Namanya
juga ayah. Sudah tentu laki-laki bukan? Sekalipun panggilannya berbeda-beda.
Dari mulai bapak, ayah, abi, papi, atau pipiw sekalipun, tetap saja seorang
ayah itu laki-laki. Seperti halnya ayah lainnya, ayahku pun memenuhi kewajibannya
untuk menafkahi keluarga. Bekerja keras, mencari uang ekstra, membiayai
sekolahku, membiayai semua kebutuhan rumah tangga.
Lalu
kenapa ada yang meragukan kelelakian ayahku? Apa harus ia memamerkannya di
depan semua orang untuk membuktikan bahwa ayah adalah memang lelaki yang
sesungguhnya? Lelaki yang bertanggung jawab, mencintai istrinya dan menyayangi
anak-anaknya. Lalu apa lagi? Itu semua ada di dalam diri ayahku!
“Lho,
kamu kan anaknya? Masa kamu enggak tahu kerjaan ayah kamu sendiri?” protes
Ratna.
Dia
bukan temanku. Dia hanya kebetulan satu sekolah dan sebelum gosip aneh tentang
ayahku beredar dia tak pernah sekalipun menyapa. Maklum, dia kan populer di
sekolah. Dia cucu pemilik perusahaan tembakau terbesar di Banjar, orang yang
sangat kaya. Tapi entah kenapa sekarang dia menjadi begitu lengket padaku.
Bukan
lengket untuk menjadi temanku, tapi lengket untuk bertanya ini dan itu.
Terutama masalah ayahku. Sudah kubilang bukan? Ada gosip yang membuat
lingkungan meragukan kelelakian ayah. Sejak saat itu banyak sekali yang
tiba-tiba saja mengenal aku. Menyapa aku juga bertanya ini dan itu. Seperti
Ratna.
Terus
terang saja aku tak suka.
“Sudah
aku bilang kan kalau ayahku itu kerjanya jadi satpam di pabrik galendo! Kalau
siangnya jadi distributor seblak instant! Memangnya kenapa sih kamu itu
tanya-tanya itu terus dari kemarin?” jawabku setengah membentak.
Hatiku
gemas sekali ditanya ini dan itu. Apalagi ada embel-embel pertanyaan “Pernah
datang ke cafe Galaxy enggak?” atau, “Tahu dancer di cafe Galaxy enggak?”.
Mau
apa aku datang ke cafe khusus dewasa itu? Usiaku baru enam belas tahun, masih
duduk di kelas XI SMA dan kalaupun usiaku sudah cukup dewasa untuk pergi ke
sana, aku tak akan mau! Uang yang ada di dalam kantongku tak akan cukup bahkan
untuk membeli secangkir kopi susu! Eh, memangnya ada kopi susu ya di cafe?
Entahlah, aku tak tahu!
“Ah,
kenapa kamu marah begitu? Aku kan cuma tanya! Kamu enggak perlu bentak-bentak
aku!” Ratna tersinggung.
“Iya,
tapi pertanyaanmu itu-itu terus dan buat aku kesal! Kalau kamu yang direcoki
pertanyaan ini dan itu seperti aku? Kamu juga pasti kesal Ratna!” kubalas dia.
Tatapan
Ratna sinis menusuk ulu hatiku. Dia menggunakan tatapannya untuk melihatku dari
atas ke bawah, persis seperti sebuah mesin pemindai yang tengah memindai virus
atau cacat yang ada di tubuhku. Belum lagi seringaian yang muncul belakangan di
bibirnya, membuat aku merasa ada sesuatu yang tak beres dengan idola sekolah
yang satu ini.
“Oke,
aku tanya baik-baik kok! Sekalipun orang-orang tanya aku terus menerus, aku
enggak masalah..dasar sensitif..huh!” setelah menghujamkan lirikan tertajam dan
juga dengusan paling keras yang pernah aku dengar, Ratna pun pergi.
Selepas
siswi dengan tinggi lebih dari seratus tujuh puluh centimeter itu pergi, aku
pun terdiam sembari meremas lututku. Kutundukkan kepala dan kusesali keadaan
saat ini dimana orang-orang yang tengah berada di dalam kantin malah
memperhatikan aku. Tatapan mereka berbeda-beda. Ada yang menatap penasaran, ada
yang menatap iba, ada juga yang menatap dengan tatapan sinis seperti para peran
antagonis dalam sinetron stripping di
TV-TV.
