- Get link
- Other Apps
Novel Pemuja Rahasia ini naskah yang aku buat selama kurang lebih tiga minggu, mood lagi bagus-bagusnya dan waktu itu aku lagi suka banget sama Taylor Lautner. Karena itu ada salah satu tokoh yang namanya Jacob :3 satunya lagi punya nama Edward karena dia memang ceritanya blasteran gitu dehhh...
Wiii, musim-musimnya Jacob Black kan udah lama banget, berarti ini novel ketinggalan zaman dooong? ya enggak lah! novel yang keluar antara tahun 2013 dan 2014 ini tetep asyik dibaca kapanpun juga. Soalnya kisahnya menembus batas ruang dan waktu...jiaah! enggak percaya? nih baca sedikit penggalan ceritanya yaa..
Kenapa aku milih buat ngajakin ngintip isi novelku yang satu ini? karena ada banyak teman-teman yang sudah baca novel ini nginbox aku dan cerita kalau kisah novel Pemuja Rahasia ini menghibur dan asyik buat dibaca berkali-kali. Hihi, aku jadi GR tingkat kotamadya Banjar deh jadinya! Jadi ceritanya sekarang aku sedikit lebih PD untuk bagi-bagi baca novel ke 9-ku ini. Semoga suka yaa....dan penasaran juga. :p
***
Sesampainya di sekolah aku tak segera masuk ke dalam
lingkungan sekolah. Namun lebih dulu mengamati keadaan di sekitar gerbang. Aku takut jika ada Bejo yang menungguku dengan spanduk
selamat datang seperti hari Sabtu yang lalu.
Hii, mengerikan sekali!
Kutengok ke kanan dan ke kiri. Tak ada sosok keriting
berkulit hitam yang biasa mengikutiku kemanapun aku pergi. Hanya siswa-siswa
dari kelas lain, sebagian ada yang mengenalku dan sebagian lagi tak kukenal.
Sepertinya Bejo belum datang ke sekolah, atau mungkin dia sudah datang ke sekolah
dan tengah menyiapkan sebuah kejutan selamat datang yang tak perlu untukku di
dalam sana!
Aduh, kenapa aku jadi berigidik begini ya? Bulu kudukku
sampai meremang!
“Kamu Kamila kan? Dari kelas XI ipa 2?” tanya seseorang
yang mengenakan emblem khusus untuk anggota OSIS. Aku menganggukkan kepalaku
dan sangat bingung. Apalagi kedua siswa yang sama-sama mengenakan emblem OSIS
khusus itu malah menyalamiku dengan menahan tawa.
“Selamat ya!!”
“Eh, selamat untuk apa?” tanyaku heran. Mereka tidak
menjawab, mereka berdua segera berlalu dari hadapanku dengan menutup mulut
masing-masing. Mencoba menahan tawa yang siap meledak.
Kuayunkan langkahku memasuki gerbang sekolah, beberapa
siswa yang kebetulan tengah nongkrong di pos satpam sambil mengobrol asyik
dengan pak satpam pun menatapku dengan penasaran. Ketika kutengok mereka
langsung mengalihkan pandangannya. Berpura-pura asyik dengan hal lain.
Aku pun tidak ambil pusing. Segera kupercepat langkahku
agar aku bisa segera sampai ke dalam kelas. Aku tak kuat menahan beban yang memberati
punggungku
Iya, beban tatapan dari semua siswa dan siswi yang
kulewati. Mereka terus mengamatiku dengan aneh dari atas ke bawah, lalu kembali
lagi dari bawah ke atas. Sempat aku fikir jika aku mengenakan pakaian yang
salah, atau mungkin kemejaku terbaik. Atau sepatuku berbeda. Tapi tidak begitu
juga. Yang ada beberapa malah memberikan ucapan selamat lagi kepadaku.
“Selamat untuk apa sih? memangnya aku kenapa?” tanyaku
bingung dan penasaran saat salah satu temanku yang pernah sekelas di kelas X
menyalamiku.
“Ah kamu, kayak enggak ngerti saja.. by the way.. semoga
langgeng ya!!” jawabnya dengan senyum dikulum. Aku bengong.
“Eh, langgeng apanya? Langgeng sama siapa?” aku makin
bingung. Temanku itu menepuk bahuku dan menunjuk ke suatu arah. Ke koridor yang
menuju lapangan basket.
“Kenapa? Ada apa disana?”
“Lihat saja sendiri.. so sweet banget deh!!” temanku itu
malah menggantungkan jawabannya. Membuatku makin makin makin dan maaakiiin
penasaran. Ketika aku melangkah ke arah yang ditunjukkan, semua siswa yang ada
disepanjang koridor itu tersenyum-senyum.
