_2_
Lagi
Una..
***
Sepulang sekolah. Tepat pukul dua siang, Raihan ditemani
Wawan dan Sandra berjalan bersama menyusuri trotoar, menuju toko alat pancing
yang paling lengkap di kota mereka. Kota kecil yang jaraknya lebih dari tiga puluh
kilometer dari ibukota provinsi.
Kota ini dibelah oleh sungai yang lumayan lebar, airnya
selalu mengalir jernih dan dengan ragam spesies ikan tawar. Tak heran jika
banyak penggemar pancing mengunjungi kota ini untuk memancing. Kota yang
bernama Ciseueur ini sudah menjadi sebuah kota wisata memancing yang cukup
populer.
“Mau cari disini apa mau ke pasar ikan?” tanya Sandra
saat mereka sudah sampai di depan toko alat pancing. Raihan mendongak dan
membaca banner toko tersebut.
“Jaya Raya Pancing Shop.. kenapa namanya seperti nama armada
bus ya?” ujarnya sambil menolehkan wajahnya pada Wawan, temannya yang keriting
itu hanya nyengir kuda.
“Biar kesannya gagah mungkin..” jawabnya kemudian.
“Hei, mau disini atau di pasar ikan?” tanya Sandra lagi
dengan suara yang lebih keras.
“Aku mau beli pancing Sandra, bukan beli ikan..”
“Iya, pancing lho bukan ikan!” sambung Wawan dengan gaya
menyebalkan. Sandra menggeram, kesal karena tak ada yang mengerti maksudnya menanyakan
hal itu.
Sandra tahu jika harga alat pancing di toko Jaya Raya
ini di atas rata-rata. Ia pernah membeli alat pancing untuk kado kakeknya yang
pecinta mancing di sini.
Toko alat pancing ini adalah toko eksklusif yang khusus menjual
berbagai jenis joran, umpan buatan, pisau lipat dan macam-macam alat memancing
dengan kualitas super. Bisa ditebak bukan harganya?
Sandra sengaja menunggu di luar toko dengan melipat tangannya
di depan dada. Ia membiarkan kedua temannya masuk dan mencari pancing yang
harganya di bawah seratus ribu. Sandra berani bertaruh, tak akan ada. Raihan
dan Wawan pasti akan segera kembali dengan wajah yang kecewa.
Benar saja, tak lama berselang keduanya keluar dengan
wajah yang aneh. Sandra hanya tertawa sinis, kedua tangannya masih dilipat di
depan dada,
“Buset, ada pancing tiga juta! Bisa beli hape lima!!” cetus
Wawan dengan wajah yang masih menatap pintu masuk toko, pada pintu kacanya
terlihat berbekas sidik jari. Bekas tangan Wawan.
“Iya, yang dibawah tiga ratus ribu juga enggak ada..
uangku enggak cukup..”
“Aku bilang juga apa?” celetuk Sandra dengan senyuman kemenangan
terlihat jelas di bibirnya. Wawan mendelikkan mata,
“Apa? Kamu bilang apa? Kamu kan cuma tanya mau belanja
di sini atau di pasar ikan kan?”
“Iya, memang. Kamu belum ngerti juga apa maksudnya?”
“Memangnya apa?”
“Di pasar ikan banyak toko pancing murah ireng!!” bibir
Wawan pun membulat mendengar kalimat pemungkas dari Sandra, ia baru mengerti
maksud pertanyaan Sandra tadi. Habis, Sandra tidak bicara dengan jelas sih!
Raihan pun baru mengerti. Ia pun segera mengalihkan
pandangannya ke jalanan, mencari angkot yang menuju pasar ikan. Sebuah angkot
dengan warna putih dan strip biru datang dari kejauhan.
“Itu angkotnya.. yuk naik!” ajak Raihan sambil
melambaikan tangannya agar angkot itu berhenti. Kendaraan yang terkenal dengan kebiasaan
ngetem sembarangan itu pun berhenti tepat di hadapan mereka bertiga.
“Aku enggak ikut Raihan, aku mau beli pesanan mama..”
Sandra menolak untuk ikut pergi. Ia tengah memegangi handphone, baru saja ia
mendapatkan telepon dari rumah. Raihan yang baru menjejakkan kaki kanannya di
tangga angkot menoleh, lalu mengiyakan kata-kata Sandra.
“Jangan lupa tawar harganya dulu ya! Soalnya banyak yang
harganya enggak kira-kira!” amanat Sandra sebelum angkot yang Raihan naiki
melaju.
“Oke!” jawab Raihan dengan ibu jari yang teracung keluar
jendela angkot.
Untuk sampai ke pasar ikan membutuhkan waktu sekitar lima
menit dengan menggunakan kendaraan roda empat ini, tak terlalu jauh soalnya.