“Ayah
kamu kerja jadi banci ya?” jantungku seperti berhenti berdetak ketika salah
seorang yang tengah menatapku sinis menanyakan hal itu.
Aku
mendongak untuk melihat dengan jelas siapa yang telah mengatakan hal itu.
Seorang siswa dengan tingkah yang gemulai dan duduk bersama anak perempuan.
Ish, gayanya saja menjijikan, masih bisa bertanya seperti itu pula!
“Siapa
bilang?” tanyaku sambil menatap tajam kepadanya. “Orang-orang!” si siswa
gemulai menjawabku dengan nada yang mencemooh. Sepertinya ia berniat untuk
mencari masalah denganku.
“Bukan!
Jangan seenaknya saja kamu kalau ngomong!” hardikku kesal.
Gelas
kosong yang tadinya berisi lemon ice tea
yang sudah kuminum berada dalam genggaman tangan kananku dan siap melayang
kapan saja ke muka siswa itu kalau saja dia terus mengatakan hal yang terdengar
menggelikan, sekaligus menyakitkan itu.
Tapi
nampaknya dia tak mau memperpanjang masalah. Dia lebih memilih untuk melirikku
dengan sinis lalu kemudian kembali menghadapkan muka pada gengnya sendiri. Aku
pun bersyukur karena sekarang aku bisa melepaskan gelas yang kugenggam sekuat
tenaga.
Aku
tak mau mencari masalah dan membuatku terkena hukuman dari guru kalau saja
benda itu melayang dan melanggar kepala siswa gemulai itu. Sudah tentu
kepalanya akan bocor dan aku pun mendapatkan hukuman yang sangat berat. Ah,
suasana di dalam kantin sudah tak nyaman lagi. Aku lebih baik segera masuk ke
kelas dan bersiap untuk mendapatkan pelajaran berikutnya. Ada pelajaran Biologi
yang harus mendapatkan perhatian serta konsentrasiku. Sesaat aku bisa lupa
dengan gosip tentang ayah.
***
Tapi
tetap saja bayangan ayah yang berbalut busana wanita, dengan make up norak dan suara yang
dikecil-kecilkan terbayang di benakku selama sisa pelajaran hari ini. Setiap
kali aku berusaha memenuhi kepalaku dengan ingatan yang lain, semakin penuh
pula kepalaku dengan gambaran ayah yang menari-nari berpakaian wanita. Hatiku
terasa menciut kecil dan aku begitu takut jika itu nyata!
Ayahku
bukan waria! Ayahku laki-laki sejati!
“Hei,
mau sampai kapan kamu di dalam kelas? Bel sudah dari sepuluh menit yang lalu
lho!” teguran Hari membuyarkan lamunanku.
Serta
merta aku tergagap dan mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan kelas. Semua
bangku yang dimasukkan ke dalam kolong meja. Sudah rapi dan tak ada siapapun
kecuali aku dan Hari, ketua kelasku.
“E-eh,
iya! Ka-kamu sendiri? Kenapa masih disini?” tanyaku untuk mengalihkan
perhatian. Hari mengangkat bahu dan mengedikkan dagunya padaku. Apa maksudnya?
“Maksudnya?”
“Yaa,
sejak masuk jam terakhir tadi aku perhatikan kamu..”
“Eh?”
aku terbengong. Hari memperhatikan aku? Hari yang bintang sekolah dan memiliki
alis tebalnya Siwon SuJu memperhatikan aku? “Habisnya! Kamu itu melamun terus..eh
tahu-tahunya sampai jam pulang juga masih saja melamun..” dan wajahku yang
bersemburat merah keGRan langsung meredup lagi dan langsung tahu diri.
Iya
ya? Untuk apa Hari memperhatikan aku tanpa alasan yang jelas? Dia pun pasti
ingin bertanya ini dan itu tentang pekerjaan ayahku. Yaa, tak jauh berbeda
dengan orang lain. Aneh sekali sesaat yang lalu aku sampai mengira dia itu
menaruh simpati padaku.
“Ah,
iya! Aku pulang dulu ya? Ehm..sampai besok..” pamitku berbasa-basi. Kumasukkan
buku-bukuku ke dalam tas dan menjejalkannya dengan asal.
