissant isi kejunya ke dalam mulut.
“Mami memang ahli bikin kue.. bikin croissant lama lho..
sampai dua hari..”
“Ah, masa sih?”
“Iya.. ada proses fermentasi adonannya dulu biar
renyah..” papar Una, ia menyodorkan keranjangnya lagi pada Raihan, nampaknya
teman barunya ini masih ingin mencicipi lebih banyak.
“Aku baru tahu lho! Aku sih tahunya makan saja..” Una
tertawa kecil. Matanya melirik dus sepatu yang Raihan bawa,
“Kamu bawa sepatu? Punya siapa? Cewek kamu yaa?”
tebaknya asal. Wajah Raihan memerah dan ia segera menyangkalnya dengan tegas.
Dengan jujur ia katakan bahwa kotak ini berisi bahan tugas prakarya milik pacar
siswa tergalak di sekolahnya.
“Oh, yang suka bully kamu itu? Ternyata pacarnya juga
begitu?” Raihan mengangguk pelan, ia membuka kotak itu dan mengeluarkan secarik
kertas berisi intruksi yang sudah Sascha siapka.
“Mau aku bantu?” Una menawarkan bantuan.
“Aku memang sudah niat mau minta bantuan kamu, makanya
semua ini aku bawa..” jawab Raihan, diserahkannya kertas di tangannya ke
hadapan Una, gadis itu segera mengambilnya dan membaca kertas itu dengan
seksama.
“Hmm, dia mau buat handphone case ya?”
“Mungkin, aku belum baca. Aku galau..”
“Haha, pasti kamu tadi nangis ya di sekolah?” tebak Una
jitu. Ia selalu jitu! Raihan tak menjawab, malu. Kalau Una sampai menanyakan
kenapa ia menangis ia akan lebih malu. Una pasti sudah bisa menebak kalau
Raihan menangis karena dipaksa mengerjakan tugas. Tapi kalau ia tahu alasan
lainnya karena ia takut Una kecewa ia tak datang, rasanya ia akan jatuh pingsan
karena malu!
“Oke deh, aku saja yang buat.. kamu enggak bisa jahit
kan?” Raihan menggeleng pasrah. Una tersenyum dan mengambil alih dus sepatu di
pangkuan Raihan. Ia mengeluarkan semua isinya dan mulai berfikir.
Ada tiga lembar kain flannel, selembar busa tipis, benang
wool dan jarum jahit. Ada lem UHU dan sebuah gunting kecil yang masih sangat
tajam.
“Kamu bisa jahit?” Raihan balik bertanya sambil melihat
tangan Una yang mulai bergerak dengan cekatan menggunting salah satu kain
flannel,
“Aku anak perempuan, aneh kalau ada anak perempuan yang
enggak bisa jahit..’
“Banyak lho yang enggak bisa jahit. Sascha buktinya..”
“Ah, dia sih produk gagal!” celetuk Una sambil tertawa.
Raihan pun ikut tertawa.
Spesifikasi gagal atau tidaknya seseorang itu tergantung
dari sisi mana ia diakui oleh masyarakat. Jika ia bergabung dengan sisi
masyarakat yang glamour, pemuja kemewahan dan dunia yang modern. Maka tubuh
yang indah bak model, wajah rupawan dan tampilan fisik sempurna adalah suatu
hal yang wajib diiliki. Yang tidak seperti itu dicap produk gagal. Manusia yang
tak berguna dan mengganggu, wajib dibully.
Lalu jika orang yang bergabung dengan sisi lain, yang
sederhana dan menganggap keahlian adalah selalu di atas tampilan fisik. Menurut
mereka orang-orang tanpa skill adalah orang-orang yang akan gagal menjalani
hidup. Tapi mereka tak akan menindas orang-orang yang tak memiliki skill, tak
akan membully mereka. Justru tak segan ikut berbagi keahlian, mengajarkan apa
yang diketahui hingga semua orang menguasai skill yang mumpuni untuk menjalani
hidup mandiri. Orang-orang seperti ini jauh lebih manusiawi.
Perhatian Raihan kembali berpusat pada Una, kini gadis
itu sudah selesai menggunting empat lembar bentuk persegi panjang yang
ukurannya lebih besar sedikit dari ponselnya. Dua lembar kain flannel, dan dua
lembar lagi kain busa. Ia menjadikannya dua pasang dan menjahit sisinya menjadi
satu.