Bau amis mulai menyergap hidung. Bau amis ikan yang sudah
lama di darat. Baunya jauh lebih memualkan daripada amis ikan segar. Maklum
lah, sudah jam setengah tiga, sedangkan ikan-ikan itu diangkat dari sungai,
tambak dan kolam sejak dini hari. Wajar saja jika bau mereka sudah tidak enak.
Sisik dan jeroan ikan yang belum sempat dibersihkan
terlihat berceceran di beberapa jongko yang sudah tutup, beberapa masih ada
yang buka dan menjual sisa ikan yang belum laku dengan setengah harga.
“Ikannya a? cuma delapan ribu sekilo..” salah seorang
pedagang yang mengenakan caping menawarkan ikan yang ia jual pada Raihan. Ikan
gabus dan lele seukuran telapak tangan.
“Enggak bu, saya sedang mencari toko alat pancing..
dimana ya?”
“Toko alat pancing? Itu kan toko alat pancing semua a..”
jawab pedagang itu sambil menunjuk ke belakangnya. Ke barisan toko kecil dengan
cat-cat yang sudah memudar.
“Oh, iya. Terima kasih ya bu?” ujar Raihan sopan, ia
membungkukkan tubuhnya untuk berpamitan. Ibu penjual ikan itu ikut
menganggukkan kepalanya,
“Yakin a enggak beli ikannya sekalian? Enam ribu deh
sekilo. Penghabisan!”
“Lima ribu saja bu..” ujar Wawan sambil melihat-lihat
ikan yang ditawarkan, seakan ia berniat untuk membeli.
“Ya sudah lah, enggak apa-apa. Sudah sore..”
“Tapi enggak jadi deh bu, saya enggak terlalu suka
ikan..” cetus Wawan sambil berlalu. Ibu penjual ikan hanya mengelus dada sambil
menggelengkan kepala.
“Sudah ditawar, enggak beli. Dasar bocah ireng..”
gumamnya kesal.
***
“Jadi mau beli yang mana?” tanya Wawan setelah ia
kembali berjalan beriringan dengan Raihan yang tengah menyusuri toko alat
pancing.
“Beli yang mana apanya? Ini kan tokonya sudah tutup
semua!” jawab Raihan dengan nada kesal. Wawan terkadang suka bertanya hal-hal
yang bodoh. Lihat saja, toko-toko tutup semua apanya yang mau dibeli?
“Oh, iya-iya.. kenapa tokonya sudah tutup ya? Memangnya
enggak mau ada yang beli?”
“Sekarang sudah sore Wan, pembeli sudah jarang.. jadi ya
mereka tutup..”
“Kenapa enggak ditunggu saja agak lama? Sore-sore juga
suka ada yang belanja!” Raihan hanya melirik Wawan dengan ujung mata. Selain
suka bertanya hal-hal yang bodoh, ia juga suka berkata seakan-akan dia itu
adalah orang yang paling tahu akan semuanya.
Dia seringkali bicara tanpa referensi yang cukup.
Seperti saat ini, memangnya kenapa jika pedagang di pasar sudah tutup pukul
dua? Mereka juga punya kehidupan pribadi yang harus diurus bukan?
“Eh, itu ada yang buka tuh!” seru Wawan sambil menunjuk
ke suatu arah. Raihan mengikuti arah yang ditunjuk, benar saja. Ada sebuah toko
yang masih buka, letaknya di ujung dan agak suram. Toko yang kurang laku
sepertinya.
“Kok tokonya suram begini ya? Auranya aneh..” bisik
Wawan saat mereka berdua sudah sampai di depan toko tersebut. Raihan hanya
mengangguk. Ia baru saja akan mengatakan hal itu.
Toko ini tanpa papan nama, Dinding kayunya pun tak
dicat, entah sudah pudar warnanya karena lama tak dicat ulang. Barang yang
dijual pun sudah berdebu. Niat untuk membeli pancing di tempat ini sepertinya
harus diurungkan. Raihan tak mau membelikan pancing baru untuk Una dari tempat
yang auranya misterius dan tak jelas seperti ini.
“Pulang saja yuk? Besok saja pagi-pagi aku kesini
lagi..” ajak Raihan sambil menggamit lengan Wawan untuk pergi dari tempat itu. Terlalu
lama disini membuatnya sedikit takut, jangan sampai ia menangis karena takut
pada hal yang tidak jelas!
Sebelum keduanya pergi sebuah suara membuat langkah
mereka terhenti, suara berat dan pelan. Seperti suara seorang kakek tua yang renta
dan lemah,
“Mau beli pancing jang?”
sontak keduanya menengok dan mendapati seorang kakek bertubuh kekar berdiri di
depan pintu toko. Dengan wajah yang kaget Raihan mengangguk. Begitu pula Wawan,
ia mulai beringsut menyembunyikan tubuhnya di belakang tubuh Raihan.
“Ayo masuk! Banyak pancing bagus yang cocok untuk anak
muda yang atletis dan tampan seperti kamu!” seru kakek itu dengan penuh
semangat.