Kusampirkan
tas di bahuku dan aku pun segera keluar kelas. Tak sedikit pun aku menoleh lagi
ke belakang. Aku tak mau melihat Hari memperhatikan aku dengan tatapan yang
aneh seperti orang lain. Baik itu dengan tatapan mencemooh, tatapan sinis, atau
tatapan iba sekalipun!
Sekolah
pun ternyata sudah begitu lengang! Aku sendiri sampai heran bisa-bisanya aku
melamun sampai tak sadar diri. Jangan-jangan tadi itu aku pingsan, atau mati
suri!
Untunglah
rumahku tak jauh dari SMK Hikmah, tempatku menuntut ilmu. Mungkin hanya sekitar
lima belas menit atau setengah jam mungkin. Letak SMK-ku ini memang dekat
terminal, namun tak ada kendaraan umum yang melewati rumahku. Kalaupun ada
ojek, sudah tentu sangat mahal. Aku tak punya cukup uang untuk ongkos pulang
pergi, biar saja aku jalan kaki.
Matahari
membuat isi otakku bagai mendidih, baru sampai di perempatan saja rasanya aku
sudah tak tahan. Mobil-mobil bagus melewatiku dari arah yang berlawanan, lalu
berbelok masuk ke Banjar Medical Centre yang memang berhadap-hadapan dengan
sekolahku. BMC memang terkenal sebagai rumah sakit yang mewah dengan pelayanan
prima, tak heran pasiennya adalah orang-orang berduit semua.
“Dulu
juga ayah begitu,” gumamku sambil menyeka peluh.
Rindu
juga mengingat kehidupan glamourku dulu, demam saja check suhu badan ke BMC, lalu diantar jemput ke sekolah, uang saku
yang berlebihan, jalan-jalan ke Asia Plaza di Tasikmalaya atau saat bosan aku
pergi ke Bandung bersama teman satu geng, menghabiskan uang yang kuminta dari
ayah dan yaaa begitulah.
“Aku
hebat juga ya? Dari yang kolokan setengah mati, berubah mau jalan kaki, uang
saku cuma lima ribu, haha!” aku bicara sendiri, juga tertawa sendiri.
Sekarang
aku sudah menyeberangi perempatan, melintasi jalan kotor karena noda oli di
depan sebuah bengkel truk. Sebelah kananku Islamic
Centre megah, sempat kulihat ada Ratna dan teman-temannya tengah berfoto
ria dengan tongsis, ada juga pelajar dari sekolah lain yang nongkrong disana.
Beberapa
tempat di kota Banjar ini memang terkenal sebagai tempat yang sangat indah,
nyaman dan cocok untuk foto narsis. Seperti taman-taman yang ada di sepanjang sungai
Citanduy, ada gazebo bagus dengan koral warna-warni yang disusun apik sebagai
jalan setapak. Pohon palem botol, cemara yang wangi, serta beberapa desain
arsitektur dengan batu alam yang ditempel di dinding pagar pembatas sungai
membuat taman di Banjar tak pernah sepi.
“Bahkan
di siang sepanas ini,” gumamku sambil segera melintasi belokan yang menjadi
jalan masuk bus-bus besar yang akan transit di terminal.
“Coba
deh kamu jam sebelas main ke piade! Pasti ada deh tuh yang bikin kamu shock!”
ucapan cowok gemulai yang tadi kubentak di kantin terngiang lagi, bukan sekali
dua kali ia menekanku dengan kalimat seperti itu.
“Iya,
kaget lihat kamu nyari pelanggan disana kan?” serangku kesal, waktu itu.
Aku
tahu maksud anak lemah gemulai menyebalkan itu ingin menunjukkan dimana ayah
berada saat malam tiba. Piade memang terkenal sebagai tempat nongkrong
kupu-kupu malam, berkencan diantara suara kereta yang datang, lonceng
stasiun...entahlah, mungkin gelap-gelapannya itu yang membuat mereka suka
berada di sekitar stasiun Banjar.
Ayah
yang baik, ayah yang lembut, ayah yang bertanggung jawab. Lelaki yang bekerja
keras demi mencapai jabatan tinggi di perusahaan, mendapatkan gaji besar dan
aneka tunjangan. Dihormati karena kejujurannya dan loyalitasnya, hidup bahagia.