Jemari Una bergerak dengan lincah, menusukkan jarum ke
salah satu sisi kain dan menariknya dari sisi lain, membuat sejenis simpul yang
menguatkan tiap jahitannya pada ‘calon’ handphone case itu. Dari keempat sisi,
Una hanya menjahit tiga sisi saja, dibiarkannya sisi pendek yang satu tetap
terbuka. Sisi itu nantinya akan menajdi tempat memasukkan ponsel.
“Kamu belajar jahit dimana Una?” tanya Raihan memecah
keheningan. Una yang tengah serius ternyata tak bicara sama sekali dan itu
membuatnya kesepian.
“Aku belajar dari internet..”
“Bohong, masa bisa sampai rapi begitu?” tanya Raihan tak
percaya. Setahunya tutorial di internet itu tak pernah sampai tuntas, selalu
ada yang seakan disembunyikan pembuat tutorial yang biasanya juga menjual produk
buatannya. Namanya juga rahasia perusahaan, kalau dijelaskan semua, nanti tak
ada yang beli produknya dong?
“Aku kan belajarnya bukan sehari dua hari, aku juga
sering praktek.. aku suka jahit sejak SMP..” jawab Una, ia baru selesai dengan tutup
case, dari flannel yang digunting selebar tiga centi dan panjang sekitar tujuh
centimeter. Ia menjahit sekelilingnya dengan cara yang sama dengan menjahit
pouchnya, lalu salah satu sisinya ditempel pada pouch handphone, dengan jahitan
tangan juga.
“Sudah lama ya?”
“Iya,” jawab Una pendek.
“Eh, Sascha maunya pakai hiasan apa ya?” cetus Una
sambil mengangkat pouch yang sudah jadi, Raihan menggeleng dan melihat kertas
catatan yang ditulis Sascha,
“Dia enggak bilang, mungkin terserah saja.. terserah
kamu saja Una.. kamu kan kreatif..” Una pun kembali berfikir, diangkatnya handphone
case yang telah selesai ia buat, masih polos dan belum ada hiasan apa-apanya.
“Aku kasih hiasan ikan dia mau enggak ya?”
“Ah, mau enggak mau harus mau.. suruh siapa dia enggak
kasih tahu pengen dihias apa..”
“Oke deh.. tapi beneran nih enggak apa-apa?” Raihan pun mengangguk
untuk menegaskan keyakinannya. Una pun segera menggunting bentuk ikan tanpa
pola. Nampaknya Una memang sudah sangat ahli dalam membuat handycraft dari
flannel, semua bentuk ia sudah hapal dengan baik.
Lima menit kemudian pouch handphone itu sudah selesai.
Dengan warna hijau muda dan ikannya yang berwarna hijau tua. Soft case itu
terlihat sangat rapi dan cantik. Una memang benar-benar ahli!
“Nih, sudah selesai..” ujarnya sambil menyerahkan benda
itu ke tangan Raihan. Dengan wajah yang kagum Raihan membolak-balik hasil karya
Una.
“Sascha pasti puas.. terima kasih banyak lho Una.. aku
jadi repotin kamu..”
“Enggak apa-apa kok! aku enggak merasa repot. Aku justru
senang, sudah lama aku enggak jahit-jahit lagi..”
“Kenapa?”
“Mami larang aku..”
“Kenapa?”
“Iih, kenapa-kenapa melulu..” protes Una sambil memberengut.
Raihan malah tertawa.
“Habisnya kan aku enggak tahu.. eh iya, gimana sakitnya?
Sudah mendingan?” Una tak segera menjawab, ia hanya melirik dengan ujung mata
dan mengangkat bahu.
“Ini aku baru pulang dari dokter..” jawabnya. Bibir
Raihan membulat, tadi ia berfikir jika Una baru saja selesai pentas seni di
sekolahnya. Ternyata ia salah.
“Terus kata dokter gimana? Kamu enggak apa-apa kan?”
“Cuma enggak boleh terlalu capek.. obatnya juga enggak
boleh telat..”
“Iya dong, kalau pengen cepat sembuh harus rajin minum
obat..” timpal Raihan. Ia menolehkan kepala dan melihat wajah Una malah murung,
“Una, kenapa kamu malah murung begitu? Aku salah
ngomong?”