“Ta-tapi.. pancingnya bukan buat saya kek.. pancingnya
untuk teman saya.. ce-cewek..” ujar Raihan sambil mengambil satu langkah ke
belakang, melihat gelagat agresif dari kakek penjaga toko ini ia mulai merasa khawatir.
Banyak cerita tentang pembunuh berdarah dingin yang
biseksual dan sangat suka pada berondong. Mereka biasanya beroperasi di
saat-saat sepi dan dengan cara yang sejenis ini.
Bukannya suudzon, hanya saja berjaga-jaga tak ada
salahnya bukan? nyawa hanya ada satu lho! Harus dijaga dengan sangat baik!
Kakek berambut putih itu mengerutkan keningnya dan berfikir.
Tak lama ia menjentikkan jarinya seakan teringat sesuatu yang sangat penting. Kakek
itu masuk ke dalam tokonya yang gelap dan keluar lagi dengan membawa sebuah pancing
bagus berwarna pink lembut.
“Ini adalah pancing khusus yang didedikasikan bagi
gadis-gadis penyuka hobi mancing. Dibuat dari plastik kualitas tinggi yang
lentur dan aman bagi kesehatan, gagang dari kayu jati dengan ukiran Jepara asli
dan gulungan stainless yang anti karat. Pancing spesial ini juga dilengkapi
wangi aromatheraphy yang menyegarkan.. sangat cocok untuk teman spesial kamu!”
papar kakek tak dikenal itu panjang lebar. Ia menjelaskan semua sambil menunjuk
satu per satu bagian pada alat pancing itu.
“Ini adalah pancing modern dengan kualitas global yang
paling lengkap!” sambungnya mengakhiri penjelasan.
“Dilengkapi layar sentuh juga ya kek?” celetuk Wawan asal.
Kakek itu tak menimpali celetukan Wawan, ia hanya memicingkan matanya dan
membuat siswa berambut keriting itu bersembunyi lagi di balik punggung Raihan.
“Ja-jadi berapa harganya kek?” tanya Raihan setelah kakek
yang masih memegangi pancing pink itu sudah berhenti berpromosi.
“Harga pancing spesial ini hanya sembilan ratus sembilan
puluh sembilan ribu sembilan ratus rupiah!”
“APA?!!” teriak Raihan dan Wawan bersamaan. Mereka
menelan ludah bersama-sama juga dan saling bertukar pandang.
“Sa-satu juta?”
“Sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan
ratus rupiah saja jang! Murah kok! untuk pancing spesial seperti ini, harga
segitu sudah murah!” timpal kakek itu sambil memain-mainkan alisnya. Raihan
kembali menoleh ke Wawan, teman kecilnya itu hanya menyeringai, miris. Satu
juta rupiah kurang seratus perak untuk pancing saja?
“Uang saya enggak cukup kek.. bisa kurang enggak?
Soalnya saya sudah janji mau ganti pancing teman saya nanti sore..” ujar Raihan
memelas. Ia tak mau mengecewakan Una.
Kakek penjaga toko itu terlihat berfikir sesaat, diangkatnya
pancing yang ia pegang, ditatapnya lalu berfikir lagi.
“Oke deh. Lima ratus ribu!”
“Aduh, masih enggak cukup kek! Kurangi lagi..”
“Baiklah. Delapan puluh ribu! Deal or no deal?”
“Deal!” sahut Wawan sambil menyalami tangan kanan kakek
yang terulur di depan dada Raihan.
“Lho kok deal? Siapa tahu bisa kurang lagi!” bisik Raihan
geram. Wawan hanya nyengir kuda.
“Itu kan sudah murah banget Raihan! Tadinya satu juta
lho!” cetus Wawan percaya diri.
“Sebentar saya bungkus dulu..” kakek itu berpamitan
untuk membungkus pancing dengan kertas tipis berwarna abu-abu. Kertas itu
dililitkan dengan asal dan diikat dengan karet gelang. Bungkus yang terlalu
sederhana untuk pancing yang pernah dibandrol dengan harga satu juta rupiah.
“Terima kasih ya? Lain kali belanja lagi disini!” seru
kakek penjaga toko saat Raihan beranjak pulang setelah transaksi jual beli
selesai. Namun kakek itu lalu berjalan mendekati Raihan.
“Ah ya, jangan lupa. Gunakan kesempatan ini untuk membuat
hidup kamu berubah! Gadis itu bisa membuat kekurangan kamu menjadi kelebihan.. “
“Eh.. apa kek?” tanya Raihan saat kakek itu membisikkan
sesuatu di telinganya.
“Lihat saja kemana takdir membawa kamu ke jalan cinta..”
Raihan melongo total. Apa maksud perkataan itu? Kenapa kakek penjaga toko malah
berbicara seakan-akan ia bisa membaca masa depan seseorang?
“Kek, saya.. eh, mana kakeknya? Kakeknya hilang Wan!
Hilang!” Raihan panik sendiri saat mendapati kakek itu hilang dari belakangnya.