Sayangnya
ada yang tak suka dengan cara kerja ayah yang begitu jujur dan menjungkalkannya
dari posisi yang ayah tempati. Ayah juga dipecat dengan tuduhan yang
tidak-tidak. Tragisnya lagi, ayah mendapatkan blacklist sehingga tak bisa melamar pekerjaan ke perusahaan
lainnya.
Aku
mempercepat langkah mengitari terminal Banjar melalui jalan kecil di belakang
terminal, yang bersebelahan dengan pinggiran sungai. Disini banyak pohon dan
aku bisa cukup fresh dengan
kesejukannya. Aku bisa mempercepat langkahku dan sampai di jalan yang akan
membawaku pulang.
“Hufft...”
kuhembuskan nafas sambil berhenti sejenak. Mengatur nafas dan mengumpulkan
tenaga untuk kembali berjalan menuju rumah.
Aku
ingat blok ini, disini ada teman lamaku yang bernama Risa. Kami selalu bermain
bersama, saat ayahku masih memiliki jabatan. Tapi setelah ayah mendapatkan
musibah, keluarga Risa melarangku untuk berteman dengannya. Risa pun menjadi
berubah dan tak pernah menyapaku lagi.
Aish,
sakitnya masih terasa ternyata. Betapa kedudukan menjadi alasan utama semua
orang berada dekat denganku.
Kutarik
nafas dalam dan kutekan sakitku kuat-kuat. Bangkrutnya ayah sudah dua tahun
berlalu dan sekarang kami sudah bisa membiasakan hidup dengan uang yang
seadanya. Uang saku lima ribu sehari memang jauh dari cukup. Tapi tak apa!
Sungguh!
“Eh,
itu ayah kan?” gumamku saat melihat beberapa orang pria di seberang jalan. Agak
jauh dari tempatku jadi pandanganku tak begitu jelas. Begitu juga mereka.
Salah
seorangnya memiliki perawakan yang begitu mirip dengan ayah, namun ia tak
mengenakan seragam perusahaan seblak instant
yang selalu dikenakan ayah dua tahun belakangan ini. Ayah seperti terburu-buru
dan membuatku curiga.
Kulangkahkan
kakiku menyeberangi jalan dan kupercepat ayunan langkahku untuk mengimbangi langkah
para pria yang tinggi-tinggi itu. Mereka berjalan menuju sebuah rumah besar
yang gerbangnya tertutup rapat.
“Eh,
neng mau kemana?” tiba-tiba saja seorang lelaki menarik lenganku, membuat
langkahku terhenti. “Mau ke rumah itu,” sahutku polos.
Lelaki
yang mengenakan pakaian ala preman itu menatapku dengan kening mengerut, lalu
melayangkan pandangannya ke rumah bagus nan mewah itu. Tiba-tiba beberapa mobil
polisi datang dan beberapa yang turun mendekati orang yang memegangiku.
“Kamu
tunggu disini neng, tempat itu berbahaya dan sudah lama jadi target polisi...”
dan tungkaiku langsung lemas.
Kejadiannya
begitu cepat dan orang-orang berseragam itu merangsek masuk ke dalam rumah
bagus. Tak lama orang-orang di dalamnya keluar dengan tangan diborgol, termasuk
ayah!
“Ayah!
Ayah!” panggilku sambil berusaha mendekati ayah, namun seorang petugas
melarangku mendekat.
Yakin
sekali aku melihat ayah menatap ke arahku, kulambaikan tanganku dan berharap ia
mau mendekat, namun tak bisa. Petugas lain mendorong ayah masuk ke dalam mobil
tahanan.
“Kenapa
ini Pak? Ada apa ini?” tanyaku dengan air mata yang mulai merembes, polisi yang
memegangiku menatap dengan iba. “Ini rumah germo prostitusi sesama jenis, dan
kami sudah curiga jika rumah ini sering digunakan sebagai tempat pembuatan
video porno untuk kaum penyuka sesama jenis...”
“Ta-tapi
ayah saya bu-bukan...dia-dia...”
“Semoga
saja Ayah kamu tidak terlibat ya nak? Semoga dia hanya dijebak,” petugas
bertubuh tinggi itu berusaha menenangkan aku. Beberapa saat ia menepuk bahuku
dengan lembut, persis tepukan ayah.