“Enggak. Aku cuma..” Una tak menyelesaikan kalimatnya.
Ia semakin murung dan tangan kirinya diletakkan di atas dada.
“.. aku enggak bakalan sembuh Raihan..” desisnya pelan.
Sangat pelan sampai-sampai Raihan harus mendekatkan telinganya untuk mendengar
apa yang dikatakan oleh Una.
“Apa Una? Kamu ngomong apa barusan?”
“Enggak! Enggak! Aku enggak ngomong apa-apa! Beneran aku
enggak.. aduh!!” ringis Una, ia meremas dadanya sendiri. Wajahnya terlihat
sangat kesakitan. Sedetik kemudian Raihan bisa melihat dengan jelas bahwa wajah
Una langsung pucat pasi dan tubuhnya bergetar dengan hebat.
“Una! Una kamu kenapa? Una ngomong sama aku, mana yang
sakit? Mana?” Raihan panik melihat Una yang terlihat begitu tersiksa, ia ingin
membantu gadis itu namun ia tak tahu harus melakukan apa.
Ia hanya bisa memegangi kedua lengan Una dan berusaha
menatap matanya agar gadis itu bisa mengisyaratkan kepada Raihan agar ia bisa
membantunya menghilangkan rasa sakit itu.
Una mulai kesulitan bernafas. Mulutnya menganga dan
dadanya kembang kempis, berusaha mengambil udara sebanyak mungkin untuk membuatnya
terus bernafas.
“Una! Kamu kenapa? Ayo aku anterin kamu pulang! Ayo
Una!!” tanpa menunggu persetujuan lagi Raihan segera menggendong Una, tubuhnya
yang mungil terasa sangat ringan.
Ia sama sekali tak tahu apa yang tengah terjadi pada
Una, tadi ia meremas dada sebelah kirinya dan tak lama ia mulai kesulitan
bernafas. Tak mungkin jika ia merasa sakit di jantungnya dan terkena serangan
asma dalam waktu yang bersamaan! Atau, memang begitu?
“Una! Rumah kamu yang mana? Rumah kamu dimana sih
sebenarnya?” tanya Raihan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
Ia sudah cukup jauh dari pinggiran sungai tempat mereka
biasa bertemu. Terus terang saja ia sudah berlarian tak tentu arah. Ia sama
sekali tak tahu dimana rumah Una. Belum lagi matanya berkabut karena ia tak
kuasa melihat wajah kesakitan Una di pangkuannya.
Tangan Una menunjuk ke suatu arah, ke seberang sungai,
“Rumah kamu di seberang sungai?”
“I-ya..” rintih Una.
Tanpa menunggu lagi Raihan segera berlari menuju jembatan
penyeberangan yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Ia menyeberangi
jembatan yang terbuat dari besi dan beton cor kokoh.
Jembatan yang lebarnya satu setengah meter itu menyatukan
kedua pinggiran sungai yang kurang lebih memiliki lebar hampir enam meter,
panjang aliran sungai itu sendiri sepanjang kota. Benar-benar sepanjang kota
Ciseueur. Siapapun yang melihat peta kota ini sering menyebut Ciseueur seperti sekeping
biskuit yang dibelah, dan tengahnya dialiri susu cokelat. Sungai Ciseueur.
“Terus kemana?” tanya Raihan saat mereka sudah
menyeberangi sungai. Una membuka matanya dan menunjuk ke sebuah gang tepat di
depan jembatan. Gang yang cukup besar dengan jalan yang diaspal.
“Rumah kamu di kompleks itu?” tanya Raihan sambil
melangkahkan kaki menuju arah yang Una tunjukkan. Gadis di pangkuannya tak
menjawab, ia cukup diam untuk menegaskan jawaban bagi pertanyaan Raihan.
Gang yang Una tunjukkan adalah gang sebuah kompleks yang
cukup elit. Semua yang tinggal di dalamnya bekerja di dunia kesehatan. Tak
salah jika kemudian masyarakat sering menyebut kompleks itu sebagai kompleks dokter.
Entah kenapa para pekerja bidang kesehatan itu memilih tinggal di daerah yang
sama.
“Aduuh..” ringis Una, nafasnya sudah tak sesak lagi. Ia
sudah bernafas dengan normal namun tangan kanannya masih diletakkan di atas
dadanya, masih menekan bagian itu dengan wajah yang meringis.