Wawan nampak tenang-tenang saja.
“Wan! Dia hilang! Jangan-jangan dia itu peramal sakti!”
“Hilang apanya sih? tuh dia sudah pergi!” jawab Wawan
sambil menunjuk ke samping toko. Kakek itu nampak berjalan cepat menjauhi toko
sambil memegangi perutnya, mungkin ingin mencari toilet.
Raihan tak habis fikir. Bagaimana bisa kakek itu mengatakan
sesuatu yang mungkin menjadi masa depannya?
“Jang, dia ngomong apa?” tanya salah seorang pedagang
ikan yang tak jauh dari toko alat pancing, Raihan menoleh.
“Ee.. sesuatu tentang masa depan saya pak..” pedagang
itu tertawa kecil sambil mengibaskan tangannya di depan wajah,
“Jangan dipercaya jang! Dia mah suka ngomong aneh.. sama
semua pelanggan juga dia kayak begitu..”
“Maksudnya pak?”
“Ya begitu.. enggak usah terlalu percaya..” pungkas
pedagang ikan berperut buncit itu sambil melengos pergi.
Raihan pun terdiam, ia menatap pancingnya dan memikirkan
kata-kata kakek tadi. Lalu ucapan pedagang ikan yang mengatakan bahwa kakek itu
pembual.
Raihan tersenyum simpul. Apapun yang kakek tukang
pancing itu katakan, sekalipun ia membual, Raihan tetap percaya. Ia merasa apa
yang kakek itu katakan adalah suatu sugesti yang baik baginya.
Ia akan menjadikan kalimat itu sebagai penyemangatnya.
Ia memang merasa Una spesial. Entahlah, kemarin tak banyak yang mereka lakukan,
bicara pun seadanya. Tapi gadis itu seakan berbeda! Ia pasti bisa membuat
Raihan menemukan fungsinya sebagai produk gagal! Ya!
***
Sudah pukul empat lebih sedikit. Entah lebih lima menit,
entah lebih lima belas menit. Yang jelas Raihan sudah cukup lama menunggu Una
di tempat yang sama dimana mereka bertemu kemarin sore. Di pinggiran sungai
yang berumput ini.
“Kenapa dia belum datang ya? Katanya kalau cerah dia mau
datang.. tapi kok belum datang juga?” gerutu Raihan sambil terus menatap ke
arah pulangnya Una tempo hari. Arah ke sekolah Raihan.
Karena yang dinanti tak kunjung muncul batang hidungnya
ia pun lebih memilih untuk tiduran di atas rumput. Ia menatap langit yang
berwarna biru cerah, ada beberapa awan yang ikut bergabung menghiasi atap bumi
yang begitu luas itu. Raihan mengela nafas dan teringat kejadian sebelum ia
pulang sekolah, saat Bambang dan empat orang temannya memaksa Raihan
mengerjakan tugas.
Ia menangis tersedu-sedu dan kepalanya pun sakit karena
berfikir keras di bawah paksaan. Seandainya Una tahu bagaimana cengengnya Raihan,
ia pasti akan sangat ilfeel kepadanya.
Tapi ia berterima kasih pada geng Bambang, karena
dibully Raihan menjadi galau dan memilih untuk jalan kaki untuk pulang ke
rumah. Karena bergalau ria itulah ia bisa bertemu dengan Una.
“Hai, sudah datang dari tadi ya?” sapa Una. Ia sudah
datang dan langsung ikut berbaring bersama Raihan. Melihat gadis itu sudah
datang Raihan malah bangkit duduk dan menatap Una dengan wajah yang aneh,
antara senang, gugup dan malu.
“E-eh.. Una.. kamu baru datang?” tanya Raihan di
sela-sela kegugupannya. Una mengangguk, sambil memejamkan mata. Ia masih
berbaring di atas rumput. Wajahnya terlihat agak pucat.
“Kamu enggak apa-apa? Kamu pucat lho!” cetus Raihan, ia
ingin menyentuh dahi, atau pipi Una untuk memeriksa suhu tubuhnya. Namun ia
sungkan,
“Enggak, aku enggak apa-apa kok..” jawab Una tanpa
membuka mata. Ia terlihat sangat lelah, entah karena apa.
“Yakin?”
“Iya deh, aku agak pusing.. tapi sedikit..” akhirnya Una
mengaku juga. Ia membuka sebelah matanya dan melirik Raihan.
“Sudah minum obat?” ia mengangguk.
Keduanya tak bicara lagi, Una tetap memejamkan mata
dengan kepala yang masih berbantal rerumputan pinggiran sungai dan Raihan yang
duduk di sebelahnya dengan tangan yang gemetar, ia gemetar karena gugup. Ia
akan memberikan pancing baru tapi tak tahu bagaimana cara untuk memulainya.
“Eh, Una..” panggilnya kemudian, Una menyahut dengan
gumaman.