“Baiklah,
kami harus segera pergi, cepat pulang dan berdoa saja,”
“I-iya,”
sahutku setengah mendesis. Antara sadar dan tidak aku hanya bisa mengangguk,
lalu berbalik arah. Aku harus pulang ke rumah tapi entahah...nampaknya aku lupa
dimana letak rumahku.
“Karin,
kok nangis?” tanya Hari.
Aku
kaget setengah mati melihat ketua kelasku itu ternyata berdiri di belakang,
memperhatikan aku dengan satu plastik kelapa muda alpukat khas Perempatan
Djarum. Ia duduk di atas Soul
hitamnya yang distandar samping.
“Enggak
kok!” elakku sambil segera berjalan.
Aku
sadar jika aku berjalan tak tentu arah, rumahku yang kini kecil dan kumuh ada
di ujung jalan sana. Tapi aku tak mau ke rumah dulu, aku tak tahan dan tak tega
melihat wajah kuyu ibu yang menantiku pulang sekolah. Tidak.
“Hey,
mau kemana sih?” Hari malah membuntuti aku yang berjalan berlawanan arah dengan
jalan pulang.
“Kemana
saja,” sahutku sambil menahan tangis.
“Eh
tadi kenapa ya banyak polisi?” Hari malah menanyakan hal yang tak ingin
kujawab.
Aku
menggeleng sambil menyusut mukaku dengan jilbab putih yang kukenakan. Hari
melihat itu dan mencegat langkahku dengan memarkirkan Soulnya melintang di
badan jalan.
“Yuk
naik!” perintahnya tegas.
Kutatap
wajahnya sekilas, tak ada gambaran cowok iseng dan suka mesum di tatapan Hari.
Aku malah melihat ketulusan dan tanggung jawab disana, aku suka melihatnya,
“Ayo mau ikut enggak? Kayaknya sih kamu butuh teman!”
“Memang,
cuma aku...kan, nanti kamu malu,”
“Ckk
ayo!” Hari menarik tanganku dan setengah memaksa agar aku segera duduk di
boncengannya.
Antara
sadar dan tidak aku menaiki boncengan Hari, berdua bersamanya melintasi jalan raya
yang membawa kami berdua melewati Lapangan Bakhti yang kini berubah menjadi
Taman Bakhti. Tempat untuk berolahraga, bersepeda, mengasuh anak, pacaran
sambil mencicipi aneka macam cemilan khas kota Banjar.
Ada
booth sebak instant disini, seblak instant
yang menurut ayah adalah tempatnya bekerja saat ini. Seblak instant yang rasanya sangat pedas,
sepedas kenyataan yang menamparku saat ini.
Pernah
mendengar seblak? Kerupuk mentah yang direbus sampai empuk dan ditiriskan, lalu
digoreng bersama aneka bumbu khas yang pedas lalu dicampur berbagai macam
campuran. Dari mulai telur orak-arik, sosis, ayam suwir, sampai ceker dan
gabungan aneka pasta. Ah, lupakan. Aku tak mau makan seblak lagi setelah
kejadian ini.
“Kita
mau kemana?” tanyaku setengah berteriak.
“Lihat
saja nanti,” sahut Hari tanpa mengurangi kecepatan kendaraannya.
Kami
sudah melewati jalan Perintis Kemerdekaan, melewati toserba, alun-alun kota
Banjar, pendopo Walikota di seberangnya dan terus melaju cepat menuju arah
pasar kota. Aku mulai mendapat gambaran, mungkin Hari akan mengajakku ke Dobo.
Benar
saja, ia mengajakku ke bendungan Dobo. Tempat yang asyik untuk wisata kuliner
sambil menikmati pemandangan indah. Letak bendungannya sangat tinggi dan air
yang jatuh menjadi terlihat seperti air terjun berwarna coklat susu yang sangat
nyaman dilihat.
“Kamu
mau makan enggak?” tanya Hari sambil melirik saung-saung makan sepanjang sisi
bendungan. Aku menggeleng.
Aku
bukan tak mau mengisi perut, hanya saja uangku tinggal seribu rupiah dan itu
untuk tambahan uang jajanku besok. Biar saja sekarang aku cukup menikmati
indahnya Dobo, sambil sesekali berkhayal andai suatu saat aku bisa bekerja di
kompleks perkantoran yang letaknya di seberang bendungan.