“Ambil belok kiri.. rumahku nomor empat..” ujar Una
lirih. Raihan tak banyak bicara, ia segera mencari rumah yang bernomor empat.
Bagi Raihan yang baru pertama kali masuk ke dalam
kompleks yang satu ini, semua rumah nampak sama. Dua lantai dengan gaya
minimalis. Taman mungil dengan sebuah pohon pinus mini di sudut depan dan
berbenteng pagar besi hitam. Ada mobil bagus di tiap garasi.
“Mana nomor empat?” gumam Raihan sambil terus
mengedarkan pandangannya sejauh yang ia bisa. Setiap rumah memiliki nomor pada bagian
depannya, dekat pilar. Tak ada yang bernomor empat!
“Ah, sa-sakit..”
“Tahan Una!! Tahaaaan.. huu-huu.. nomor empatnya enggak
ketemuu!!” tangis Raihan sudah tak bisa disembunyikan lagi.
Ia menangis tersedu dan semakin kesulitan untuk melihat.
Ia merasa sangat tidak berguna, sudah tahu Una kesakitan dan butuh bantuan,
tapi ia malah menangis sehingga tak bisa melihat rumah gadis ini!
“I-ini rumahku Rai-han..” ujar Una, sangat lirih.
Raihan menghentikan tangisnya sesaat dan mengerjapkan matanya
beberapa kali. Ternyata ia berdiri tepat di depan rumah bernomor empat! Rumah
Una! Beruntung sekali pagarnya tidak dikunci, jadi Raihan bisa segera masuk ke
dalam halaman rumah.
“Permisi!!” teriak Raihan tepat di depan pintu rumah.
Una yang pangkuannya masih meringis-ringis. Raihan masih
sangat khawatir tapi ia sedikit lebih lega, setidaknya Una tak kesulitan
bernafas seperti tadi.
“Permisi!!” teriaknya sekali lagi karena belum ada yang
membukakan pintu, Raihan lalu meninggikan suaranya karena khawatir orang yang
ada di dalam rumah tidak mendengarnya.
Tak lama terdengar suara langkah kaki yang mendekat.
Orang itu mengenakan sandal yang memiliki hak, suara ketukannya terdengar
begitu jelas pada lantai.
“Siapa… Ya ampun Una!!!” jerit wanita yang baru membuka
pintu, tubuhnya mungil semungil Una dan ia langsung menjerit-jerit memanggil
semua orang di dalam rumahnya.
Sepasang dewasa berpakaian sederhana muncul dari dalam
rumah dan salah satu dari mereka mengambil alih tubuh Una. Laki-laki paruh baya
itu nampak masih kuat untuk menggendong Una dan membawanya naik ke lantai dua.
Dari pintu masuk yang terbuka ia bisa melihat mereka
berempat naik ke lantai atas melalui tangga bagus di ujung ruangan. Sepertinya
mereka begitu panik sampai-sampai tak sempat berkata apa-apa kepadanya. Bahkan
untuk mengatakan apa yang harus Raihan lakukan pun tak sempat. Sekarang Raihan
hanya termangu di depan rumah Una.
Mau masuk, ia tak dipersilahkan. Mau pulang, ia
sungguh-sungguh khawatir dengan keadaan Una. Ia takut terjadi sesuatu pada Una
dan ia tak ada disana.
Ya memang mungkin tak akan banyak membantu, Raihan pun
pasti akan menangis. Tapi setidaknya ia berusaha untuk memberikan dukungan
moral.
Raihan pun memilih untuk duduk di teras. Tidak apa ia
harus menunggu cukup lama. Suatu saat wanita yang pasti mami Una itu akan
menyadari bahwa ia masih di bawah dan akan menemuinya untuk mengatakan apa yang
tengah terjadi pada putrinya itu.
“Tik.. tik.. tik..” suara tetesan hujan terdengar
menimpa atap garasi dan membuat Raihan teringat akan sesuatu.
“Prakarya Sascha!!!” pekiknya tertahan. Tanpa ba-bi-bu
lagi ia segera berlari kembali ke sungai. Hujan menderas saat ia setengah jalan
menuju tempatnya dan Una tadi berada.
Keranjang berisi croissant masih ada, juga dus
sepatunya. Kondisinya masih baik, hanya saja pouch handphone itu..
***
Comments
Post a comment