“Ini.. aku sudah belikan pancing yang baru, maaf soal
pancing kamu yang kemarin..” akhirnya Raihan pun bisa mengatakan hal terpenting
yang ingin ia katakan sejak tadi. Una bangun dan mengambil pancing yang
disodorkan kepadanya.
“Wow, terima kasih. Padahal aku kan sudah bilang, enggak
usah diganti.. cuma pancing kok!” tutur Una sambil membuka kertas tipis yang
membalut pancing.
“Pancing pink? Manis banget!” serunya sambil tertawa, ia
ceria tapi matanya tetap murung.
“Kamu enggak suka?” tanya Raihan segera. Sekalipun ia
mengatakan bahwa pancing itu manis, juga tersenyum ceria. Tapi sorot matanya
tak bisa menipu. Raihan benar-benar bisa melihat kemurungan di wajah Una,
padahal orang lain tak akan ada yang bisa melihat hal itu. Sudah dikatakan
sebelumnya bukan? Raihan itu sangat sensitif!
“Aku suka, banget.. makasih sekali lagi.. kalau pakai
ini aku pasti dapat ikan yang besar-besar. Bahkan ikan Belida!” canda Una.
“Kan enggak ada ikan Belida di sini.. nyindir aku ya?”
timpal Raihan yang tersenyum simpul. Ia meletakkan
lengannya pada kedua lutut dan jemarinya saling bertaut, ia memandang arus
sungai yang tenang sambil membayangkan apa yang sebenarnya ada di dalam benak
Una.
“Eh, tahu enggak? Kata penjualnya sih ada pancing itu
ada aromatheraphynya juga..” Una tidak menjawab, ia mendekatkan gagang pancing
pada hidungnya dan mengendus beberapa kali, beberapa kerutan muncul di dahinya,
“Enggak ada wanginya kok!”
“Masa sih? tadi penjualnya bilang gitu.. terus gagangnya
dari kayu jati dengan ukiran Jepara..” Una malah tertawa, ia melihat pegangan
pancingnya dan mengamatinya sesaat. Kayu sepanjang lima belas centimeter itu
divernis hingga mengkilat, tak ada ukiran rumit Jepara di kayu itu. Hanya ada
dua keratan melingkar di tiap-tiap ujung kayu.
“Ukiran Jepara?” tanya Una sambil menunjukkan keratan
itu. Raihan pun tertawa kecil.
“Ternyata memang bohong ya? Kata tukang ikan sih
pedagangnya tukang bohong..”
“Tapi pancingnya bagus kok! aku suka..” ujar Una tulus.
Ia tersenyum dan mengelus gagang pancing barunya. Raihan ikut tersenyum lalu
kembali tercipta keheningan di antara mereka berdua.
Hanya semilir angin sore, desiran arus sungai yang
tenang dan bunyi kecipak air yang diciptakan ikan sungai saat mereka muncul ke
permukaan yang mengisi indera pendengaran Raihan dan Una. Hingga akhirnya ada
ringtone piano klasik yang muncul.
“Ringtone siapa itu?” tanya Raihan dengan kepala yang
celingukan.
Ia tak merasa memasang ringtone seperti itu. Tapi ia tak
yakin jika suara ringtone itu berasal dari Una. Bukannya menyepelekan, hanya
saja gadis itu.. ya tahu kan? Dia berpakaian lusuh.
Tangan Una bergerak, merogoh sesuatu dari saku celana
lusuhnya dan mengeluarkan sebuah benda persegi panjang pipih dengan layar yang berkedip-kedip.
Dari sanalah bunyi itu berasal!
Gadis bertubuh kecil itu menekan layar yang berkedip
dengan lembut lalu meletakkan benda itu di telinganya.
“Halo Mi? aku enggak apa-apa.. iya iya.. nanti jam lima
aku pulang! Enggak mau, jam lima saja ya? Aku janji aku enggak apa-apa.. ada
temen kok disini..” Una berhenti bicara, lalu menoleh kepada Raihan.
Disodorkannya smartphone yang ia pegang padanya,
“Apa?”
“Mamiku ingin bicara sama kamu..”
“Hah?!” Una terus menyorongkan benda itu pada Raihan,
“Ayo, nanti mami aku malah marah..” desak Una. Wajahnya
memohon dengan sangat. Sekalipun berat hati dan tak tahu harus berbicara apa
dengan maminya Una, Raihan pun memberanikan diri untuk bicara,
“Ha-halo tante?”
“Halo! Temannya
Una ya? Tante titip Una sebentar ya? Jangan sampai dia kecapekan, apalagi
sampai pingsan! Kalau kamu enggak sibuk.. tolong anterin dia pulang ya? Tante
suka khawatir kalau dia pulang sendirian!” Raihan sampai menganga mendengar
kalimat-kalimat yang diucapkan wanita di seberang telpon. Nafasnya sangat
panjang sampai-sampai ia bisa berbicara sepanjang itu tanpa menghela nafas.