Balai
Besar Wilayah Sungai Citanduy. Bangunannya bagus-bagus, mobil yang diparkir pun
bagus-bagus. Sudah tentu gajinya pun bisa mencukupi kehidupan sehari-hari, aku
pasti bisa membuat ayah dan ibu hidup layak lagi, tak akan ada lagi gosip ayah
yang bekerja sebagai...
“Beruntung
tadi disana sepi Karin,” aku menoleh, Hari memulai percakapan dengan suara
pelan, cenderung menyesal.
“Apa?”
“Seenggaknya
orang lain enggak akan ada yang recokin kamu di kelas tentang itu...”
“Ka-kamu
ngomong apa?” aku tetap bertanya dengan rasa takut yang menjalar di tubuhku.
Hari
pun mendengar gosip tentang ayahku, ia juga melhat penangkapan ayah tadi. Kupalingkan
wajahku, kulemparkan pandangan ke aliran sungai Citanduy yang masih berawarna
coklat susu. Malu sekali rasanya, entah malu karena apa.
Bukan
malu karena aku jatuh sedemikian miskin dan sekarang hidup sangat susah, tak
juga malu dengan cibiran teman satu sekolah yang mengatakan aku anak waria dan
lain sebagainya. Namun mungkin aku malu karena Hari tahu keadaannya lebih daripada
aku yang anak dari pembuat gosip heboh itu sendiri.
“Aku
hanya ingin mendukung kamu Karin,” suara Hari terdengar sangat lembut dan
yakin. Juga tulus.
“Aku
tahu betapa beratnya hidup yang kamu rasakan, aku tahu bagaimana perasaan kamu
dibully seperti itu di sekolah,”
“Aku
ingin menemani kamu, menjaga kamu. Pinjemin bahu andai kamu butuh tempat untuk
nangis, untuk bersandar...”
“Kamu
enggak usah sok baik sama aku. Aku memang sekarang jatuh miskin dan nyaris
enggak mungkin kembali seperti dulu. Ayahku mungkin akan dipenjara dan aku akan
dapat tekanan dari sana-sini, tapi aku cukup kuat!” selaku dengan nada tinggi.
Aku
membentak Hari karena aku tak mau ia mengira aku lemah, jujur aku senang
mendengar ia mengatakan semua kalimat itu. Semua kalimat yang telah meluncur
dari bibir tipisnya itu membuat aku mengira ia tulus peduli padaku, tapi
entahlah. Aku tak akan merasa nyaman dengan ketulusannya. Seisi sekolah pasti
akan ikut mengolok-oloknya.
“Tapi
berdua akan jauh lebih kuat. Dulu aku enggak bisa bilang sayang ke kamu, aku
enggak bisa bilang aku akan jaga dan buat kamu senyum saat hidup kamu masih
berkecukupan...”
“...namun
sekarang, disaat kamu tengah berada di titik sakit terendah yang enggak bisa
kamu tahan lagi, aku ingin buktikan kalau aku akan buat kamu kuat kembali,
bikin kamu ketawa lagi,”
“Sekarang
Karin, kuharap kamu tahu aku tulus,” aku hanya bisa melongo mendengar
kalimat-kalimat penuh makna yang Hari ucapkan padaku.
Antara
percaya dan tidak percaya. Aku memang sangat putus asa, juga malu, aku
membutuhkan seseorang yang bisa melindungiku, membelaku, membuatku merasa
disayangi seperti gadis lain. Tapi Hari? Dia seorang idola, mana mau ia
melakukan itu semua untukku?
“Tapi
ayahku Hari, dia...dia kerja jadi waria, dia jadi...ah!”
“Itu
dia, aku juga akan temani kamu dan lindungi kamu dari teman-teman. Kamu bisa
cerita semua unek-unek kamu sama aku juga!”
“Tapi
kenapa enggak kamu lakuin itu sejak gosip itu muncul? Kamu enggak ada saat
itu...”
“Waktu
itu kan aku belum berani ungkap perasaanku sama kamu, aku...” kuangkat tangan
kananku tepat di depan muka Hari, berusaha menyunggingkan senyuman padanya.
“Enggak
usah beralasan Hari, aku terlalu kecewa untuk alasan. Cukup dengan semua gosip
tentang Ayah yang ternyata benar, aku enggak mau mempersulit hidup aku lagi,”
“Tapi
aku kan enggak bakalan mempersulit kamu! Aku itu mau bantu kamu lewatin masa
sulit ini Karin!” Hari bersikukuh. Wajahnya serius dan aku tahu itu.