Ada yang tersenyum tulus, ada juga yang tersenyum dengan
sangat sinis. Sekana-akan apa yang ada di depan sana adalah aibku yang paling
besar. Yang paling menarik adalah ada yang senyumnya sangat tersiksa, seperti
menahan suatu rasa yang tak bisa ditunda-tunda lagi. Ia meringis dan akhirnya
melesat menuju toilet. Dugaanku tepat, dia memang kebelet.
Akhirnya aku sampai di ujung koridor. Dua lapangan
basket yang berda,pingan dan dibatasi dengan menggunakan anyaman kawat yang
setinggi hampir lima meter. Bukan itu yang mencolok mata, bukan itu pula yang
membuat jantungku seakan melompat keluar. Melainkan sebuah spanduk ukuran
raksasa yang memuat gambarku dan insert pict gambar Bejo!!!
“Ya ampun! Apa-apaan ini!!!” pekikku panik, sekaligus
malu. Apalagi anak klub basket yang super kece tengah memperhatikan poster
raksasaku sambil tertawa-tawa.
Ketika mendengar aku menjerit mereka langsung menoleh
kepadaku dan terdiam. Mereka memandangku dengan tatapan yang aneh, ada juga
yang menertawakanku lagi diam-diam.
“Kamila (XI Ipa 2) telah mencuri hatiku. Doakan kami
langgeng ya!! Bejo love Kamila Forever.” Kutelan ludah setelah membaca tulisan
berwarna mencolok di bagian bawah poster itu.
Norak sekali!!
Tanpa banyak bicara lagi aku mencabut poster itu dari
tempatnya bertakhta di atas sana. Sekali tarikan pun langsung lepas dan menimpa
tubuhku yang berdiri tepat di bawahnya.
“Eh, kenapa dicabut Kamila? Kan bagus itu!”
“Serasi lho serasi!!”
“Iya!! Pasang lagi deh!!” goda, eh bukan! ejek anak-anak
klub basket padaku. Aku tidak menggubris mereka, dengan kesal dan malu, yang
berujung pada menahan tangis aku melipat poster yang terbuat dari sejenis
plastik khusus spanduk kampanye itu sembarangan, yang penting menjadi lebih
kecil dan mudah kubuang ke tempat sampah.
Tapi posternya terlalu besar dan aku sudah tak bisa
berkonsentrasi lagi dengan ejekan dan cibiran semuanya yang ada di lapangan
basket ini. Satu per satu air mataku menetes melengkapi rasa Maluku pagi ini.
Sepasang tangan yang putih dan panjang terjulur lalu
membantuku melipat poster super besar itu tanpa kuminta. Kurang dari dua menit
poster yang memuat fotoku dengan si keriting Bejo itu akhirnya terlipat dengan
rapi.
Dengan mata yang masih mencucurkan air mata aku mendongak untuk melihat wajah orang yang telah
menolongku. Yang pertama kulihat adalah name tag dengan tulisan “Edward Smith”.
Sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Tapi dimana?
Barulah setelah melihat wajahnya secara langsung aku
mengingat dimana aku pernah melihat dan mendengar namanya.
Dia satu-satunya siswa indo yang bersekolah di SMA
Pusaka. SMA-ku tercinta. Seperti namanya yang mirip dengan nama Edward Cullen, ia
pun memiliki kulit yang pucat, dengan rahang persegi dan hidung yang tinggi.
Matanya coklat dan ia sekitar dua puluh centi lebih tinggi dari tubuhku yang
hanya 165 centimeter.
“Ma-makasih..” ujarku terbata. Edward tersenyum, lalu
menepuk lipatan poster di pelukannya,
“Mau dibawa kemana?”
“Eh, ma-mau dibuang saja..”
“Yah, masa dibuang sih? bagus lho posternya!” aku
menggeleng keras, sambil menyeka air mataku.
“Enggak! Aku malu, aku mau buang saja. Lagian, kenapa
bikin poster yang isinya enggak bener!” curhatku. Edward tertawa dan menoleh
kepada anak-anak klub basket yang terdiam melihatnya membantuku membereskan poster.
“Lain kali, jangan bersikap enggak sopan kayak tadi ya.
Enggak pantes ada cowok cuma ngetawain cewek yang lagi susah. Jangan jadi pecundang.”
Ujarnya tenang, tapi tegas.
Aku mengangkat wajahku dengan suntikan rasa percaya diri
yang kudapat dari si bule ganteng yang satu ini.
Ia menyikutku dan mengajakku untuk pergi.
Aku pun mengekor dan merasakan hatiku berbunga-bunga.
Senangnya dibela sama Edward! Kapan lagi coba bisa berinteraksi langsung dengan
siswa paling populer di kotaku ini!
***
Gimana? penasaran dengan kelanjutannya? ini cuplikan bab satu di novel Pemuja Rahasia. Kalau masih penasaran boleh inbox FB aku yaa.. Nuniek Kharisma Rosalina . Ada harga khusus buat kamu yang pesan langsung di aku, oke oke okeee?
Comments
Post a comment