“Hallo? Hallo?
Kamu masih disitu kan?”
“Eh. Eh iya tante.. saya masih disini..” Raihan melirik
Una, ia malah mengangkat alis dengan bibir yang digigit. Wajahnya imut sekali.
“Bisa kan tante
titip Una? Jam lima ajak dia pulang ya? Paksa saja paksa!”
“I-iya tante.. pasti..”
“Ngomong-ngomong
nama kamu siapa?” akhirnya wanita itu menanyakan hal yang seharusnya ditanyakan
sejak tadi,
“Raihan tante,”
“Eh, kamu cowok?
Tante fikir cewek lho! Suaranya lembut sekali!” Wajah Raihan langsung aneh,
ia disangka anak perempuan? Kejam sekali!
Una yang masih duduk di sampingnya menahan tawa. Wajah
Raihan menjadi merah karena malu. Apakah dia begitu lembut hingga mendekati
kata feminim? Padahal Raihan lelaki normal kok! memang sih suaranya belum
se-ngebass teman lelakinya yang lain sekalipun ia sudah duduk di kelas XII.
Karena itulah mungkin mami Una menyangkanya sebagai anak perempuan.
“Oke deh Raihan,
tante titip Una ya? Sekarang handphonenya kasih Una lagi..”
“Iya tante, nih..” smartphone dengan logo khas apel yang
digigit itu kembali berpindah tangan,
“Iya mi, iya. Dadah.. “ dan Una mengakhiri pembicaraan
via telpon dengan memasukkan gadgetnya ke dalam saku. Siapa yang menyangka saku
celana yang dengan warna yang tak jelas itu mengantongi sebuah benda yang
harganya di atas lima juta?
Itulah kebenaran pepatah ‘Don’t judge a book by its cover’. Tampilan fisik tak selalu
mencerminkan tampilan di dalam diri seseorang. Atau keadaan ekonominya.
Tiba-tiba Raihan teringat gadis berseragam pink di bus
yang ia lihat tadi pagi. Jangan-jangan gadis itu memang Una.
“Una, kamu sekolah di SMA khusus putri?” tanyanya
segera. Una menoleh, lalu menganggukkan kepalanya dua kali.
“Tadi duduk di dekat jendela bus kan?” Una mengangguk
lagi.
“Iya, kok kamu tahu? Aku memang selalu duduk di dekat
jendela.. aku suka lihat banyak mobil, motor dan orang-orang sepanjang jalan ke
sekolah..” tuturnya.
“Iya, tadi aku lihat di lampu merah..”
“Kamu sedang apa di lampu merah?” tanya Una agak kaget.
Sepertinya ia mengira Raihan sedang mengamen atau menjadi pedagang asongan.
“Aku naik angkot.. di perjalanan ke sekolah..”
“Oh, aku fikir kamu nongkrong di lampu merah..” Raihan
malah tertawa mendengar kata-kata Una,
“Aku ini murid teladan.. untuk apa aku nongkrong di
lampu merah?”
“Saking teladannya sampai harus mau mengerjakan tugas
teman yang lain dan pulang berjalan kaki ke rumah. Iya kan?”
“Yaa, enggak setiap hari sih..” elak Raihan. Mencoba
menyelamatkan harga diri di hadapan teman barunya.
“Tenang, bukan cuma kamu kok yang begitu.. aku juga
sering seperti itu..” cetus Una dengan suara yang pelan, ia tersenyum lirih.
Diraihnya pancing baru pemberian Raihan yang tadi ia letakkan di sebelah kanan,
lalu diputar-putar perlahan.
“Masa sih?” tanya Raihan penasaran, dihadapkannya tubuh
menghadap Una, ia ingin mendengar ceritanya lebih jelas.
“Ya begitu.. mereka yang lebih berkuasa sering menindas
siswi yang lebih lemah.. “
“Tapi kamu enggak terlihat lemah kok! kamu malah
terlihat sangat tegar..” cetus Raihan, membuat Una tersenyum lirih.
“Karena aku berusaha terlihat tegar.. aku enggak mau
mami khawatir..” Raihan terdiam. Una memang tegar. Bukan berpura-pura agar
terlihat tegar. Dia ditindas di sekolah namun ia tak mau mengatakan apapun
untuk membuat orang tuanya khawatir.
“Sayang aku enggak bawa umpan.. kalau aku bawa umpan aku
mau mancing sekarang, pakai pancing baru..” celetuk Una, mengalihkan
pembicaraan. Ia tertawa ceria dan wajahnya terlihat lebih baik.
Ia bisa menipu orang lain dengan tawanya, tapi tidak
Raihan. Lelaki lembut itu masih bisa melihat sorot buram dari kedua mata Una.
“Una, kalau kamu butuh teman bicara.. Bicara saja padaku.
Aku mau dengar kok! aku juga bisa jaga rahasia..” Una terdiam. Tawanya hilang
dan ia menundukkan kepala mendengar kalimat yang baru saja Raihan katakan.