Hanya
saja rasanya sangat ganjil tiba-tiba ada seseorang yang berkata bahwa ia akan
menemani dan melindungiku dengan sepenuh hati. Apalagi dalam keadaanku yang
begini kacau. Bangkrut dan jatuh miskin, ayah yang bekerja menjadi penjaja
cinta transgender dan ditambah lagi sekarang ia ditangkap polisi karena terlibat
pembuatan film terlarang...
“Kumohon
Karin, jangan biarkan aku terus menahan perasaan ini...izinkan aku menyayangi
dan melindungi kamu!”
“Sudahlah
Hari, saat ini aku belum siap untuk masukin kamu ke dalam hidup aku. Entahlah,
hatiku belum yakin...” Hari terlihat ingin membantahku, namun segera kulajutkan
kalimatku.
“...buktikan
saja padaku jika apa yang kamu katakan itu benar, biarkan hatiku siap,”
pungkasku tegas. Tak ada lagi tangis di mataku, aku jadi lupa untuk menangis.
“Ini
bukan penolakan kan?”
“Bukan,”
sahutku tersenyum.
Tiba-tiba
saja Hari menyodorkan es kelapa dalam plastik yang ternyata masih ia bawa.
Menyuruhku meminumnya, namun aku menolak sambil memalingkan muka. Aku teringat
ayah.
“Minum
dulu, aku beli ini buat kamu. Aku ikutin kamu dari sekolah, jalan sendirian
panas-panas...”
“Kamu
nguntit aku?”
“Eh
enggak! Aku...” wajah Hari jadi pucat pasi mendengar tudinganku. Melihat
ekspresinya yang aneh membuat ujung bibirku terangkat sedikit, aku tertawa dan
mengambil es dari pegangan Hari.
Kuminum
sedikit dan rasanya sangat menyegarkan. Air kelapa yang segar dicampur gula
aren asli, serutan kelapa muda dan alpukat membuat es kelapa muda ini terasa
sangat legit dan nikmat. Terutama karena es ini pemberian lelaki setampan Siwon
Suju yang menyukaiku.
“Aku
ingat Ayah,” kalimat itu meluncur mulus tanpa kusadari, Hari langsung menoleh
ke arahku dan tersenyum.
“Kalau
kamu mau ketemu, aku bisa antar,”
“Mana
bisa! Yang ada kita kena marah polisi!”
“Ya
enggak, yakin saja!”
“Ah,”
aku mengerutkan kening, yakin sekali dia jika tak akan ada Polisi yang mengusir
kami karena ingin bertemu salah satu tersangka.
“Yang
tadi ngomong sama kamu itu Ayahku, dia pasti izinin kita ketemu Ayah kamu...”
ada rasa bahagia dan lega mendengar yang baru saja Hari ucapkan, sekaligus
miris.
Ayah
dari orang yang menyukaiku adalah orang terhormat yang menangkap ayah disaat ia
melakukan pekerjaan yang tak terhormat. Tapi...bagaimanapun, dia ayahku. Ayah
yang tetap berusaha mencari pekerjaan diantara putus asa yang menghujam
bathinnya.
Aku
tetap bangga pada ayah, aku tetap menghormatinya, aku tetap menyayanginya.
Apapun yang ia lakukan, seperti apapun dia saat ini, aku tetap akan
memanggilnya AYAH.
“Tapi
janji, jangan nangis...kita hadapi semua dengan senyuman, aku akan temani
kamu!” Hari mengusap pipiku, mengusap air mata yang meleleh tanpa kusadari.
Kudongakkan
wajah dan kusunggingkan sebuah senyum, penuh terima kasih.
Hari
datang di saat yang sungguh tepat, kuharap hatiku akan segera terbiasa dan mau
menerimanya dengan baik. Aku yakin dia tulus, aku pun sangat yakin hidupku akan
lebih baik bersama seseorang lagi yang mendukungku, seperti Hari.
Inti
dari semua kejadian ini adalah selalu kuat dan yakin akan perubahan yang akan
datang. Perubahan yang akan membuat hidup menjadi lebih baik. Semoga setelah
kejadian ini ayah bisa segera menemukan pekerjaan baru.
Memulai
hidup baru, lembaran baru...yang lebih bahagia.
TAMAT
No comments:
Post a Comment