“Aku enggak ngerti.. kenapa kamu bisa baca fikiran aku?”
desisnya pelan.
“Aku enggak bisa baca fikiran kamu, aku hanya lihat mata
kamu.. semuanya jelas disitu..” timpal Raihan, juga dengan suara yang tak kalah
pelan.
Una tak berkata apa-apa lagi. Ia malah membaringkan
tubuhnya dan menatap langit sore dengan mata yang terbuka lebar.
“Kamu tahu enggak? Kamu itu teman pertama yang mau
ngomong sama aku tanpa bully aku..” Una berkata dengan suara yang masih pelan.
Bahkan lebih pelan dari sebelumnya.
“Kita sama dong!”
“Kamu juga enggak punya teman di sekolah?” tanya Una
sambil duduk dan memandang Raihan dengan mata yang berbinar. Iya! Matanya
berbinar!
Sebuah senyum terkembang di bibir Raihan, ia merasa ada
bias bahagia di dalam dadanya saat melihat binar di mata Una.
“Emm, ada sih dua.. tapi mereka berdua sama-sama produk
gagal seperti aku..”
“Aih, mana boleh menghina diri sendiri? kita itu
harusnya menghargai diri sendiri lho!” ujar Una,
“Tapi kami bertiga itu memang aneh-aneh. Enggak sempurna
seperti yang lain. Jadinya ya begitu.. kami dibully dan diperlakukan
semena-mena..” Raihan mendengar Una menghela nafas berat. Ia kembali memandang
pancing barunya, lalu menoleh,
“Kenapa yang berbeda harus ditindas?” tanya Una.
“Karena beda..”
“Siapa yang buat kita beda?”
“Tuhan, “
“Tapi semua manusia itu memang diciptakan berbeda kan?”
Raihan mengangguk pelan untuk mengiyakan pertanyaan Una,
“Terus kenapa harus jadi masalah? Tuhan lho yang buat
kita semua beda!”
“Karena standar yang dibuat manusia.. dicari kesamaan
diantara perbedaan, dan yang tetap berbeda mau tak mau harus mau ditindas..”
“Hey! Harusnya enggak begitu!!” seru Una sengit. Ia
bahkan sampai mengepalkan tinjunya dengan wajah yang sangat geram. Raihan malah
tertawa kecil, ia cukup senang melihat ekspresi wajah Una. Ini ekspresi wajah
yang tanpa kepura-puraan dari Una.
“Kenapa kamu malah ketawa? Kita ini termasuk bangsa yang
ditindas lho!” Raihan malah tertawa lagi dan membuat Una semakin mengerutkan
keningnya.
“Apanya yang lucu sih?”
“Enggak ada yang lucu. Aku hanya senang kamu sudah tunjukin
perasaan kamu dengan jujur..” jawab Raihan kemudian, membuat Una jadi terdiam dengan
wajah yang bingung,
“Kamu senang karena aku marah?”
“Iya, kamu enggak pura-pura marah dan itu sangat jujur.
Aku suka..” sekarang pipi Una bersemu merah. Ia segera menundukkan wajah,
menatap rumput-rumput yang menggelitiki kakinya.
“Aku kok merasa tersanjung ya?” gumamnya kemudian.
Raihan mendekatkan telinganya, ingin Una mengatakan lagi apa yang baru saja ia
gumamkan. Tapi Una malah menggeleng,
“Enggak, lupain saja.. eh iya.. aku mau dong ketemu sama
teman kamu itu, yang sama-sama produk gagal..”
“Sandra sama Wawan? Oke deh.. lain kali aku ajak mereka
kesini, kita ngobrol bareng, pasti seru!”
“Aku tunggu. Aku belum pernah merasa sesemangat ini
lho!”
“Masa sih? aku juga.. ketemu sama kamu sudah buat warna
baru di hari-hari aku..” Raihan yakin sekali bahwa ia melihat rona merah di
wajah Una, namun gadis itu segera memalingkan mukanya.
“Baru juga dua hari, lagipula ketemunya juga sebentar..”
“Tapi ya memang begitu Una, aku serius lho!” tegas
Raihan. Ia memungut sebuah kerikil, lalu melemparkannya ke tengah sungai. Bunyi
cipratannya terdengar sangat indah.
“Ah ya, ngomong-ngomong kamu sakit kenapa?”
“Apa?”
“Kamu sakit apa? Tadi kata mami kamu kan..”
“Iya, sakit sedikit.. tapi sekarang agak lumayan.. mami
saja terlalu khawatir..” jawab Una, nada suaranya melemah lagi. Ia seakan tak
mau memperpanjang pembahasan masalah sakitnya ini.
Raihan mengedikkan bahu dan segera mencari topik pembicaraan
lain. Yang bisa membuat ia dan Una berbincang dengan seru lagi seperti saat
membicarakan perbedaan dan bullying. Siapa tahu ia bisa melihat binar semangat
lagi di mata Una.
“Una, aku mau tanya sesuatu boleh?”
“Lho, memangnya sejak kapan aku larang kamu tanya-tanya?
Dari tadi aku jawab semua pertanyaan kamu lho!” jawab Una sambil tertawa kecil.
Raihan nyengir.
“Itu, pancing kamu yang kemarin.. kamu sayang banget ya
sama pancingan itu?” tanyanya dengan mata yang melirik Una, mengintip ekspresi wajahnya.
Desahan nafas Una terdengar berat. Sepertinya Raihan sudah memilih tema
pembicaraan yang salah lagi!
Untuk beberapa saat Una tak bicara apa-apa. Ia hanya
diam dan terus menerus menghela nafas. Sesekali tangannya mengepal, mencabuti
rumput dekat kakinya dan dilemparkan ke tengah sungai.
“Kalau aku salah bicara.. atau kamu enggak mau jawab,
enggak usah dijawab. Anggap saja aku enggak bicara apa-apa!”
“Enggak kok, enggak gitu.. aku cuma bingung harus mulai
darimana..” sela Una cepat, sebelum Raihan kembali mengatakan hal-hal lain yang
menyalahkan dirinya sendiri.
“Emm, mulai dari siapa yang buat pancing itu saja..”
usul Raihan dengan hati yang lega. Ia bersyukur Una tak marah.
“Yang buat pancing itu Januar.. waktu itu aku juga buat
sendiri, tapi punyaku jelek dan Januar berikan pancing buatannya untukku..”
“Dia juga ya yang ajarin kamu mancing?” tebak Raihan,
Una menaikkan sepasang alisnya tinggi-tinggi,
“Iya, dia hebat banget mancingnya.. dia juga lucu dan
penuh semangat! ”
“Terus sekarang dia dimana?”
“Dia, meninggal..” desis Una dan membuat Raihan
tercekat.
“Me-meninggal.. pa-pantas saja pancing itu benar-benar
berharga untuk Una..” batin Raihan dengan kedua kelopak matanya yang mulai
memanas. Mendengar kata kematian selalu membuatnya ingin menangis. Jangan
sampai ia menangis sekarang, setidaknya di depan Una!
“U-Una.. aku minta maaf! Aku sama sekali enggak
bermaksud buat..”
“Iya enggak apa-apa kok.. lagipula kan sekarang aku
sudah punya pancing baru dari kamu..” Raihan menggeleng-gelengkan kepala tegas
sambil menggigit bibir menahan tangis.
“Aku janji aku akan temukan pancing kamu itu! Sekarang
aku mau antar kamu pulang ke rumah, kamu istirahat saja di rumah dan aku akan
segera cari pancing itu sampai ketemu!” tegas Raihan sambil mengepalkan kedua
tangannya di depan dada. Una nampak tak enak,
“Enggak usah Raihan, sungguh! Lagipula kan aku sudah
dapat pancing pengganti..”
“Enggak bisa gitu, enggak bisa! Aku akan terus merasa
berdosa seumur hidup kalau aku tak bisa temukan pancing peninggalan Januar! Aku
janji sama kamu Una! Aku janji!!!” dan air mata pun mengalir deras di kedua mata
Raihan. Ia tak bisa menahan emosi di dalam dadanya dan membuat tanggul air mata
jebol.
Una nampak kaget melihat seorang anak laki-laki yang
menangis di depan matanya, tapi ia segera menguasai perasaan dan tersenyum.
“Sudah deh Raihan, aku sungguh-sungguh! Pancing itu
enggak bakalan ketemu.. lebih baik sekarang kamu pulang, sepertinya kamu agak..
ehm, kurang bagus moodnya..”
“Aku mau antar kamu pulang dulu..”
“Enggak usah.. aku bisa sendiri. Aku kan enggak
apa-apa.”
“Tapi aku sudah janji sama mami kamu,” paksa Raihan,
dengan air mata yang masih meleleh di kedua belah pipinya. Una menggeleng pelan
dan bangkit berdiri. Ia menggenggam pancing baru di tangan kanan dan
menepuk-nepuk pantatnya yang kotor dengan tangan yang satunya.
“Aku pulang ya? Besok kita ketemu lagi disini.. jam
empat lagi..”
“Tapi aku sudah janji mau..” Raihan tak meneruskan
kata-katanya, Una sudah beranjak pergi dan meninggalkan teman barunya sendirian.
Sepeninggal Una, tangis Raihan tak segera berhenti. Tangisnya
malah semakin kencang.
Bukan hanya merasa sangat menyesal karena telah
menghilangkan kenangan berharga milik Una, namun ia juga sudah mempermalukan dirinya
sendiri di hadapan Una! Image baik sebagai lelaki sejati telah hancur seketika
dengan melelehnya air mata. Semoga saja Una mau mengerti kelemahannya yang satu
ini!
***
Comments
Post a comment